"Ya kan? Gue juga udah bilang kalau yang warna biru itu lebih bagus. Tadi itu orang ngeyel dan bilang maroon lebih elegan. Eh, kemarin dia bikin story katanya, warnanya enggak sesuai sama yang dia mau!"
Terdengar tawa dari meja yang ditempati oleh empat orang itu. Tidak perduli orang lain alan terganggu, para wanita cantik itu terus menceritakan hal-hal yang menurut mereka seru dsj menertawakannya dengan heboh.
Hanya satu orang yang sibuk memainkan sedotan tanpa minat. Bahkan ketika obrolan tentang orang yang tidak dirinya suka diangkat di atas meja itu, dia masih tetap acuh. Sehingga menarik perhatian tiga orang temannya yang lain.
"Lo kenapa sih, Ven? Adik lo buat masalah lagi? Sampai lo keliatan BT begini?"
Venus menaikan arah pandangnya, sadar bahwa semua temannya kini sedang menunggu jawaban darinya. Ingin tahu apa yang sudah membuat Venus yang adalah orang yang pertama kali mengajak mereka bertemu, malah menghabiskan waktu dengan melamun dan diam.
Tapi Venus tidak mendapatkan semangat untuk menceritakan apa yang mengganggunya sejak tadi. Justru pikirannya teralih pada sesuatu yang lain.
"Rena mana? Bukannya dia bilang, kalau dia juga bisa datang?"
Karena dalam sirkel mereka terdapat lima orang wanita dan Venus adalah satu-satunya yang sudah menikah. Sedangkan teman yang baru saja dia tanyakan adalah yang paling akrab dengan Venus, bahkan sering kali disangka kakak-beradik karena penampilannya mirip.
"Enggak tahu nih! Gue juga udah tanya dia dimana dari tadi, tapi belum ada balasan. Dari yang gue denger, dia lagi deket sama cowok. Tapi enggak mau kasih tahu. Alasannya, karena dia belum official sama cowok itu," balas Serena, temannya yang lain.
Venus mengerutkan kening. Selain penampilannya yang mirip, Rena juga memiliki pandangan hidup yang sama dengan Venus. Mereka tidak mementingkan perasaan cinta atau sebagainya, yang mereka inginkan adalah memiliki hubungan yang sehat dengan orang yang bisa memberikan dunia pada mereka. Itulah kenapa di antara yang lainnya, selera mereka adalah yang paling tinggi dalam memilih apapun.
"Biar gue yang tele--" Ucapan Venus tergantung saat seorang wanita yang tengah mereka bicarakan datang dan langsung duduk di samping Serena.
"Maaf ya, Guys! Tadi enggak sengaja ada urusan sebentar makanya jadi telat datang!" Suaranya riang sekali. Sedangkan tangannya membetulkan letak kerah kemejanya yang sedikit terbuka. "Ven, apa kabar lo? Makin kinclong aja setelah menikah! Enggak kerasa ya, udah sebulan aja settle down!"
Venus hanya tersenyum tipis. Semua temannya tahu bahwa Venus adalah wanita beruntung yang mendapatkan lelaki seperti Varo. Yang bukan hanya tampan, tapi juga kaya. Sehingga cerita tentang percintaan Venus selalu menjadi penyegaran bagi teman-temannya.
"Ya kayak yang lo tahu, Varo segitunya suka sama gue. Makanya ini gue bilang mau pergi aja, dia terus hubungin gue sampai gue harus matiin internet sementara," balas Venus.
Tanpa dia sangka, Rena malah tertawa mendengar ucapannya. Hal itu membuat Venus menatap aneh pada sahabatnya itu.
"Ah, maaf! Gue cuma ngerasa kalau Varo yang keliatan cool begitu ternyata bisa bersikap manis juga sama pasangannya ya, Ven? Lo beruntung banget! Kalau gue sih, cowok yang lagi deket sama gue ini malah dukung gue yang ketemuan sama kalian. Sampai-sampai..dia ngirim uang buat gue nraktir kalian!" Rena menunjukkan sejumlah nominal di bukti transfer yang ada di ponselnya. Jarinya menutupi nama pengirim dan hanya menunjukkan nominal serta nomer rekeningnya sendiri saja.
"Wah! Gila! Kayaknya pernikahan Venus ini bawa berkah buat lo juga ya, Ren! Lo ketularan dapat cowok yang kayak Varo. Dulu kan, Venus juga sering banget traktir kita karena dapat kiriman uang dari Varo."
Venus menatap datar pada Rena yang kini sibuk membanggakan lelaki yang sedang dekat dengannya. Lelaki yang masih dibiarkan rahasia dan hanya diceritakan yang bagus-bagusnya saja.
Dia terganggu dengan teman-temannya yang kini sibuk memuji Rena hanya karena akan ditraktir oleh wanita itu. Padahal selama ini Venus lah yang sering memberikan traktiran itu.
Venus bangun dari duduknya. Dia mulai jengah.
"Karena lo segitu senengnya dapat transferan dari stranger, jadi lo bisa simpen uangnya. Kali ini juga biar gue yang traktir karena gue juga baru dapat transferan dari suami gue," kata Venus. Membuat semua temannya mendongak menatapnya.
Ia lebih dulu meminum airnya hingga tandas dan kemudian tersenyum manis. "Kalian bisa santai dulu disini sampai makanan kalian habis. Gue duluan karena gue ada janji makan malam sama Varo," katanya lagi sambil menggoyangkan kartu debit yang ada di tangannya.
Kakinya melenggang meninggalkan meja yang tadi dia tempati bersama dengan teman-temannya, menghampiri kasir dan membayar semua pesanan mereka. Dia kesal.
Sejak awal suasana hatinya tidak baik karena Varo begitu dingin setelah mereka menikah. Hubungannya dengan lelaki itu tidak hangat seperti sebelumnya dan Varo sangat jarang menyentuhnya. Sedangkan mertuanya yang dekat dengannya sudah sibuk menanyakan apakah Venus sudah hamil atau belum.
Padahal anaknya sendiri yang jarang menyentuh Venus tapi justru Venus yang tampak salah di mata mereka. Dan lagi, Varo jadi lebih perhitungan dengan selalu mempertanyakan kemana perginya uang bulanan yang dia berikan pada Venus. Sehingga mau tidak mau Venus harus lebih berhemat dari sebelumnya.
Tapi di situasi seperti itu, Rena malah memamerkan transferan dari entah siapa itu yang bahkan nominalnya tidak seberapa.
"Sial!" Venus menggerutu sambil memukul stir mobilnya. Tidak ada yang berjalan baik, semuanya menyebalkan.
*
"Lo masih tinggal di apartemen? Enggak ada pikiran balik ke rumah orangtua lo?"
Lebih dulu Lamia memasukkan ponsel ke dalam tasnya sebelum kemudian dia menjawab pertanyaan dari Rima.
"Ada kok. Rencananya abis bulan ini gue mau balik ke rumah."
"Serius? Repot lagi dong lo pindahan."
Lamia hanya mengangguk saja. Mau bagaimana lagi? Dia tidak tega membiarkan kedua orangtuanya tinggal sendirian di rumah mereka. Apalagi ini sudah satu bulan semenjak Venus menikah sehingga frekuensi mamanya bertanya kapan Lamia akan kembali ke rumah, semakin sering ia dengar.
"Tapi gue enggak akan bawa banyak barang. Pas masuk juga kan cuma baju sama perlengkapan penting doang, jadi kayaknya bisa diangkut sama mobil gue."
Rima menatapnya dengan tidak yakin. "Mobil lo kan kecil! Apa lo mau gue pinjemin mobil sama Mas kesayangan gue?"
Lamia tertawa kemudian menggeleng. Daripada meminjam mobil pada pacar Rima, lebih baik dia memanfaatkan Ruu. Lagi pula lelaki itu tidak akan senang mengetahui fakta bahwa Lamia lebih memilih menggunakan mobil pria lain daripada mobil miliknya sendiri.
Hanya saja, bukankah Rolls-Royce akan sedikit berlebihan untuk mengangkut barang pindahan dirinya?
Tapi kemudian saat dia bertemu dengan lelaki itu, Ruu berujar,
"Ada mobil Triton, Mbak. Kita bisa pakai itu buat Mbak Lamia pindahan."
Lamia memiringkan kepalanya. Saat ini mereka sedang ada di salah satu kafe yang agak jauh dari lingkungan tempat tinggal mereka. "Punya kamu?"
Ruu menatapnya kemudian mengangguk ragu. "Bisa dibilang begitu? Soalnya itu punya kantor. Biasanya dipakai kalau ada angkutan yang enggak terlalu besar. Ada beberapa. Mbak butuh berapa?"
"Satu aja lah! Memangnya aku mah mindahin apa, coba? Cuma barang-barang yang enggak seberapa." Lalu dia menghela napas pelan. "Sebenernya aku lebih nyaman tinggal sendiri, tapi Mama sama Papa kayaknya mulai kesepian."
"Mbak bisa tinggal sendiri pas udah nikah. Jadi sekarang Mbak puas-puasin tinggal sama orangtua."
Mata Lamia menatap lelaki itu penuh selidik. Dan Ruu langsung menyadari itu.
"Bukan berarti saya ngajak Mbak nikah, tapi kan suatu saat Mbak pasti mau nikah. Dan tolong usahakan nikahnya sama saya."
Lamia tertawa kecil. Kini dia sudah terbiasa dengan segala macam ekspresi Ruu yang hanya ditunjukkan di depan dirinya. Barusan saja lelaki itu berujar dengan wajah memelas yang lucu.
"Tapi aku cuma ngerasa kalau sebenernya orangtua aku itu juga pengen aku cepet-cepet nikah tapi enggak mau neken aku, makanya itu malah bikin aku ngerasa bersalah."
Ruu bergumam pelan, menghabiskan toastnya lebih dulu sebelum berkata, "Pernikahan bukan perlombaan, Mbak. Jangka waktunya panjang jadi harus banyak perimbangan. Mending sekarang jadi keras kepala dan lawan semua orang yang dorong Mbak buat nikah kalau memang Mbak belum siap, daripada nantinya Mbak sendiri yang nyesel. Inget, Mbak! Orang-orang nyuruh Mbak nikah bukan karena mereka perduli. Mereka cuma pengen ngerasa lebih tinggi dari orang lain yang menurut mereka kurang. Karena kenyataannya, kalau Mbak udah nikah, mereka akan tanya kapan Mbak punya anak. Dan kalau nantinya pernikahan Mbak enggak berjalan lancar dan cerai, mereka juga akan ngomongin itu seolah itu aib yang memalukan. Enggak akan ada puasnya dan mereka juga enggak akan mau bertanggungjawab sama hidup kita. Jadi biarin aja!"
Lamia terperangah. Senyumnya timbul saat mendengar Ruu berujar dengan bijak. Dirinya bahkan sengaja menopang dagu dan menatap penuh binar pada lelaki itu.
Membuat Ruu tersenyum malu sebelum kemudian menyentuh idung Lamia dengan telunjuknya. "Jangan ngejek saya!"
Kini Lamia tertawa. "Siapa yang ngejek sih? Kamu keren banget loh karena punya pemikiran kayak gitu."
Ruu menggelengkan kepalanya pelan. "Semua orang pasti punya pemikiran begitu, Mbak. Cuma enggak banyak yang bisa cuek kayak saya. Kebanyakan orang terlalu menganggap penting omongan orang lain yang ada di sekitarnya dan takut sama penilaian mereka. Makanya banyak yang hidupnya jadi enggan sesuai mau mereka. Dan aku sama sekali enggak mau Mbak kayak gitu. Mbak harus hidup dengan apapun yang Mbak mau. Kalau Mbak belum pengen menikah, yaudah jangan! Tapi kalau Mbak nantinya kepikiran buat menikah, Mbak harus langsung datanya ke saya. Karena saya akan siap kapan aja."
Bibir Lamia mengulas senyum, dia mengangguk kemudian. Walaupun pikirannya masih jauh tentang menikah, tapi sepertinya memang hanya Ruu yang akan dia pertimbangkan untuk menjadi suaminya nanti. Karena bukan hanya baik dan sangat menyukainya, Ruu juga tampan dan kaya. Dimana lagi Lamia menemukan lelaki seperti ini, bukan?
**