9. Pernyataan yang tiba-tiba

1512 Words
Memangnya ada, lelaki gila yang datang setelah bertahun-tahun dan langsung mengobrak-abrik kehidupan wanita yang dicintainya? Ada. Dan sialnya, itu adalah Ruu. Dirinya sendiri. Ruu sejak dulu selalu mendengar bahwa dirinya memiliki karakter yang lebih dewasa daripada umurnya sendiri dan itu dia buktikan dengan banyak pencapaian dan juga ribuan masalah yang bisa dia lewati dengan tenang, meski tanpa kekayaan keluarganya. Tapi entah kenapa, itu semua tidak berfungsi di depan Lamia Orion Ceanturi. Wanita cantik dengan wajah tegas dan bibir yang tipis, rambutnya yang sebahu dan juga kulit kuning langsatnya yang memesona. Ruu sudah bertekad untuk mendekati Lamia kembali dengan perlahan-lahan, untuk memperbaiki apa yang dulu dia kacaukan. Tapi hanya karena menyadari Lamia akan memiliki dua tetangga lelaki lajang, membuat dirinya tidak bisa beristirahat dengan nyaman sejak semalam. Itu juga yang akhirnya membuat Ruu langsung 'berlari' ke apartemen Lamia begitu agenda pentingnya hari ini usai. Tapi apa yang dia lihat? Wanita itu sedang berbagi senyum dan beramah tamah dengan lelaki tinggi itu di depan apartemennya. Dan terjadilah. Boro-boro mendapatkan penilaian yang baik dari Lamia, Ruu malah memantik amarah muncul dari Lamia yang selama ini selalu terlihat tenang. "Kayaknya kamu udah gila," gumam wanita itu sambil berjalan jauh dari Ruu. Ruu mengekori langkah Lamia, hingga mencapai dapur minimalis yang ada di dalam unit itu. Penampakan unit ini lebih baik dari kemarin saat dirinya mengantar Lamia untuk survei, rupanya kini unit yang tengah dia kunjungi sudah siap untuk dihuni. Mata Ruu menatapi wanita itu yang tengah sibuk melakukan apapun, kecuali menatap ke arah Ruu. "Mbak, apa enggak bisa kalau saya aja? Kalau Mbak segitunya mau punya pacar, kenapa enggak saya aja, Mbak?" Rasanya menyedihkan, karena Ruu bahkan gagal mengontrol nada putus asa dalam suaranya. Bertahun-tahun ini dia tenang-tenang saja karena dia yang paling tahu bahwa Lamia tidak tertarik dengan hubungan romantis. Tapi semenjak dia mendapati Lamia bertemu dengan seorang lelaki di hari pertemuan mereka kembali, hingga kini, Lamia tampak seperti terburu-buru untuk mendapatkan kekasih. Dan itu membuat Ruu tidak tenang, dia ketakutan. "Berhenti bicara kosong begitu, Ruu! Dan lebih baik kamu pulang, karena aku lagi capek banget sekarang. Aku enggak mau tambah capek karena harus berhadapan sama kamu." Lamia bahkan tidak menoleh padanya sama sekali. "Saya masih suka sama Mbak. Sama besar seperti sebelumnya. Kalau memang Mbak berpikir buat punya pacar, maka pilih aja saya, Mbak. Mbak enggak harus langsung balas perasaan saya, cukup saya yang akan membuat Mbak perlahan nyaman dan menerima saya. Bukannya itu lebih baik daripada Mbak harus mulai dari awal lagi? Mengenal orang baru dan memahami sifat mereka? Sedangkan Mbak sudah tahu saya dan saya juga sudah tahu Mbak. Kita cuma perlu menciptakan banyak momen yang bisa membuat kita saling terikat satu sama lain." Ruu diam kemudian, matanya masih mengikuti gerak sekecil apapun yang ditunjukkan oleh Lamia. Wanita itu kini hanya berdiri berpegangan pada sisi kitchen set, dengan tangan yang sepenuhnya menopang tubuhnya. "Aku enggak bisa mikir apapun sekarang dan yang ada di dalam diri aku cuma rasa kesal ke kamu. Jadi kalau kamu memang mau menjaga hubungan baik sama aku, aku minta kamu keluar dari sini sekarang. Karena aku cuma akan semakin enggak suka sama kamu setelah apa yang kamu lakuin." Menghela napas pelan, Ruu mengangguk walau dia tahu Lamia tidak akan melihatnya. "Oke, Mbak. Aku akan pergi sekarang. Mbak hati-hati ya! Hubungin aku kalau ada apa-apa." Setelah mengatakan itu, Ruu berjalan menuju pintu dan membukanya, membiarkan tubuhnya keluar sepenuhnya dari teritori Lamia. Lelaki lajang yang menjadi tetangga Lamia, datang dari arah lift, tersenyum padanya dengan ramah. "Sudah mau pulang ya, Mas?" tanyanya basa-basi. Dan Ruu mengangguk dengan senyum kecil sebagai tanggapan. Dia terpekur sesaat, sebelum kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Kalau saya boleh minta tolong, apa Mas bisa simpan nomor telepon saya? Saya minta tolong Mas langsung hubungin saya kalau Lamia kenapa-kenapa." Kening lelaki yang ada di depannya itu tampak mengerut saat melirik sekilas ke arah pintu unit Lamia yang tertutup. "Memangnya akan ada sesuatu yang membahayakan Mbak Lamia ya?" tanyanya kemudian. Ruu menggeleng kecil. "Cuma untuk berjaga-jaga." Dan lelaki ramah di depannya langsung mengangguk tanpa keberatan. Dia mengambil alih ponsel Ruu untuk mencatat nomernya sendiri. "Nama saya Vadel, Mas." Ruu menyimpan nomor itu dengan nama yang baru saja disebutkan dan kemudian menghubungi nomornya. "Saya sudah miscall tadi, Mas bisa simpan nomor saya. Saya Ruu." * Sudah dibilang, bahwa seharusnya saat meeasa lelah, lebih baik menepi sejenak. Karena satu kesalahan yang dibuat orang lain, akan membuat amarah yang bukan untuknya juga dilampiaskan padanya. Lamia sudah lelah sejak kemarin, karena bagaimanapun juga dia kehilangan banyak energi setelah berseteru dengan kakaknya. Tapi sekarang secara mendadak, kedatangan Ruu menambah deretan pelik yang menerpa kepalanya. Laki-laki yang dulu pernah menyatakan perasaan padanya, kembali menyatakan perasaan yang sama, hanya berselang beberapa hari di pertemuan pertama mereka. Dan kini Lamia kehilangan kerja baik otaknya karena sejak semalam nada bicara Ruu yang putus asa itu membuat dirinya tidak bisa lupa. "Padahal enggak masalah loh, kalaupun lo mau cuti lagi hari ini. Kayaknya lo kecapean banget." Kepala Lamia mendongak ke arah Rima yang baru saja menaruh gelas kopi di depannya. "Thanks!" ucap Lamia. "Pesanan kita kan lagi banyak, lo bisa keteteran kalau gue enggak masuk lebih dari sehari." Rima mendengus pelan, "ada anak-anak cantik itu yang bantu gue disini. Memangnya apa yang bakal kejadian cuma karena lo libur dua hari? Sok penting banget!" Lamia tertawa mendengar celetukan sahabatnya itu. Tangannya kemudian menyanggah gelas kopi, menghindu harum kopi hitam itu dan menyesapnya perlahan. "Rim, apa lo bahagia bisa pacaran sama cowok lo yang sekarang?" tanya Lamia tiba-tiba. Matanya lurus menatap ramuan hitam yang berkhasiat untuk membangunkan kantuk yang merayunya untuk tidur siang. Sedangkan Rima yang mendengar pertanyaannya, langsung mendelik semangat. "Tentu aja dong! Lo tahu, kan? Gue udah suka sama si Mas dari gue SMP. Setiap dia main ke rumah gue buat ketemu abang gue, gue selalu batalin semua agenda keluar gue dan sepenuh hati mondar-mandir biar dinotice sama dia." Lamia tertawa lagi. Kisah cinta Rima selalu menarik untuk dirinya dengar. Sahabatnya itu menyukai teman kakaknya sendiri dan baru bisa saling menyatakan perasaan saat Rima wisuda. Sekarang hubungannya sudah mencapai angka empat tahun dan dalam rangka untuk melaju ke jenjang yang lebih serius. "Tapi kenapa lo tiba-tiba tanya gitu? Lo udah nemu cowok yang mau lo ajak pacaran? Eh? Jangan bilang kalau orangnya Bambang?!" Kening Lamia langsung berkerut mendengar apa yang dikatakan oleh Rima. "Kenapa tiba-tiba Bambang?" "Karena kemarin dia sempet chat gue nanyain lo. Tapi enggak gue balas." "Tanya apa?" Rima kini menyalakan ipad miliknya. Tangannya sempat menyentil semut hitam yang datang mendekat. "Nanya, lo udah nemu cowok lain belum, setelah gagal sama dia?" "Dih! Kenapa dia mau tahu?" Lamia jadi kesal mendengarnya. "Gue baru tahu kalau dia NPD, dia enggak tahan kalau ada orang lain lebih oke dari dia. Kayaknya, harga dirinya terluka karena lo komentarin soal jas kw yang dia pakai waktu itu." Lamia mengibaskan tangannya dengan acuh. "Gue cuma ngomong fakta. Masa iya, gue diem aja setelah dia bilang dress favorit gue sebagai dress 90an." Rima terkikik mendengar apa yang dikatakan olehnya. "Seleranya aja yang KW, mana tahu dia soal model dress." Lamia hanya mengangguk saja. Tangannya tanpa sengaja menyentuh ponsel yang ada di atas meja dan saat itu dirinya baru menyadari bahwa seharian ini belum ada pesan masuk dari Ruu. Padahal semenjak dia memberikan kartu nama pada lelaki itu, Ruu selalu menghubunginya entah itu untuk bertanya tentang Lamia yang sudah makan atau belum, atau juga pertanyaan remeh-temeh yang lain. Tapi sejak kemarin Lamia meminta lelaki itu pergi, Ruu seolah benar-benar memutuskan menghilang dari pandangannya. Entah kenapa itu malah menumbuhkan perasaan bersalah dalam dirinya. "Wah! Lihat ini, Mi!" Suara nyaring Rima membuat Lamia terkejut. Dia mendapati Rima yang menyodorkan ipad ke arahnya. "Lo dari tadi bukannya bikin sketsa malah scroll Ig." Sahabatnya itu berdecak. "Bukan itu poinnya. Lihat ini! Lo ingat dia, enggak?" Mata Lamia melebar saat melihat seorang wanita yang berdiri dengan posisi mencondongkan tubuh ke arah seorang lelaki yang berdiri tegak. Itu Ruu. Dengan penampilan rapi dan wajah yang datar. "Dia Putri kampus, kan? Yang dulu digosipin dijodohin sama Ruu?" Sejak awal Lamia hanya fokus pada sosok Ruu, tapi setelah mendengar penjelasan dari Rima, ekor matanya mulai menatap jelas pada foto gadis cantik yang tersenyum lebar di sisi Ruu. Lalu beberapa detik kemudian, Lamia langsung mengalihkan pandangan. Kembali menyesap kopinya hingga tandas. "Iya kali," balasnya singkat. Dirinya berusaha setenang mungkin dan menunjukkan bahwa dia tidak perduli dengan apapun yang tadi dilihatnya. Padahal jantungnya berdebar kencang entah untuk alasan apa. Mungkin karena kopi hitam yang dia minum dalam sekali teguk. Atau mungkin karena dia merasa dibohongi oleh lelaki yang kemarin mengaku menyukainya tapi sekarang justru berfoto dengan wanita lain. Atau mungkin juga karena alasan yang Lamia sendiri tidak mengerti. Semua itu membuat otaknya yang sudah ramai, bertambah ramai. Dia menghela napas kasar, bangun dari duduknya dan melangkah ke lantai dua. "Gue kerja di atas. Jangan ada yang ganggu gue ya!" Lalu dia mengabaikan tatapan bingung Rima padanya. Karena jika sampai Rima bertanya, Lamia tidak akan memiliki jawaban untuk rasa penasaran sahabatnya. Sekarang ini, Lamia hanya bisa memastikan bahwa egonya tersentil melihat lelaki yang mengakui menyukainya justru bersama dengan wanita lain. Hanya sebatas itu. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD