"Mau aku ambilin dessert enggak?"
Ruu mengalihkan tatapan yang semula pada kaca besar yang menampakan pemandangan gedung tinggi dan kendaraan yang terlihat kecil seperti semut yang berbasis, kepada seorang perempuan yang sejak tadi tidak berhenti merecokinya.
"Nggak usah," balasnya singkat. Kini dia memilih menunduk untuk menyibukkan diri dengan pekerjaannya, di saat orang-orang lain yang juga hadir di pertemuan Gala Persahabatan Pengusaha Asia ini, sedang asik berbincang sambil menyantap hidangan mewah yang disajikan dan berbotol-botol wine mahal dari berbagai negara.
Jika dipikir lagi, betapa gila mereka yang dengan enteng meneguk alkohol itu di siang hari bolong seperti ini.
"Ruu, ini kan acara intinya udah selesai. Gimana kalau kita berdua pergi aja? Aku tahu ada restoran steak yang enak banget. Kalau mau makan di sana, kita harus reservasi sebulan sebelumnya, tapi karena aku punya kenalan yang kerja di sana, jadi kita bisa langsung makan di sana dan duduk di rooftop yang cuma bisa dipakai tamu VVIP."
Tanpa mendongak untuk menatap wanita itu, Ruu langsung menggeleng. Amora, gadis yang sejak dulu berusaha keras untuk menjalin hubungan dengannya.
Semula, Amora tidak tertarik seujung kuku pun pada Ruu yang bukan siapa-siapa. Ruu bahkan tidak pernah mengenalnya sama sekali. Tetapi saat rumor tentang Ruu menyebar, Amora adalah orang pertama yang mendekatinya dan mengaku mengenal baik orang tua Ruu berkat pertemuan GPPA yang rutin diikutinya. Bahkan Amora sempat mencetuskan ide perjodohan saat keluarga mereka bertemu di acara itu, walaupun Ruu langsung menolaknya dengan tegas.
"Kenapa sih? Lagian kamu juga bosan kan ada disini? Urusan Pacific Era disini juga udah ditanganin sama Paris, kan? Jadi kita ini sama-sama enggak ada gunanya disini selain ngikutin orang tua kita."
Tapi ucapan Amora itu langsung terpatahkan saat beberapa orang menghampiri Ruu, tampah tertarik dengan performa kerja Ruu di kantor Cabang Jakarta.
"Saya dengar, anda akan mulai ikut dalam rapat rutin di Singapura bulan depan. Saya menantikan presentasi menarik anda, Pak Ruu."
Mereka terlibat perbincangan yang cukup lama dan Ruu bisa melihat sosok Amora yang akhirnya pergi dari sana dan bergabung dengan para gadis muda yang merupakan anak pengusaha, sama sepertinya.
Sedangkan tak lama kemudian, sosok Paris, sepupu yang dipercaya menjadi wakil ayah Ruu di Singapura, datang padanya.
"Kal, Papa kamu nyariin tuh!"
Ruu mencari keberadaan papanya dan dia langsung menghela napas berat saay mendapati papanya sedang bersama dengan orang tua Amora. Bahkan gadis yang semula bergabung dengan gadis lainnya itu, sudah tertawa-tawa di depan papanya.
"Enggak mau. Mas Paris bilangin aja ke Papa kalau aku kebelet."
Paris mendelik. "Heh! Jangan begitu! Nanti aku yang diomelin sama Papa kamu, Kal."
Tapi Ruu tidak perduli dengan apa yang dikatakan sepupunya. Lagipula papanya tidak akan semarah itu hanya karena Ruu menolak untuk datang setelah dipanggil.
"Aku masih ada urusan di luar, Mas. Mas Paris bilang aja ke Papa kalau aku sakit perut dan harus pulang. Nanti aku telepon Papa juga pas aku jalan pulang."
Dia sudah bersiap untuk pergi saat tiba-tiba saja Paris menahan langkahnya.
"Kal, apa kamu udah tahu kalau Amora up foto kamu sama dia? Media mulai bikin cerita kalau kalian dicurigai menjalani perjodohan."
Sontak kening Ruu langsung berkerut. Matanya kembali menatap ke arah Amora yang kini juga menatap padanya.
"Mas, aku bisa minta tolong buat turunin berita itu, kan? Kalau perlu, kasih berita bantahan kalau aku sama dia enggak ada hubungan apapun. Mas enggak usah pikirin masalah Papa, itu biar jadi urusan aku."
Setelah meminta tolong pada Paris, Ruu dengan percaya diri berjalan ke arah dimana papanya berada. Dia tidak mengerti, kenapa papanya sangat betah berada di sana, berhadapan dengan tawa palsu yang ditunjukkan oleh Amora.
"Kal, Papa udah panggil dari tadi loh! Kok baru datang sekarang sih?"
Mengabaikan ucapan papanya, mata Ruu justru melirik ke arah Amora yang tersenyum penuh kemenangan. Mungkin dipikirnya, Ruu sudah kalah dengan muslihat kotor yang dilakukan oleh wanita itu.
"Pa, I already have a woman I want to marry."
Ucapannya yang terang-terangan itu membuat semua orang yang sedang berhadapan dengannya, langsung terkejut.
"Apa? Siapa? Maksud kamu, Amora?" tanya papanya bingung.
Sedangkan gadis yang disebut namanya, hanya bisa tersenyum kaku karena menyadari bahwa sama sekali bukan dirinya yang dimaksud oleh Ruu.
"Bukan," tandas Ruu langsung. "Tapi karena Amora mengunggah foto aku sama dia tanpa ada konfirmasi sebelumnya, pers yang cuma ngelihat keuntungan tanpa peduli berita itu benar atau enggak, menaikan berita bohong bahwa aku sama Amora dijodohkan. So, I asked Paris to take down the news."
Ruu bisa melihat bagaimana wajah gadis yang semula penuh dengan tawa itu langsung berubah datar. Bahkan kedua orang tua Amora juga tampak canggung karena tidak menyangka jika Ruu akan langsung menegaskan perihal ini tanpa tedeng aling-aling.
"Kamu terlalu berlebihan, Ruu. Padahal biarin aja pers menaikan berita semacam itu. Bukannya selama ini, kalangan seperti kita memang sering terjerat berita yang bahkan enggak benar? Apalagi, aku sama kamu, kita kan cocok. Jadi buat apa lagi kamu cari perempuan lain kalau sudah ada aku disini? Keluarga kita juga kan sudah pasti setuju."
Dengan tidak tahu malunya, Amora malah berkata seperti itu dengan percaya diri.
Ungkapan sepihak yang kemudian ditertawakan oleh Ruu.
"Karena saya tahu bagaimana kamu, jadi saya enggak mau terlibat apapun sekalipun itu berita bohong. Jadi ke depannya, kalau kamu masih berharap punya hubungan baik dengan kami, watch your act! Karena saya enggak suka kehidupan pribadi saya dibuat jadi mainan atau alat berebut kekuasaan."
Ruu selesai dengan semua yang ingin dia katakan. Mungkin tingkahnya ini akan membuat hubungan orangtuanya dan orangtua Amora tidak akan sama seperti sebelumnya, tapi Ruu tidak perduli. Satu-satunya wanita yang ingin dia nikahi adalah Lamia dan dia tidak ingin Amora memanfaatkan koneksi mereka dengan seenaknya.
"Pa, aku pergi duluan ya! Sampai ketemu di rumah!"
Usai berpamitan pada papanya yang hanya bisa tersenyum kikuk dengan wajah kebingungan, Ruu langsung pergi dari sana. Tangannya sempat melambai ke arah Paris yang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku Ruu. Sepupunya itu, pasti sudah bisa membayangkan sebanyak apa kekacauan yang Ruu timbulkan.
*
Siapa yang membuat Lamia yang selama ini hanya membaca majalah fashion beralih membaca majalah bisnis?
Bukan siapa-siapa, Lamia hanya penasaran dengan sosok wanita yang dikatakan oleh Rima sebagai Putri kampus mereka. Setelah dia mencari di internet, Lamia beralih pada majalah bisnis yang dia beli dalam perjalanan pulang. Harganya lumayan juga, tapi dia tidak menyesal karena profil orang-orang yang ingin dia ketahui benar-benar ada di sana.
Amora Shennel dan Ruu Ansel Kale.
Hubungan keduanya dijelaskan dalam dua baris kalimat yang ada di halaman depan majalah.
Dua pewaris perusahaan besar dan berpengaruh yang digadang-gadang akan mengguncang perekonomian Negara. Penyatuan sejoli pemilik kekayaan yang mencengangkan.
Hanya dengan membaca itu saja, Lamia langsung merasa bahwa sejak awal Ruu tercipta bukan untuk wanita sepertinya. Bagaimana mungkin Ruu menyukai Lamia yang biasa saja saat di dekatnya ada wanita yang membawa uang dalam jumlah banyak di dalam tas dan ponselnya?
Apalagi, predikat sebagai Putri Kampus sama sekali bukan sesuatu yang berlebihan jika disandingkan dengan Amora. Wanita itu benar-benar cantik, tidak akan kalah jika dijejerkan dengan para aktris ibu kota bahkan model papan atas luar negeri.
Lelaki gila mana yang tidak akan jatuh cinta pada wanita sepertinya?
Ketika Lamia sampai di lobi apartemennya, lelaki yang mungkin saja gila seperti katanya itu, duduk dengan tenang memangku koran dengan setelan mahalnya tanpa mengindahkan tatapan takjub dari orang-orang yang melewati tempatnya duduk.
Lamia menghela napas pelan, "Ngapain?" tanyanya.
Yang langsung membuat Ruu langsung menutup koran di tangannya dan berdiri sambil mengancingkan jasnya.
Lihat itu! Bahkan gerak-geriknya yang natural itu terlihat sangat mewah di mata Lamia.
"Mbak, saya belum makan."
Kening Lamia sontak berkerut mendengar apa yang dikatakan oleh Ruu di depannya. "Kenapa ngomongnya ke aku? Kamu harusnya ngomong begitu di warteg, biar langsung diambilin nasi sama lauk sama penjualnya."
Tapi lelaki di depannya itu malah tertawa dengan santainya. "Saya mau pesan makan tapi enggak mau makan sendirian. Mbak mau makan bareng saya?"
"Enggak mau! Kata mamaku, aku enggak boleh bawa anak lelaki masuk ke apartment ku."
Ruu tersenyum geli mendengarnya. "Kalau begitu, gimana kalau kita makan di luar aja?"
Lamia diam. Menatap pada lelaki itu dengan tampilan yang sama persis seperti apa yang dilihatnya di postingan yang ditujukan oleh Rima.
"Bukannya kamu abis jalan sama cewek cantik itu? Masa iya kamu belum makan?"
Mulanya, Lamia tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya. Sebelum kemudian dia melihat ada senyum penuh arti di wajah Ruu.
"Mbak, Mbak cemburu ya?"
Mata Lamia langsung melotot. "Yang bener aja dong kalau ngomong! Lagian dari kata yang mana yang bikin kamu mikir kalau aku cemburu? Aku cuma tanya, kamu kan abis jalan sama cewek itu, masa iya belum makan?"
Ruu mengangkat bahunya acuh. "Saya bukan jalan sama dia, tapi saya enggak sengaja ketemu sama dia di acara bareng orang tua saya."
Wajah Lamia melengos. "Enggak sengaja ketemu tapi sempet-sempetnya foto berdua."
Tanpa Lamia tahu, jika ucapannya yang ia suarakan dengan pelan itu justru berhasil didengar oleh Ruu.
Lelaki itu semakin mendekat padanya, menunduk untuk bisa menatap Lamia yang masih memalingkan muka. "Mbak, saya enggak ada hubungan apa-apa sama dia. Dia memang pernah minta orang tua saya dan orang tua dia membuat usulan perjodohan, tapi langsung saya tolak. Mbak tahu kenapa?"
Saat itu Lamia memiliki insting untuk tidak memberikan jawaban pada apa yang dipertanyakan oleh Ruu. Tapi sialnya, kepalanya dengan spontan malah menggeleng hingga membuat lelaki itu tersenyum simpul menatapnya.
"Karena saya sudah punya perempuan yang mau saya nikahi."
**