chapter 3

1814 Words
Sania benar benar pergi malam itu bersama dengan delia, Sania tentu saja tak pamit kepada mamanya kalau dia ingin pergi bukannya bekerja di lorong, ia bergegas menuju rumah Delia dengan niat ingin mencari suasana baru di taman kota Dengan menaiki ojek Sania sampai i rumah Delia pada pukul 8 malam "Dell, dell," Sania mengetuk pintu rumah Delia sambil memanggil manggil sahabatnya. "Sebentar." Sania keluar dengan menggunakan baju berwarna hitam yang terlihat cocok dipakainya "Ayok. Jalan aja ya Del," ajak Sania "Oke lah. Eh gimana mama lo, ga tau kan kalo lo ngga di lorong," tanya nya "Aman kok." Mereka berjalan sambil bercerita cerita dan menuju ke taman kota, rumah Delia memang dekat dengan taman kota ia sering menghabiskan waktu bersama dengan sania disana. Sania bercerita pada Delia kalau sempat bertemu dengan Alex dan Alex memaksanya untuk ikut dengannya "Gue ketemu sama Alex lagi," Sania bercerita "Cowok kurang ajar yang di lorong itu?" "Iya." "Ngajak lo kerja sama dia? Atau mungkin dia masih berusaha buat nidurin lo?" "Ya gitu lah Del. Gue jadi ngerasa takut banget ada disana, gue takut kalau dia beneran Dateng ke rumah gue dan ngelakuin hal yang nggak nggak," kata Sania "Duhh gue ga abis pikir kalau jadi lo san, Lo kuat bangettt. Semoga aja mama lo cepat sadar dan dibukain pintu hatinya ya,"Delia hanya mampu menenangkan sahabatnya tak ada lagi yang bisa ia lakukan karena keadaan Sania yang memang serba salah. Sania tampak menikmati kebersamaan bersama Delia malam itu, ia terlihat bahagia, mungkin saja ia ingin menenangkan pikiran sejenak sebelum kembali ke realita yang perlahan membunuhnya Saat ia berjalan jalan ditaman kota, ia tak sengaja bertemu dengan lelaki yang beberapa hari lalu tak sengaja menabraknya. Mereka bertemu saat bersebelahan duduk di kursi panjang yang berada ditengah taman "Emm, sorry kayaknya kita pernah ketemu," sapa lelaki itu tiba tiba, membuat Sania dan Delia menyeritkan alis. Belum sempat Sania menjawab laki laki itu tampak ingat siapa Sania "Ohh mbak yang malem itu ngga sengaja tabrakan sama saya ya pas dijalan," ucapnya "Ohh iya mas," Sania membalas ucapan pria itu dengan ramah juga "Siapa san?" Tanya Delia "Kemarin pas gue pulang abis beli minum ngga sengaja tabrakan sama mas ini Del," Sania menjelaskan pada Delia "Emm maaf ya mbak sekali lagi, oh ya kenalin namaku Dion," ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangannya. Sania pun membalas uluran tanga tersebut, begitu juga Delia "Sania." "Delia" Mereka berkenalan dan saling tersenyum satu sama lain. Sania mencoba tak terlalu menghiraukan Dion, dia melanjutkan bercerita dengan Delia, namun saat Sania menatap ke depan, dengan ekor matanya dia melihat kalau Dion selalu menatapnya, ia menoleh pada Dion, lelaki yang memang memiliki wajah sangat tampan. Tubuhnya juga bagus dan terlihat sangat lembut dari cara bicara dan juga sopan. Saat Sania melihat ke arahnya, Dion langsung memalingkan wajahnya. Entah apa yang dirasakan oleh Sania malam itu, ia agak sedikit risih karena Dion yang selalu menatapnya. Namun tak beberapa lama, Dion tampak berdiri dan hendak pergi,ketika hendak pergi dia berpamitan pada Sania dan Delia "Sania, Delia, aku balik dulu ya," ucapnya dengan sopan. "Oh iya hati hati," kata Sania dan delia. "Sampai bertemu kembali." Sepeninggal Dion Sania berbicara pada Delia "Del, pas pertama gue ketemu cowok tadi, dia selalu lihatin gue, tadi juga. Gue jadi ngerasa aneh," ucapnya "Hahaha suka sama lo kali." "Suka? Orang kenal aja enggak." "Ya siapa tau cinta pada pandangan pertama. haha." "Ngaco lo." Delia tak heran jika lelaki menatap Sania dengan kagum. Sania adalah gadis yang memiliki senyum sangat manis, berambut panjang berwarna hitam, tanpa polesan apapun diwajahnya namun sudah terlihat begitu sempurna. Jadi wajar jika banyak lelaki yang memandang Sania terus menerus karena memang wajahnya tak membosankan. Malam mulai larut, Sania mengajak Delia untuk kembali "Del sebelum balik, gue numpang sholat isya dulu ya. Tadi belum sempet," ucapnya "Oke." Mereka menuju ke rumah Delia dan Sania pun langsung melaksanakan sholat sebelum berpamitan untuk pulang "San, lo gapapa pulang sendiri?" Tanya Delia "Amannn." "Jangan aman aman aja. Ini udah malem gue takut kalau ada apa apa dijalan." "Ngga kok. Udah biasa" "Apa perlu gue anter san?" "Jangan berlebihan, gue aman kok percaya sama gue," ucap Sania kemudian pamit untuk pulang ke rumahnya. Ia berjalan sendiri malam itu, jalanan begitu sunyi dan kendaraan yang berlalu terlihat mulai jarang. Di jalan kecil sebelum memasuki lorong, Sania dikejutkan lagi oleh sosok lelaki. Yaa, siapa lagi kalau bukan Alex. "Dari mana sayang," ucapnya membuat Sania bergidik geli mendengar nya. Sania memutar badan dan berlari sekencang mungkin menjauhi Alex dan ya, Alex tentu saja mengejarnya, Sania berlari menjauhi lorong itu dan bersembunyi di sebuah gang kecil. Dengan ketakutan ia menahan nafasnya yang terengah engah akibat berlari, ia menunggu Alex pergi dan kemudian keluar dari gang kecil itu. Ia memastikan kalau Alex benar benar pergi, baru dia kembali berlari menuju rumahnya. Sesampainya dia dirumah, dia membuka pintu dan tak menemui mamanya ada disana. "Mah, Sania pulang," ucapnya sambil mencari mamanya di rumah. Di dapur, di kamar mandi, di kamar mamanya pun tak ada "Oh mungkin saja mama belum pulang" gumamnya dalam hati. Ia masuk ke dalam kamarnya, namun ia tak menguncinya. Hanya merebakan diri dan menunggu ngantuk datang. Pukul 1 malam, mamanya tak kunjung datang, ia pun membuka buku bacaan yang ia simpan tanpa sepengetahuan mamanya dan mulai membacanya, mumpung mamanya belum pulang dan dia pun Bingung harus ngapain. Namun saat ia membaca buku tentang agamanya tersebut dan mulai fokus, mamanya datang dengan keadaan mabuk bersama dengan lelaki yang ia tak tau itu siapa. "Mahh, mama gapapa?" Kata Sania keluar kamar sambil memegang mamanya yang sempoyongan bersama seorang lelaki "Ahh sana, ga usahh ngurusin gue," ucap mamanya sambil menepis tangan Sania Mamanya bersama lelaki itu memasuki kamar dan ya, apalagi kalau bukan tidur bersama. Lagi lagi hati Sania bagai tertusuk pisau tajam, namun nampaknya ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu. Ia kembali merebahkan tubuhnya, rasa kantuk mulai datang dan matanya mulai terasa berat. Ia kemudian tertidur dengan keadaan buku masih ada didekapannya. Baru sebentar rasanya ia memejamkan matanya dan melepas lelah, ia terbangun akibat rambutnya terasa begitu sakit. "Bangun lo." Ya, itu mamanya yang sedang menjambaknya hingga ia terbangun "Ahh ampun ma, ada apa ma?" Sania berteriak sambil berusaha melepas tangan mamanya yang semakin keras menjambaknya. "Ngapain lo simpen buku buku kayak gini? Ngapain lo baca buku kayak gini? Lo ini p*****r Sania, jangan g****k jadi anak," mamanya terus berteriak ditelinganya, sedangkan ia hanya bisa menangis menahan sakitt. "Jangan pernah mimpi lo bakal punya kehidupan diluar lorong ini!" Ucap mamanya kemudian mendorong tubuh Sania ke kasur. "Sakit," Sania terus bergeming sembari memegang kepalanya. Tak hanya itu, mamanya mengambil buku buku Sania dan merobeknya didepan Sania. "Jangan maa, jangan," Sania berusaha menghentikan perbuatan mamanya. Namun ia tak kuasa "Tugas lo hidup cuma cari uang Sania! Ga perlu baca kayak gini!" Ucap mamanya dan meninggalkan Sania menangis didalam kamarnya. Sania mengambil bagian bagian kecil dari buku yang telah dirobek mamanya sendiri, dadanya begitu sakit melihat ini, ia ingat betapa sulitnya ia mendapatkan buku ini, ia membacanya secara diam diam dan harus berakhir menjadi sobekan sobekan kecil seperti ini. /// Namun tekad Sania benar benar kuat, ia sangat ingin memperbaiki diri dan belajar tentang agama. Ia terus mencari cara agar bisa mendapatkan ilmu agama dan terus melaksanakan sholat meskipun secara diam diam dan sembunyi sembunyi. Malam itu ia berangkat keluar lorong menuju ke sebuah masjid, namun ia tak pergi kedalam. Ia duduk di samping masjid sembari mendengarkan ceramah yang sedang di bacakan oleh seseorang didalam sana. Ia terduduk sembari mendengarkan secara seksama hingga ceramah selesai Sebuah senyum terukir di bibirnya, ia merasa bersyukur bisa mendengarkan ceramah seperti ini walaupun diluar masjid. Saat ceramah selesai orang orang mulai keluar masjid, ia bergegas pergi dari tempat itu, ia takut jika ada orang tau kalau ada gadis yang berasal dari lorong tempat para p*****r datang ke masjid, ia takut kalau ia diusir dari sana dan tak boleh lagi berada didekat masjid, ia takut kalau tak bisa lagi mendengarkan ceramah disana lagi. Bukan tanpa sebab ia merasa takut seperti itu, dulu ia pernah datang untuk sholat ke masjid namun ada beberapa orang yang tau kalau ia berasal dari lorong dan ia seorang p*****r, dan benar ia diusir dari sana, para warga tak ingin ada p*****r datang ke masjid dan membuat masjid menjadi kotor katanya. Tentu saja hal itu membuat ia merasa hina, namun ia menyadari kalau memang ia adalah seorang p*****r dan berasal dari lorong yang kotor. Tak sepatutnya menginjakkan kaki di tempat suci. Maka dari itulah ia tak lagi masuk ke sana, hanya mendengarkan ceramah dari luar saja. Sania bergegas pergi saat orang orang itu keluar dari masjid, ia menggunakan jilbab yang ia gunakan sebagai penutup kepala dan juga wajahnya, saat hendak berlari ia tak sengaja mengenai sebuah batu yang membuatnya terjatuh dan merasakan sakit di lututnya. "Ahh aduhh," katanya sambil melihat lutunya yang ternyata berdarah. "Permisi," sebuah suara terdengar jelas oleh Sania, ia melototkan matanya karena takut jika laki laki itu melihat ia siapa. Sania berdiri dan tak menghiraukan lelaki yang berada dibelakangnya tadi. Sania berlari meskipun dengan keadaan kaki yang luka "Hei tunggu nona," ucap lelaki itu mencoba menghentikannya. Namun tampaknya lelaki itu tak akan mengejar juga. Sania kembali ke lorong dengan berjalan menahan rasa sakit dan sedikit menyeret menuju ke ujung lorong tempat biasa dia menyendiri dan sholat disana. Ia mencoba mencatat apa yang ia dengar dari ceramah tadi dan mulai merenungkan semuanya Merenungkan tentang kebaikan Tuhan dalam hidupnya meskipun ia dilahirkan di tempat yang seperti ini, ia tetap bersyukur karena masih bisa bernafas dan merasakan kenikmatan dalam hidupnya. Ia menghabiskan waktu disana, diujung lorong yang menjadi saksi betapa ia mencintai Allah sebagai Tuhannya, tempat dimana ia meminta pada Sang pencipta dan tempat dimana ia bercerita tentang betapa inginnya ia pergi dari tempat itu. Sania pun teringat akan buku bukunya yang telah hancur disobek oleh mamanya. Ia teringat akan tempat dimana sampah sampah buku dibuang yang berada tak jauh di tempat ia duduk. Sania berdiri dan mencari lembaran demi lembaran majalah ataupun koran yang berisi tentang ilmu agama. Buku atau berita seperti itu memang tak diperlukan di lorong ini, jadi ia mengumpulkan meskipun selembar potongan koran yang berisi tentang tulisan hadist ataupun informasi lain yang memang bisa ia gunakan untuk belajar. Ia tersenyum dan mengambil lembaran itu kemudian membacanya disana. Beberapa lembar ia masukkan kedalam tasnya untuk ia baca dirumah. Ia berniat untuk mengumpulkan uang lagi dan membeli buku buku lagi. Waktu masih menunjukkan pukul 10 malam, ia bingung harus kemana lagi yang penting ia tak kerumah karena akan berbahaya jika mamanya tau ia tak melacurkan diri. Sania hanya berjalan jalan menyusuri lorong melihat lelaki dan perempuan berlalu lalang sambil bermesra mesraan. Beberapa kali ada lelaki yang mendatanginya namun tatap saja seperti biasa, ia katakan kalau ia mengidap penyakit menular yang membuat para lelaki itu pergi. Ia menghembuskan nafas setengah dadanya. Menatap kesana kemari padahal tak sedang mencari apa apa, hanya membayangkan jika ia bisa keluar dari tempat kotor yang sudah belasan tahun ia jejaki
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD