Bab 2

1015 Words
Berdiri di depan cermin. Alvin memperhatikan dirinya dari ujung kaki hingga rambut. Cukup tampan, meskipun kini pipinya menirus dengan kantung mata yang cekung. "Vin, apakah aku cantik?" Syakila yang baru saja selesai dengan riasannya, mengajukan pertanyaan. Ia ingin mendapatkan penilaian dari Alvin, tapi tetap dengan jarak aman sekitar tiga meter. "Cantik." Alvin mengulas senyum. Memuji sang istri, yang memang terlihat sangat cantik hari ini. Tubuhnya yang mulai berisi itu, dibalut kebaya berwarna merah muda, terlihat semakin cantik saja. Terlebih lagi. "Benarkah?" Syakila memperhatikan kembali cermin yang ada di meja rias. Menyentuh perutnya yang mulai membuncit, dan melihat ke arah pinggulnya yang gak mulai berisi. "Aku semakin gendut. Itu artinya aku semakin buruk rupa. Ayolah, berkata dengan jujur, tidak perlu menghibur aku seperti itu. Lebih baik katakan dengan jujur daripada mengucapkan kebohongan." Syakila mencebik. Menganggap ucapan Alvin hanyalah bualan semata. Bukan jujur, seperti yang diucapkan Alvin yang sesungguhnya. "Sya, aku berani bersumpah demi apapun. Kamu tetap cantik, bahkan jauh lebih cantik daripada yang biasanya." "Ih, bohong." "Tidak, Sya. Aku jujur dalam menilai penampilan istriku." "Aku nggak percaya. Gemuk begini kamu malah bilang cantik." "Kamu tidak gemuk, Sya. Hanya saja sedikit berisi dari biasanya. Tapi itu malah membuatmu semakin cantik saja." "Tuh kan benar. Aku tidak lagi cantik seperti dulu. Kamu pun sudah mengakui itu kan? Sudah mengatakan aku sedikit berisi, dan yang berisi itu tidak akan membuat seseorang menjadi cantik. Kamu kalau bohong jangan terlalu kentara begitu." Tidak terima dengan perkataan Alvin, Syakila merengut. Melipat kedua tangannya di depan d**a, menatap tajam kepada Alvin yang menggaruk kepalanya. Bingung dengan Syakila yang semakin hari, semakin tidak bisa mengontrol emosinya. Suka meledak-ledak padahal tidak ada masalah yang besar. Terkadang tidak ada percakapan diantara mereka, tiba-tiba saja Syakila marah besar dan menangis sesenggukan. Menyalahkan Alvin atas masalah yang sebenarnya tidak ada. "Sya," Alvin berusaha mendekat. Akan tetapi, Syakila mengangkat tangannya, meminta Alvin untuk tetap berdiri di sana. Memintanya untuk diam dan jangan mendekat. "Aku tidak jadi ikut." "Kalau kamu tidak ikut, di rumah mau tinggal sama siapa? Semuanya pergi ke acara pernikahan Vino. Yang tinggal di sini cuma security di depan sana. Kalau kamu kenapa-kenapa di rumah gimana?" Syakila menggeleng. "Vin, aku tidak mau ikut. Mengertilah. Aku tak lagi cantik, dan rasanya tidak percaya diri untuk pergi ke sana. Aku yakin disana pasti banyak wanita cantik yang hadir, mengingat istri Vino berasal dari keluarga terpandang." "Tapi di mataku kamu tetap yang paling cantik, Sya. Bagaimanapun kamu dan seperti apapun perubahan fisik kamu. Bagiku kamu tetap yang paling-paling segalanya dibandingkan dengan yang lain." "Itu katamu, gimana kata orang lain? Karena disana banyak orang lain yang datang bukan cuma kamu saja." "Ya, sudah. Kalau begitu baiknya gimana? Aku akan ikuti segala keinginan kamu Sya." "Aku nggak ikut. Kamu juga Tapi kamu jauh-jauh jangan terlalu dekat samaku." "Baiklah." Alvin mengangguk. Menghela nafas panjang dan duduk di sofa. Ia ingin menolak keinginan Syakila, tapi rasanya tidak mungkin mengatakannya secara langsung jika tidak elok mereka berdua sebagai majikan malah tidak datang. Siapa yang akan mendampingi Vino nantinya kalau bukan mereka? Setidaknya salah satu dari mereka berdua, bukan? Tidak ingin ribut, Alvin duduk di sofa. Mengirim pesan kepada Vino dan meminta maaf tidak bisa datang ke acara pernikahannya. Ia juga menyebutkan alasan apa yang membuatnya tidak bisa hadir kesana. Dengan harapan Vino mengerti jika ia tidak bisa membantah Syakila apalagi meninggalkannya di rumah sendirian. Vino yang mendapatkan kabar dari Alvin hanya bisa tersenyum kecut. Ia cukup kecewa karena Alvin sudah berjanji akan menemaninya menikah, agar ia tak terlalu terkucil diantara para pengusaha yang datang. Namun, mengingat emosi Syakila yang naik turun, bahkan sering naik dan meledak-ledak, Vino paham Alvin pun pasti berat dipaksa memilih satu diantara dua seperti sekarang. "Ayo kita pergi. Tidak enak sama bibi kalau kita tidak pergi." Alvin tersentak. Saat melihat Syakila yang tiba-tiba saja sudah bangkit dan mengajaknya pergi. Tanpa ada lagi diskusi apalagi aba-aba dulu. "Iya, kita pergi, Vin. Nggak enak kalau kita tidak datang. Karena kata bibi disini hanya kita keluarga mereka. Sudahlah, ayo kita pergi. Aku harap kita belum terlambat datang kesana." Syakila melangkah keluar lebih dahulu, agar Alvin tidak terlalu dekat dengannya. Meskipun nanti di mobil mereka akan saling dekat satu sama lain. Alvin menggeleng. Segera mengikuti langkah Syakila agar tidak ketinggalan jauh. Agar sang istri tidak berubah pikiran dan malah kembali ke kamar. Dan ketika mereka sampai di mobil, Alvin harus bersabar untuk yang kesekian kalinya. Karena Syakila sudah duduk di belakang Tidak di samping Alvin, karena bau katanya. Lagi-lagi Alvin hanya pasrah dan mengalah. Daripada mereka berdua ribut dan berujung pada tangisan pada Syakila. "Sebaiknya seminggu Vino menikah kita bikin acara kecil-kecilan, Vin. Agar di pihak Vino tidak terlalu kosong begitu saja. Semuanya dilakukan agar vino tidak terlalu diremehkan oleh keluarga pihak wanita. Ya, meskipun pernikahan mereka adalah perjodohan, tapi tidak tetap saja pasti ada keluarga yang tidak setuju." "Kamu benar, Sya. Dan aku sudah bicarakan ini dengan Vino malam waktu itu. Tapi Vino tidak mau melakukannya." "Mau atau tidak, Vino harus mau. Karena ini menyangkut harga diri, makanya harus lebih tegas dalam mengambil keputusan." "Aku juga berpikir sama dengan kamu. Hanya saja tidak menemukan bagaimana caranya untuk membujuk Vino agar mau membuat acara kecil-kecilan di rumah." "Tidak perlu cara apalagi persetujuan. Minggu depan mereka akan membuat acara disini. Dan mulai besok kamu sudah mulai mempersiapkannya. Kalau sudah dibuat begitu, aku yakin dia tidak lagi bisa mengelak.* Sangat-sangat sependapat dengan sang istri, setelah sampai di pesta nanti Alvin akan menghubungi beberapa temannya untuk mempersiapkan pesta pernikahan Vino. Meskipun tidak mewah, tapi tetap aja Alvin tidak bisa mengolah sendiri agar bisa terpenuhi. *** Begitu Syakila dan Alvin sampai di sebuah hotel bintang lima di tengah ibu kota provinsi tersebut, Vino tampak sangat lega melihat kehadiran kedua majikannya. Memberikan secercah harapan hidup, dan menghadirkan senyuman di bibirnya. Akhirnya Vino bisa sedikit tenang karena ada yang akan mendampinginya meskipun terlambat. Karena ijab kabul selesai barulah Alvin dan Syakila datang. "Loh, di mana istri kamu? Syakila segera menyusul Vino ke pelaminan. Melihat Vino hanya duduk seorang diri. Karena sang ibu dan kedua mertuanya tengah memeriksa keadaan Yasmin yang tiba-tiba saja tidak sadarkan diri setelah resmi menjadi istri sahnya Vino.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD