19. Perubahan

1546 Words
"Besok pagi?" Sebelum benar-benar menurunkan Lamia di depan lobi apartemen wanita itu, Ruu lebih dulu memastikan. Karena dirinya harus ke kantor untuk mengambil mobil yang digunakan untuk mengangkut muatan, untuk membantu Lamia pindah kembali ke rumahnya. "Iya, tapi kalau kamu sibuk, kamu enggak usah paksain. Aku masih bisa pakai jasa pindahan, lagian jaraknya enggak jauh dan ongkosnya enggak akan terlalu besar." Dengan senang hati Ruu menolak ide Lamia itu. "Besok Sabtu dan saya punya banyak waktu. Jadi jangan coba-coba buat pakai jasa pindahan selama ada saya." Wanita di depannya itu malah tertawa geli. "Aku enggak bisa bayangin aja kalau anak pemilik Pacific Era bakalan bantu aku pindahan rumah. Kebayang enggak sih, kalau sampai ada wartawan yang lihat? Kamu bisa turun pamor, Kal." "Itu bukan masalah, Mbak. Lagian dari yang Mbak mungkin enggak tahu kalau pencari berita, khususnya berita bisnis dan berita para pengusaha, enggak seenaknya langsung terbitin berita sekalipun itu fakta. Karena akan ada banyak pihak yang terkait dan enggak banyak pencari berita yang mau ambil resiko besar seperti itu." Lamia memiringkan kepalanya. "Oh ya?" Dan itu membuat Ruu merasa gemas. Dia sangat ingin menyentuh ujung rambut Lamia, tapi dia menahan diri. "Iya. Jadi kalaupun nantinya aku ketangkep kamera lagi ngangkut sofa atau lemari, itu enggak akan jadi masalah." Kini bukan hanya tawa geli, tapi tawa lepas terdengar dari bibir mungil Lamia. Wanita itu terbahak, hingga sempat membuat Ruu terperangah. Berapa kali dalam hidupnya semenjak mengenal Lamia, dia bisa melihat wanita ini tertawa lepas? "Enggak akan angkat sofa juga kali! Aku kan dari awal enggak bawa sofa sendiri. Sofanya punya apartemen. Jadi nandi coba bawa barang-barang yang ada di kamar aku doang." Ruu mengangguk paham, ada senyum kecil di bibirnya. "Sekalian malam mingguan? Sejujurnya, saya belum pernah yang begitu loh, Mbak." "Begitu gimana?" "Malam mingguan, kayak anak muda pada umumnya." Lamia menatapnya penuh selidik. "Malam mingguan kan enggak harus sama pacar atau pasangan loh, Kal! Sama temen juga bisa." Sejenak Ruu terdiam. "Jadi saya ini masuk kategori mana, Mbak?" Pertanyaan yang kemudian membuat Lamia mendengus. Wanita itu mulai membenahi duduknya untuk bersiap keluar, dengan melepaskan sabuk pengaman yang mengekang tubuhnya sepanjang jalan. "Aku mau deh main sama kamu pas malam minggu, tapi aku menolak kalau diajak ke tempat yang fancy ya! Aku mau ke tempat biasa." "Dan seperti apa tempat yang biasa itu?" "Hm.. Kayak kota tua atau Taman Mini?" Kini Ruu yang memiringkan kepalanya. "Bukannya itu tempat Jalan-jalan keluarga?" "Ih! Enggak dong! Muda-mudi juga bisa kok! Tapi kalau kamu memang enggak mau, boleh kamu pilih tempat yang lain. Asalkan jangan restoran mahal atau restoran yang ada di rooftop hotel kayak yang biasa ada di novel-novel CEO CEO itu." Ruu hampir saja tertawa mendengar ucapan Lamia. Dia jadi teringat dengan ajakan Amora tentang restoran hotel yang ada do rooftop. Untunglah karena Ruu tidak terpikirkan untuk mengajak Lamia ke sana. "Saya enggak pandai menentukan tempat yang nyaman dan yang sesuai sama ekspektasi Mbak. Jadi saya serahkan masalah tempat sepenuhnya ke Mbak Lamia." Lamia memprotes, "Kok begitu? Kamu kan juga tahu kalau aku ini bukan orang yang suka bergaul kesana-kemari, jadi aku enggak tahu banyak soal tempat yang biasa didatangi sama anak-anak muda kayak kamu." Mendengar itu, Ruu menggelengkan kepalanya pelan. "Barang kali Mbak lupa, kita cuma beda setahun." "Ya pokoknya! Kali ini adalah giliran kamu yang nentuin mau kemana kita. Anggap aja ini semacam ujian dalam proses pendekatan ini." Lamia kemudian menertawakan ucapannya sendiri. "Ya pokoknya lamu bisa cari di internet atau tanya kenalan kamu. Aku akan siap diajak kemana aja asalkan bukan ke tempat mewah. Okay?" Walaupun Ruu tidak punya bayangan kemana dirinya akan membawa Lamia pergi, tapi akhirnya dia mengangguk juga. Dia akan mencari di internet seperti yang disarankan oleh Lamia, atau juga meminta pendapat Fandi, asisten pribadinya. "Ya udah. Aku akan kasih tahu tempatnya dimana pas kita ketemu besok." Wanita di sampingnya itu mengangguk dengan senyum kecil. Lalu kini posisi tubuhnya menyerong ke arah pintu. "Kalau begitu, aku turun ya! Makasih buat hari ini, Kal!" Suara datar Lamia yang masih tetap sama, tapi Ruu bisa merasakan ada intonasi yang sedikit hangat dan lembut daripada sebelumnya. Dan Ruu menganggap ini sebagai kemajuan, karena Lamia selalu memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan sama. Lamia tidak pandai memainkan ekspresi dan memainkan intonasi suaranya. "Iya, Mbak. Dan jangan terlalu malam packingnya. Kalau capek, biar besok aja pas saya bisa bantu." Lamia mengangkat jempolnya, sebelum kemudian benar-benar turun dari mobilnya. * Ketika lampu di kamar itu menyala, Venus yang sejak tadi duduk di atas tempat tidur dengan gawai di tangannya, langsung bertanya, "Kamu darimana saja, Mas? Seharian ini kamu bahkan enggak ada kabar." Lelaki yang sudah satu bulan menjadi suaminya itu, hanya meliriknya sekilas, sebelum kemudian melepaskan dasi dan melemparkan ke sembarang tempat. Bahkan tanpa menjawab pertanyaan Venus, Varo melenggang santai masuk ke arah kamar mandi. Venus menghela napas berat. Selalu seperti ini. Entah pekerjaan macam apa yang membuat suaminya ini selalu pulang tengah malam. Tidak memiliki waktu untuk menyentuh Venus dan langsung tertidur lelap dengan alasan lelah. Sedangkan di dalam keluarganya, Venus bahkan ditekan untuk segera hamil. Tanpa keluarga Varo tahu bahwa masalahnya adalah pada Varo. Memang apa yang kurang dari Venus? Dia yakin bahwa dirinya cantik dan menarik. Tapi suaminya malah tidak tertarik sedikitpun padanya. "Mas!" Melihat Varo yang keluar dari dalam kamar mandi tanpa kemeja atasannya, Venus langsung bergegas menghampiri. Dia memeluk tubuh itu, tapi Varo tidak membalasnya. Lelaki itu hanya terus melangkah ke atas tempat tidur dan merebahkan diri. Persis seperti biasanya. "Aku capek sekali, Ven. Kita ngobrol besok aja." Tentu saja kali ini Venus tidak ingin mengalah lagi. Selama satu bulan ini dirinya memaklumi apapun yang menjadi alasan Varo karena berpikir tidak masalah, asalkan biaya hidupnya ditanggung sepenuhnya oleh suaminya ini. Tetapi sejak pertanyaan kapan hamil mulai ditujukan padanya, Venus tidak bisa lagi bersikap santai. "Mas, tapi aku kangen banget sama kamu," rengek Venus. Tangannya membelai d**a suaminya, berusaha membangkitkan gairah suaminya itu. "Ven, sekarang aku capek. Besok aja kita kangen-kangenan. Aku janji akan pulang cepat." Tapi Venus tahu bahwa itu tidak akan terjadi, karena ini bukan kali pertama Varo menjanjikan itu. "Apa kamu enggak tertarik sama aku?" tanyanya yang membuat Varo menghela napas berat. "Atau kamu cuma enggak suka sama cewek?" Kali ini, pertanyaan dari Venus membuat tubuhnya langsung didorong dari atas kasur hingga jatuh terjengkang ke bawah. Dia berteriak. Merasa sakit dan terkejut karena tidak menyangka Varo akan bereaksi demikian. Di awal, dirinya masih berpikir jika kemungkinan Varo tidak sengaja dan akan langsung menolongnya setelah ini. Tapi melihat Varo yang hanya duduk diam sambil menatapnya tajam, dia tahu bahwa lelaki itu benar-benar marah. "Kamu pikir, kamu siapa sampai berani ngomong begitu?! Jangan salahin aku kalau aku memang enggak punya keinginan nyentuh kamu, itu karena kamu enggak menarik!" Venus membelalakkan matanya. "Apa?" tanyanya tidak percaya. Tapi lelaki yang merupakan suaminya itu, tampaknya belum puas menyakiti harga diri Venus. "Sebenernya aku enggak pengen ngomong ini karena tahu kalau ini akan sangat mengusik ego kamu, tapi karena kamu juga udah ngomong sembarangan tentang aku, maka aku enggak akan mikirin perasaan kamu lagi." Dalam hati, Venus berharap agar suaminya itu tidak mengatakan apapun yang ingin dikatakannya, karena Venus tahu hatinya akan sangat berdarah. Tapi rupanya, hanya karena satu pertanyaan asal yang keluar dari mulut Venus kepada suaminya itu, membuat Varo tidak pikir panjang untuk mengatakan sesuatu yang sudah pasti menyakiti hati Venus. "Dibandingkan kamu, Adik kamu, Lamia, bahkan jauh lebih cantik dan menarik. Kamu memang kelihatan waw karena penampilan kamu yang sedikit berani, tapi selain itu, enggak ada lagi! Mungkin kalau saat itu aku ketemunya sama Lamia di Bali, aku akan lebih jatuh cinta ke dia." Keterkejutan Venus sudah tidak dibendung lagi. Dia menunduk, mengepalkan tangannya untuk menahan sakit di hatinya. Varo tahu dengan baik bahwa Lamia adalah sosok yang sama sekali tidak ingin Venus bandingkan dengannya. Adiknya itu harus selalu dibawah dirinya. Tapi sekarang, Varo malah berkata seperti itu. "Cukup." Venus meminta dengan lirih, tanpa menatap pada suaminya. Sedangkan Varo malah mendengus tawa. "Satu-satunya kekurangan Lamia adalah sifatnya yang angkuh. Tapi itupun akan sangat menyenangkan kalau dijadikan tantangan. Sedangkan kamu..kamu bahkan bukan apa-apa kalau dibandingkan sama dia." "Mas!" Venus berteriak. Dia melompat ke atas kasur dan kemudian mendorong Varo hingga terjatuh ke bawah, sama dengan yang lelaki itu lakukan padanya tadi. Tetapi Varo tidak bisa menerima apa yang Venus lakukan. Lelaki itu segera naik ke atas kasur dan menarik rambut Venus hingga Venus berteriak kesakitan. "Lepas! Lepasin, Mas! Ini sakit!" Varo tidak iba walaupun Venus hampir menangis di bawah adidayanya. Lelaki itu semakin menarik keras rambut istrinya tanpa perasaan. "Harusnya, kamu tahu posisi kamu dengan baik! Istri itu harus selalu di bawah suami dan enggak boleh ngelawan sedikitpun! Tapi bisa-bisanya kamu malah mencoba menyakiti suami kamu sendiri!" "Lepas! Lepasin!" Ketika Venus menancapkan kukunya di tangan Varo yang memegangi rambutnya, Varo langsung melepaskan tangannya dengan kasar hingga Venus terjatuh lagi. Dan ketika Varo tampak lebih marah dari sebelumnya, Venus menendang tulang kering lelaki itu dan kemudian berlari keluar dari kamar. Dia masuk ke kamar yang lain dan menguncinya. Berdiam diri di dalam sana sekalipun Varo meneriakkan namanya berulang kali. Tubuh Venus gemetar. Kenapa jadi begini? Padahal Venus yakin sekali bahwa dirinya akan bahagia setelah menikah. Apalagi dengan lelaki seperti Varo. Tapi lelaki itu tidak seperti yang Venus kenal selama ini. Varo menyakitinya tanpa ragu, tidak ada lagi tatapan sayang yang diberikan lelaki itu padanya. Semuanya berubah. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD