Dari ekor matanya, Lamia bisa melihat Rima yang siap maju ke hadapan dua orang yang tiba-tiba saja mendapatkan spotlight di ruangan butiknya yang lengang. Tapi Lamia menahan dengan gerakan alami, dengan dirinya yang maju lebih dulu.
"Bukannya kamu bilang usahaku ini usaha kecil? Apa perempuan sekelas kamu nggak akan malu nantinya, kalau pakai gaun dari sini?" tanya Lamia. Dia sempat melirik pada calon suami kakaknya yang tersenyum tipis menyapanya.
Tidak mungkin lelaki itu tidak tahu bahwa betapa Venus membencinya. Jadi bisa disimpulkan jika kedatangan mereka memang bermaksud membawa ketidaknyamanannya bagi Lamia.
Venus tertawa kecil sambil merangkul lengan calon suaminya. Tatapannya yahh berubah manja itu langsung ditujukan pada Varo. "Bener! Makanya aku cuma akan sewa satu gaun yang akan aku pakai buat resepsi. Itupun aku cuma akan pakai selama satu atau dua jam, karena aku punya gaun lain yang sudah lebih dulu aku pesan."
Mendengar hal itu, Lamia tersenyum sinis. Dia berbalik badan memunggungi kakaknya. "Syukurlah, kalau begitu. Karena aku juga mau bilang kalau kebetulan sekali nggak ada gaun yang bisa kami sewakan buat kamu, Ven."
Terang saja ucapannya membuat Venus berang bukan main. Wanita itu bahkan langsung melepaskan tautan tangannya di lengan Varo demi bisa membalik tubuh Lamia secara paksa ke arahnya.
"Apa maksudnya?! Nggak mungkin kamu nggak punya gaun yang bisa aku pakai, kan?!"
Lamia menatapnya skeptis. "Kenyataannya memang begitu, Ven. Maaf sekali, tapi sekarang ini sedang musim wisuda dan kami banyak menerima pemesanan kebaya wisuda dalam jumlah yang lumayan. Karena seperti yang kamu bilang, usaha aku ini masih terbilang kecil, jadi aku harus kejar setoran buat bisa beli rumah sendiri nantinya." Dengan senyum lebar yang dia sengajakan, Lamia membalas ucapan Venus dengan mengutip penghinaan yang kemarin kakaknya suarakan padanya.
Telinga Lamia bahkan mendengar suara tawa tertahan yang disuarakan oleh Rima di belakangnya.
Sedangkan Venus tampak sangat marah sampai tidak bisa berkata apa-apa. Sebagai gantinya, justru calon kakak ipar Lamia yang kemudian angkat suara.
"Mia, kamu nggak seharusnya bersikap begitu ke kakak kandung kamu sendiri. Kamu mendahulukan pesanan orang lain daripada gaun yang akan dipakai kakak kamu sendiri di hari pernikahannya. Harusnya sebagai rasa kasih sayang dan bentuk perhatian kamu di acara besar kakak kamu, kamu justru menyiapkan gaun tanpa harus kakak kamu datang dan minta sendiri, kan?"
Kepala Lamia bergerak miring dengan tatapan bingung. "Kenapa harus?"
Pertanyaan bernada bingung itu membuat Rima tak kuasa menahan tawanya lagi. Dan sudah jelas itu sangat menyinggung kedua orang yang sedang dihadapi oleh Lamia.
"Maaf, Mas Varo. Kayaknya Mas Varo nggak tahu kalau dari awal, Venus sudah menekankan kalau dia nggak akan pakai jasa aku atau pakai gaun buatanku buat pernikahannya dengan Mas Varo. Dia sendiri yang bilang kalau semuanya udah disiapin sama pihak keluarga Mas Varo. Jadi ya aku nggak kepikiran buat bikin gaun yang kemungkinan besar nggak akan dipakai sama Venus, kan?"
"Lamia, kamu!" Venus mengerang tertahan, wajahnya yang memerah menunjukkan sebarapa dia sedang menahan diri untuk tidak maju dan menjambak rambut adiknya sendiri di depan calon suaminya.
Sedang Lamia justru mengulas senyum, "Maaf banget, Kak," ujarnya sambil menyebut Venus dengan panggilan Kakak yang sudah lama sekali dia tanggalkan. "Tapi dengan berat hati aku mau bilang, kalau aku beneran nggak bisa sediain gaun buat pernikahan kamu. Daripada hasilnya malah jadi nggak bagus karena diburu-buru dan waktunya mepet, jadi aku lebih milih buat nggak ambil resiko itu."
Varo berdecak keras mendengar apa yang dikatakan oleh Lamia. "Udah lah, Yang! Dari awal harusnya kamu nggak perlu ajak aku kesini. Kita cuma buang-buang waktu doang cuma buat ditolak sama adik kamu ini."
Melihat wajah calon suaminya yang tampak kesal, Venus tampak gelisah. Dia langsung mengangguk mengiyakan ucapan Varo dan kemudian menatap Lamia dengan tatapan tajam.
"Usaha kamu ini..nggak akan pernah jadi besar karena attitude kamu nol besar, Lamia."
Varo mendecih. "Kalau aja dia bukan calon adik iparku, udah aku viralin pelayanannya yang buruk ini."
"Hm? Kayaknya sekalipun diviralin, tetap kalian nggak akan menang deh!"
Mata Lamia membulat saat melihat sosok lain muncul dari arah belakang tubuh Venus dan Varo.
Hah! Kenapa anak itu tiba-tiba ada disini?
"Siapa kamu?" tanya Varo tidak senang.
Sedangkan sosok itu, Ruu Ansel Kale, berjalan percaya diri dengan satu tangan membenarkan letak kacamata bulat yang dipakainya.
"Oh, maaf kalau saya tiba-tiba ikur campur! Sebenernya, saya udah lama ada di pintu dan nyari waktu yang tepat buat masuk, setelah menilai kalau pembicaraan kalian serius. Tapi karena pembicaraannya belum selesai dalam waktu lama dan saya denger sesuatu yang menarik, jadi tanpa sadar saya malah jadi ikut campur."
Lamia menghela napas kasar, tangannya memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut setelah masalahnya bertambah.
Dirinya tidak menyangka sama sekali jika Ruu akan datang ke tempatnya. Dan lagi, secara kebetulan malah berhadapan dengan Venus dan calon suaminya.
"Lo nggak denger ya? Gue kan tanya, lo siapa? Bukan apa yang lo lakuin!"
Entah mungkin karena sudah kesal dengan Lamia, Varo malah melampiaskan amarahnya pada Ruu hanya karena Ruu sama-sama lelaki.
Terang saja Lamia tidak membiarkan hal itu. Walaupun Ruu tampak tidak terpengaruh dan malah mengulas senyum tipis, tapi bisa saja itu malah membuat Varo makin kesal. Maka dia bergerak, menarik Ruu ke arahnya dan meletakkan lelaki itu bersampingan dengan Rima yang sejak tadi hanya melongo.
"Kak, sekali lagi aku minta maaf karena nggak bisa sediain gaun buat kamu. Jadi lebih baik kamu pergi dari sini sebelum malah tambah ribut," pinta Lamia dengan nada lelah. Dia berharap Venus dapat mengerti bahwa dia sedang benar-benar tidak memiliki tenaga untuk berhadapan dengan masalah tidak karuan saat ini.
Sayangnya, bukannya mengiyakan ucapan Lamia, wanita itu justru melangkah mendekat. Bukan pada Lamia, tapi pada Ruu yang ada di belakangnya.
"Kamu..kamu Ruu Ansel, kan? Kamu anak pemilik Pacific Era, kan?"
Ah. Lamia melupakan satu hal tentang kakaknya. Walaupun Venus adalah ahli gizi, tapi wanita itu sangat melek tentang berita para pebisnis. Karena di sanalah target pasarnya untuk mencari calon suami. Jadi tidak mungkin Venus tidak mengenali Ruu yang kemungkinan wajahnya beberapa kali dimuat di majalah bisnis sebagai pewaris tunggal Pacific Era, perushaan pembuatan Yacht dan Kapal yang ada di Singapura.
Lamia mengetahui latar belakang Ruu saat mereka masih kuliah, beberapa saat sebelum Ruu menyatakan perasaan padanya dan kemudian Lamia tolak.
"Apa? Pacific Era?" Varo sama terkejutnya. Lelaki yang sejak tadi memandang remeh pada Ruu yang tiba-tiba saja datang dan ikut campur, kini malah tampak tertarik pada pemuda kaya raya yang kini berada di belakang tubuh Lamia.
Untungnya, keributan itu berhasil dihentikan saat tiga orang gadis masuk sambil menyapa Lamia akrab. Mereka adalah adik tingkat yang mulai hari ini akan memulai magang di butik Lamia.
Juga karena dengan santainya, Ruu berbalik badan dan berjalan ke arah meja panjang yang selama ini dipakai Lamia dan Rima untuk bekerja. Maka tidak ada kesempatan bagi Venus dan Varo untuk bertanya lebih lanjut pada Ruu.
*
"Mbak, Mbak marah sama saya?"
Mata Lamia menatap datar pada Ruu yang baru saja bertanya demikian padanya. Dia tetap diam, mengabaikan lelaki itu yang datang dengan seenaknya.
"Saya minta maaf, Mbak. Saya kesini cuma mau ngajak Mbak makan siang karena saya sekalian lewat depan butik yang Mbak kasih tau ke saya. Saya juga nggak sengaja ikut campur karena jengah liat tingkah laku dua orang itu. Saya minta maaf."
Barulah kali ini Lamia menghela napas berat. Dia sempat melirik pada Rima yang sedang mengajari adik-adik magang mereka mengerjakan payet.
"Hari ini aku nggak bisa. Banyak pekerjaan yang harus secepatnya selesai," balasnya kemudian.
Ruu mengangguk paham. "Iya, Mbak. Saya juga kayaknya salah datang di waktu yang nggak tepat. Kalau begitu, saya pamit ya!"
Agak tidak menyangka jika lelaki itu akan pergi begitu saja, membuat Lamia langsung mendongak menatap Ruu yang sudah berdiri dan mengancingkan jas nya lagi.
"Kamu mau langsung pergi?" Sedetik kemudian Lamia langsung menyesali pertanyaan bodohnya. Padahal sejak tadi dirinya sengaja bersikap defensif karena tidak senang dengan kedatangan Ruu yang tiba-tiba. Tapi sekarang malah dirinya yang mempertanyakan itu.
Bahkan Ruu sendiri menyadari betapa konyolnya Lamia, karena lelaki itu kemudian tertawa geli. "Kan, Mbak bilang kalau Mbak sibuk sekarang. Daripada saya cuma ganggu kesibukan Mbak Lamia, mending saya pergi, kan?"
"Ehmm.. Iya juga sih. Maksudnya..aku bahkan belum nyuguhin kamu minum atau apapun. Maaf, karena pikiranku penuh dan aku enggak bisa mikir dengan benar."
Ruu tersenyum maklum. Tangannya bergerak begitu saja menyentuh kepala wanita yang satu tahun lebih tua darinya itu, hingga dia buru-buru menariknya kembali. "Nggak apa-apa, saya yang salah. Nanti ke depannya, saya akan hubungin Mbak dulu sebelum saya datang. Maaf karena datang tiba-tiba."
Lalu setelah berkata demikian, Lamia melihat sosok Ruu yang berjalan keluar dari butiknya, masuk ke dalam si elegan Rolls-Royce yang masih tidak tampak nyata di depan Lamia. Sulit baginya untuk memandang Ruu sebagai pewaris tunggal perusahaan kapal, karena dulu Ruu adalah anak lelaki yang cenderung suram karena selalu memakai hoodie dan berjalan lurus tanpa memperdulikan orang lain.
Bukan tipe yang pantas dibuli, karena tatapannya justru selalu terlihat tajam dan datar hingga orang lain enggan mendekat. Saat itu, Lamia hanya merasa Ruu sedikit mirip dirinya. Lamia selalu merasa kelelahan setiap berbaur dengan teman-temannya yang lain sehingga dia yang pernah berurusan dengan Ruu karena suatu hal, menjadikan lelaki itu tameng agar tidak ada yang mendekat pada dirinya. Lamia tidak terlalu suka harus berinteraksi dengan orang lain.
Tanpa dia duga bahwa Ruu ternyata memiliki pandangan lain terhadapnya, hingga berani mengutarakan perasaannya.
"Angkut, Mi! Cowok spek dewa kaya Ruu, mau cari dimana lagi, coba?"
Lamia memutar bola matanya saat mendengar ucapan ngawur dari Rima. Dia lantas mengabaikan Rima dan naik ke atas untuk mengambil beberapa barang dari lantai dua yang dia jadikan gudang dan tempat istirahat.
**