"Saya permisi ke toilet." Reya langsung beranjak berdiri sambil membawa tas nya.
Raihan yang semula menatap Reya beralih menatap Nevan.
"Ada masalah?"
Nevan menggeleng kecil kemudian duduk di sebelah Gina.
Nevan menjabat tangan Raihan dengan seulas senyum. Mungkin wajahnya terlihat baik-baik saja, namun tidak pada hatinya.
"Itu tadi sekretaris saya, Freya. Dia yang bakal gantiin Gina."
Nevan menelan ludahnya. "Dia?"
Raihan mengangguk.
"Kenapa dia?"
Raihan sedikit mengerenyit lalu tersenyum, "karena dia sekretaris saya, sekretaris saya dia sekarang, udah dua tahun dia jadi sekretaris saya, saya bisa jamin kalau dia pekerja yang baik."
Nevan hanya memberikan senyum tipisnya dengan tatapan tertuju pada bangku yang duduki oleh Reya tadi.
^•^
"Kamu kemana aja? Saya cari-cari ternyata ada di mobil."
"Maaf pak, tadi tiba-tiba aja saya pusing."
Raihan menatap wajah Reya yang terlihat agak pucat.
Reya memundurkan tubuhnya ketika tangan Raihan berada di keningnya.
"Gak panas, kenapa muka kamu pucat?"
Reya menggeleng dengan tatapan lurus ke depan.
"Atau kamu lagi sedih?" Tanya Raihan sambil memerintahkan supir untuk segera melajukan mobil.
"Enggak."
"Terus?"
"Lagi gak enak badan."
Raihan mengambil iPad nya. "Besok saya udah balik ke Indonesia." Kata Raihan dengan mata tertuju ke arah iPad.
"Terus saya gimana, pak?"
"Ya kamu di sini."
Reya menggeleng sambil menatap Raihan. "Pak, saya..."
"Kamu gak mau ditugaskan di sini?" Tanya Raihan menatap sekilas Reya.
"Bukan gak mau, tapi saya..." Suara Reya terdengar melemah.
"Saya gak siap." Lanjut Reya dengan lirih namun dapat didengar oleh Raihan.
"Gak siap kenapa? Jangan bilang karena kamu gak siap ninggalin saya? Atau sedih karena gak bisa ngurus saya lagi?" Raihan tertawa.
"Ya enggak lah. Malah saya yakin bapak yang ngerasa kayak gitu karena selama ini selain ngurusin soal jadwal bapak saya juga ngurusin bapak. Saran saya, cepet-cepet nikah, pak." Ucap Reya sambil tertawa kecil.
Raihan ikut tertawa tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad nya.
"Berapa lama saya di sini?" Tanya Reya.
"Enam bulan."
Mata Reya terbelalak lebar.
"Enam bulan?" Beo Reya.
Raihan mengangguk.
"Gak ada masalah, kan? Lagian kamu di Jakarta tinggal sendirian, pasti bisa langsung beradaptasi di sini. Kamu juga bisa liat patung singa setiap hari."
"Tapi ini tempat yang asing, pak."
"Lama-kelamaan enggak kok, kamu bakal terbiasa. Di sini semua kebutuhan kamu ditanggung sama bos baru kamu, termasuk tempat tinggal kamu."
Reya meremas ujung blouse nya dengan d**a yang terasa sesak.
"Bos kamu orang yang..."
"Saya gak minta bapak untuk cerita dia orang yang kayak apa." Potong Reya seperti lupa bahwa ia sedang berbicara dengan atasannya.
"Oh, oke."
Reya menyandarkan tubuhnya dengan lemas.
"Kenapa pak Raihan gak bilang kalau saya bakal ditugaskan di sini?"
"Kejutan."
Mendengar jawaban Raihan membuat Reya semakin geram saja, namun ia masih punya pikiran untuk tidak melempar bos nya dengan tas yang berada di pangkuannya.
^•^
"Your suitcase, miss."
Reya tersenyum seraya mengambil koper yang diberikan seorang petugas kepadanya.
Setelah petugas pergi, Reya menghela napas dan membuka pintu apartemen yang memang sudah disiapkan untuknya. Reya menyeret kopernya melangkah masuk ke dalam apartemen yang berukuran cukup luas.
Mata Reya mulai menjelajahi setiap sudut apartemen nya. Kaki Reya melangkah ke arah dinding kaca yang menampilkan langsung pemandangan dan keadaan luar yang terlihat begitu indah dengan jalanan jauh dari kata kemacetan. Di dalam apartemen nya juga tersedia ruang tamu dan televisi berukuran lumayan besar, tentunya dilengkapi dengan dapur lengkap dengan mini bar hingga meja makan dan bahkan ada dua kamar tidur. Bisa dikatakan apartemen Reya masuk ke golongan kata mewah.
Semua kebutuhan kamu ditanggung sama bos kamu, termasuk tempat tinggal kamu.
Dan nyatanya Reya mendapatkan tempat tinggal yang sempurna. Namun Reya masih bertanya-tanya, apakah benar Nevan yang menyiapkan apartemen ini untuk dirinya?
^•^
"Sekretaris baru pak Nevan?"
Reya tersenyum, "Anda bisa..."
"Hampir semua karyawan di sini bisa bahasa Indonesia. Mari saya antar."
Reya mengangguk berjalan di samping perempuan yang tidak Reya ketahui apa jabatannya, tapi jika dilihat dari penampilannya sepertinya perempuan tersebut memiliki jabatan yang cukup terpandang.
"Perusahaan ini tergolong baru. Pak Nevan sendiri yang dirikan perusahaan ini."
Reya yang sedang memperhatikan interior perusahaan tersebut menatap perempuan yang ada di sebelahnya.
"Dulu dia masih kerja dibawah naungan orang tuanya, berkat didikan orang tuanya, pak Nevan bisa dirikan perusahaan nya sendiri. Cerita bagaimana banyak karyawan Indonesia di sini karena pak Nevan ngambil sebagian karyawan yang ada di perusahaan Ayah nya."
Mereka berdua keluar dari lift dengan Reya terus mendengarkan ocehan perempuan tersebut.
"Ini meja kerja kamu, berhadapan langsung dengan ruangan pak Nevan."
Reya menatap dua daun pintu yang tertutup rapat dengan jantung yang sudah berdebar-debar.
"Pak Nevan juga ada di dalam, setelah ini temui dia."
Reya meremas tepi meja kerjanya dengan tangan yang terasa mulai dingin.
"Bisa?"
Reya mengangguk kecil.
"Baik, saya permisi. Saya ada rapat, selesai rapat ada beberapa catatan yang harus saya berikan ke kamu."
"Iya."
"Permisi."
Reya mengangguk memperhatikan perempuan itu berjalan menjauh darinya. Reya beralih memperhatikan sekitarnya yang terlihat sunyi tidak ada siapapun, bahkan tidak ada orang-orang yang berlalu lalang.
Reya terkesiap ketika mendengar suara pintu terbuka.
Nevan keluar dari ruangannya dengan tangan kiri memegang ponsel. Langkahnya terhenti ketika melihat Reya berdiri di depan ruangannya, atau lebih tepatnya berdiri di dekat meja kerja gadis itu.
Keduanya diam saling tatap.
Nevan maju selangkah dan Reya mundur selangkah.
"Masuk," Nevan berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangannya.
Reya menyentuh dadanya yang bergemuruh serta dapat merasakan matanya yang sudah memanas menahan tangis.
^~^
Reya duduk di hadapan Nevan dengan kepala yang tertunduk. Dari tadi jantungnya terus bermasalah tidak bisa diajak bekerja sama hingga terus berdebar tidak karuan.
"Semoga betah kerja di sini."
Reya mengalihkan pandangannya sambil memegang dengkulnya dengan kedua tangannya.
"Saya... Saya yang nanggung semua kebutuhan kamu."
Reya menggigit bibir bagian dalamnya mendengar ucapan Nevan barusan. Ucapan yang mampu membuat hatinya tersayat-sayat. Sepertinya mereka benar-benar sudah menjadi orang yang asing sekarang.
"Kalo butuh apa-apa, bilang ke saya."
Reya meremas jemarinya yang saling bertautan ketika matanya mulai berkabut.
"Gak selamanya kamu di sini, cuma enam bulan, abis itu kamu bebas. Makanya saya harap kamu betah kerja di sini, kerja dengan profesional tanpa bawa soal yang dulu-dulu. Diluar kantor, kamu boleh anggap saya orang asing, tapi enggak untuk di kantor. Saya harap kamu ngerti dan bisa diajak kerja sama." Ucap Nevan tanpa mengalihkan matanya dari Reya.
"Ada yang mau kamu omongin?" Tanya Nevan.
Reya menggeleng dengan kepala yang sedikit tertunduk.
"Permisi," ucap Reya beranjak dari duduknya.
Reya berjalan sambil menghapus air mata yang untungnya masih menggenang di pelupuk matanya.
Reya berhenti melangkah karena mendengar suara pintu seperti dibuka dari luar.
"Papiii..."
Deg.
Jantung Reya berdetak hebat melihat seorang anak laki-laki masuk ke dalam ruangan Nevan dan apa tadi? Papi? Anak itu menyebut kata Papi? Kepada siapa?
Reya memperhatikan anak yang mungkin masih berumur tiga tahun berjalan melewatinya. Reya terus memperhatikan anak itu yang terus melangkah, langkah anak tersebut terhenti ketika sudah berdiri di depan Nevan dan langsung merentangkan kedua tangannya.
Nevan tersenyum membawa anak laki-laki tersebut ke dalam gendongannya. Mata Nevan beralih menatap Reya yang berdiri mematung di depan pintu dengan mata yang berkaca-kaca.