"Aku enggak nyangka kalau bukan cuma anaknya yang datang, tapi juga papanya. Hah! Aku yakin kalau setelah ini, akan banyak yang tertarik sama usaha aku. Kita tinggal tunggu sampai FurniVar menjadi kilbat furnitur untuk semua orang atau pengusaha."
Venus menatap pada suaminya yang sejak tadi tampak sangat bahagia. Jarang sekali melihat Varo dalam keadaan mood sebagus ini dan ini semua bukan karena hari ini adalah pernikahan mereka, tapi karena hari ini Ruu Ansel datang ke pernikahan mereka, bersama dengan ayahnya juga.
Walaupun keberadaannya tidak begitu lama, tapi kenyataannya hanya dengan orang-orang itu tampil saja sudah membuat semua perhatian langsung tertuju ke arah mereka.
Sayangnya, itu bukan hal yang menyenangkan bagi Venus saat melihat Ruu langsung menghampiri Lamia begitu menyadari keberadaan adiknya itu. Sebenernya, hubungan apa yang mereka punya sehingga Ruu selalu tampak tertarik dengan Lamia?
Memang apa bagusnya perempuan yang bahkan tidak bisa tampil menarik itu? Ruu tidak tahu saja, bahwa sifat Lamia sangat menyebalkan. Ditambah wanita itu juga tidak tahu caranya bersikap manis dan membuat orang lain senang dengannya.
Ia menghela napas, melihat suaminya yang masih sibuk tersenyum. Ditambah sekarang ini, Varo mulai sibuk dengan tablet di tangannya. Entah apa yang dilakukan oleh lelaki itu padahal saat ini adalah malam pertama mereka
Venus mendekat, kemudian langsung duduk di atas pangkuan Varo hingga membuat pegangan Varo pada tabletnya terlepas.
"Apa kamu bahkan lebih tertarik sama benda itu daripada aku?" tanya Venus dengan nada sensual.
Dia melihat bagaimana Varo yang menegak ludahnya saat melihat tampilan Venus saat ini. Kedua tangan lelaki itu bahkan sudah singgah di pinggangnya.
"Apa aku kurang cantik? Apa pengantin kamu ini enggak lebih bikin kamu bahagia daripada kehadiran pemilik Pacific Era?"
Varo tidak menjawab, tetapi tatapan matanya terlihat lebih gelap dan tatapannya terus tertuju ke arah d**a Venus yang terbuka.
"Apa sekarang aku sudah menarik?" Venus berujar dari jarak yang sangat dekat dengan bibir lelaki itu. Bahkan dia bisa merasakan napas Varo yang hangat dan sedikit memburu.
Mereka bukannya tidak pernah melakukan ini. Hanya saja biasanya mereka hanya melakukan adegan awalnya saja tanpa menyelesaikannya hingga akhir. Itu adalah syarat yang diberikan oleh Venus karena dirinya tidak ingin menyerahkan keperawanannya sebelum mereka menikah.
Tapi kali ini berbeda. Karena dia dan Varo sudah resmi menikah jadi mereka bebas melakukannya sejauh apapun dan sebanyak apapun juga.
"Apa kamu mau terus pakai bibir kamu buat ngomong? Padahal kamu tahu ada kegunaan lain yang lebih bagus."
Venus menatap mata suaminya yang baru saja mengatakan itu. Lalu tak lama kemudian, tubuh Venus di arahkan ke bawah.
"Lakukanlah, Sayangku! Yang di bawah saja butuh bantuan kamu."
Kepala Venus mendongak. Dia agak terkejut karena suaminya langsung meminta dirinya melakukan itu tanpa menyentuh Venus lebih dulu. Padahal Swhwduanya, Varo menyenangkannya Venus lebih dulu sebelum meminta Venus melakukan hal yang sama, bukan?
Tapi karena dirinya tidak ingin merusak suasana malam pertama mereka, maka Venus menuruti apa yang Varo inginkan.
Hanya saja, setelah suaminya itu mencapai klimaks, Venus hanya disentuh seadanya dan adegan inti juga hanya dilakukan kurang dari lima menit sebelum kemudian Varo menyudahinya dengan alasan lelah.
Venus terpekur di atas tempat tidur dengan tubuh yang masih polos. Tatapan matanya tertuju pada Varo yang tidur membelakangi dirinya dan bahkan sudah mendengkur.
Dia merasa tidak puas. Dia malu sekaligus marah. Padahal dia merawat tubuhnya dengan sangat baik agar Varo tertarik dan betah menyentuh tubuhnya, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sebenarnya, apa yang salah? Bukankah Varo menikahinya karena memang mencintai dirinya? Tapi jika memang begitu, apakah sikapnya saat ini menunjukkan bahwa Varo memang menyukainya?
*
"Nikahan Kakak lo udah kayak nikahan seleb ya? Rame banget sama orang-orang penting."
Lamia menyambut dengan senyum apa kecil apa yang baru saja dikatakan oleh Rima padanya. Sahabatnya itu juga diundang di pernikahan Venus dan datang terlambat, saat Lamia tidak ada di tempat. Sehingga semalam Rima meneleponnya dan meminta penjelasan kenapa Lamia tidak ada di lokasi hajatan saat dirinya datang.
"Suaminya kan pengusaha, jadi wajar kalau yang datang orang penting semua," balas Lamia.
Kini tangannya menggulirkan layar untuk memeriksa email yang masuk, juga memisahkan draft pesanan yang sedang on proses.
"Tapi beneran lo balik duluan kemarin? Emangnya kakak lo enggak mencak-mencak karena lo balik awal di acara dia?"
Tubuh Lamia menegang mendengar apa yang dikatakan oleh Rima. Dia tidak bisa mengatakan bahwa dia menghabiskan waktu bersama dengan Ruu hingga pukul sembilan malam. Sehingga dia hanya berkata bahwa dirinya lelah dan izin pulang lebih dulu pada orang tuanya.
"Ya lagian dia mana peduli sama gue di tengah sibuknya dia kemarin? Bahkan mungkin aja dia enggak sadar kalau gue ada di sana."
Rima mengangguk paham, karena memang tidak ada yang tidak tahu bagaimana hubungan Lamia dan Venus berjalan. Jangankan Rima yang sudah banyak mendengar ceritanya, Orang-orang dari keluarga Varo yang hanya bertemu dengan Lamia di acara lamaran saja, kemarin menatap dirinya dengan tatapan aneh seolah tahu bahwa hubungan Lamia dengan Venus bukan hubungan kakak adik yang akur.
"Mbak, ada kiriman buat Mbak Lamia nih!"
Kening Lamia berkerut saat mendengar seruan dari adik magang mereka yang menjaga di counter depan.
Dia bangun dari duduknya dan berjalan ke arah depan, menemui seorang pria menggunakan jaket hijau menyala yang khas.
"Kiriman buat saya, Bang?" tanyanya.
Lelaki itu mengangguk. "Iya, Mbak. Ini buat Mbak Lamia."
Lalu sebuah kotak persegi panjang berwarna putih gading kini sudah berpindah ke tangannya. Warna-warni macaron sudah bisa terlihat dari lapisan bening yang ada di kotak.
"Sudah bayar?"
Si abang mengangguk dengan senyum ramah. "Permisi ya, Mbak!"
Lalu pergi menggunakan motor maticnya lagi.
Lamia menatap pada kiriman ini. Sejujurnya, dia bisa langsung menebak siapa yang mengirimkan makanan cantik ini ke butiknya.
"Wih! Macaron!" Rima berseru saat melihat apa yang Lamia bawa.
Sedangkan Lamia membiarkan kotak itu begitu saja di atas meja lalu mengambil ponselnya.
"Jangan dimakan! Gue mau ke toilet dulu," pesannya.
Tentu saja itu hanya alasan, karena yang sesungguhnya yang ingin dia lakukan adalah menghubungi Ruu untuk mengkonfirmasi kiriman dari lelaki itu.
Hanya dalam sekali nada tunggu, panggilan langsung tersambung. sempat ada suara deheman pelan sebelum kemudian suara Ruu terdengar.
"Mbak, ada apa?" tanya lelaki itu.
Lamia tanpa sadar tersenyum. Dia yakin nada lembut yang selalu Ruu gunakan setiap kali berbicara dengannya itu, tidak digunakan untuk berbicara pada orang lainnya.
"Kamu kirim makanan kesini, Kal?" tanya Lamia, setengah berbisik. Dia tidak ingin kalau sampai Rima mendengar suaranya.
Ruu menjawab, "Itu bukan makanan, Mbak. Itu cemilan. Apa Mbak mau saya pesankan makanan? Tunggu sebentar!"
"No!" Lamia menjawab cepat. "Aku nelepon bukan karena mau itu, tapi buat mastiin kalau itu memang maka-cemilan dari kamu, kan?"
"Iya benar. Saya bingung mau kirim apa, karena kalau saya kirim barang-barang kayak tas dan lain-lain, kayaknya Mbak enggak akan suka. Makanya saya belikan cemilan aja biar bisa jadi teman kerja Mbak."
Lamia setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ruu, karena dirinya sudah pasti akan mengembalikan semuanya jika sampai Ruu mengirimkan barang-barang itu. Apalagi Lamia jelas tahu bahwa Ruu tidak akan memberikan barang yang sembarangan padanya, dalam artian pasti harganya mahal. Dan Lamia tidak mengharapkan itu.
"Iya, makasih banyak ya! Ini boleh aku makan bareng temen-temen disini, kan?"
Di sisi Ruu, terdengar suara lembut suara seorang perempuan yang membuat Lamia mengerutkan kening untuk sesaat.
"Memangnya cukup, Mbak? Saya pesenin lagi yang lebih banyak ya? Itu saya pesan cuma buat Mbak."
Padahal di dalam kotak ada tiga susun macaron, bagaimana mungkin Lamia menghabiskan semua itu?
"Enggak usah, ini udah lebih dari cukup. Daripada itu..." Lamia menimbang antara mengatakan atau tidak. Tapi dirinya merasa penasaran. "Tadi kayaknya ada yang manggil nama kamu," ujarnya kemudian.
Suara Ruu tidak terdengar untuk sesaat, sebelum kemudian suara lelaki itu kembali muncul.
"Oh? Dia sekretaris Papa, Mbak. Papa minta saya ke ruangannya."
Ah. Ternyata begitu. Tapi, bukankah di perusahaan besar marak sekali hubungan yang terjadi antara sekretaris dan atasannya? Kalau dilihat dari suaranya, sudah pasti wanita itu cantik. Dan Lamia yakin bahwa tidak akan ada wanita yang tidak menyukai Ruu.
"Mbak?"
Lamia terkejut saat suara Ruu memanggil namanya. Dia berdehem pelan. "Yaudah, kalau begitu aku tutup teleponnya ya! Kayaknya kamu juga sibuk."
Sepertinya Ruu sedikit tidak rela sambungannya terputus karena lelaki itu sedikit menggumam tidak jelas, sebelum kemudian helaan napasnya terdengar. "Iya, Mbak. Nanti kalau saya pulang cepat, saya akan kabarin Mbak ya! Saya jemput ke butik."
Tadinya Lamia berpikir untuk menyanggah ucapan Ruu, tapi hatinya tidak mau. "Iya, kabarin aja nanti ya! Takutnya aku udah keburu pulang."
Ruu terdengar riang saat menyerukan salam perpisahan, sebelum sambungan mereka terputus.
Sedangkan Lamia malah jadi overthinking, karena dia mulai berpikir apa yang disukai oleh Ruu dirinya, di saat di sekitar lelaki itu pasti banyak sekali wanita yang berkali-kali lipat lebih cantik dari dirinya.
"Mi! Ini udah boleh dimakan belum??"
Suara seruan Rima membuat Lamia berdecak. Dia berjalan kembali ke depan dan melihat kotaknya masih utuh seperti semula. Dia tertawa kecil, karena Rima benar-benar tidak berani menyentuh macaron itu tanpa izin darinya.
"Iya, boleh. Ajakin yang lain makan juga," kata Lamia.
Yang membuat Rima kemudian memanggil adik-adik magang mereka untuk bergabung menyantap cemilan yang Ruu kirimkan.
**