Lucas dan Mike terdiam dan berkutat pada pikirannya masing-masing.
Mike telah berhasil membawa Lucas kepada Jasper tadi malam.
Tapi, ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan dan tidak mau tahu.
Pagi ini, ia membawa Lucas ke sebuah cafe di sebrang jalan rumah sakit untuk membantunya menenangkan diri.
Entah kenapa, wajah Lucas menjadi pucat, datar, dan pandangannya mengosong.
Padahal ia sudah berkali-kali mengatakan bahwa Jasper dan semuanya tidak ada yang menyalakan Lucas.
Apa mungkin ada hubungannya dengan apa yang dikatakan Jasper semalam?
"Minumlah kopimu", ujar Mike memecah keheningan.
Lucas hanya mengangkat sudut bibirnya kaku kearah Mike. Lalu ia mengambil cangkir di meja di hadapannya dan meniup kopi panasnya.
"Kau kenapa pindah keluar negri?",
Lucas melirik Mike. Ia menyeruput perlahan kopinya dan mendesah.
"Aku rasa kau tahu jawabannya Mike",
Mike mengepalkan tangannya dan dibantingnya di atas meja. Ia memggeram, "Demi Tuhan, Lucas! Kami tidak ada yang menyalahkanmu",
Lucas tersemyum getir. "Memang. Tapi, bagiku, aku penyebab semuanya.
Andaikata aku tidak menyukai Alice dulu pasti semuanya tidak akan begini.
Andaikata aku tidak merusak segalanya",
"Lalu bagaimana dengan penyakit sialan itu? Apa itu juga karenamu, hah?",
Lucas terdiam.
"Dengar, Lucas. Dengan kau pindah keluar negri tidak menyelesaikan semua. Aku butuh bantuanmu.
Fokusku sudah terpecah dalam banyak hal.
Mengurus Jasper, Alice, kedua orang tua Jasper.
Belum lagi perusahanku sendiri dan milik Jasper.
Bisa kau bayangkan posisiku?",
Lucas masih terdiam sambil meneguk kopinya perlahan kembali.
Ia menghela napasnya dan menatap cangkir.
"Aku hanya mau kau membantuku.
Bantu aku menjaga Jasper dan Alice.
Terutama Alice. Dia sudah ku anggap seperti adikku.
Aku sayang kepadanya, Lucas.
Bisakah kau melakukan itu?",
"Aku tid-"
"Kau tidak bisa karena fokusmu pada perasaanmu yang egois itu.
Cobalah untuk memikirkan kondisi saat ini.
Kau hilangkan sementara perasaan bersalahmu dan perasaanmu ingin menghindari Alice sampai Jasper sembuh.
Bila perlu hilangkan itu semua", ujar Mike frustasi.
"Sekarang ku tanya... Apa kau juga pernah memikirkan perasaanku, Mike? Tak segampang yang kau bilang",
Kini gilir Mike yang terdiam sejenak.
"Aku memang tidak bisa mengertimu", jawab Mike dengan nada rendah.
Mereka berdua terdiam kembali.
Hingga ponsel Mike yang ia letakan diatas meja bergetar.
Dengan menghela napasnya, ia mengambil ponsel itu dan menekan tombol hijau pada layar.
"Halo?",
Lucas mengerutkan keningnya saat Mike tiba-tiba bangkit setelah mendengarkan perkataan orang yang ada di balik telpon.
Mike juga menatap Lucas.
"Ya ya ya, aku segera kesana",
Setelah Mike menatikan ponselnya. Ia menatap Lucas dan menepuk bahu pria itu.
"Ayo kita kembali ke rumah sakit",
"Apa semua baik-baik saja?",
Mike mengangguk, "Semua baik-baik saja. Dan waktunya sudah tiba",
...
Mata itu terbuka perlahan.
Samar-samar ia melihat beberapa orang yang mengelilinginya.
Ia tak mengingat apa-apa selain dirinya dilarikan ke rumah sakit.
Didalam ruanganpun ia tak mengingat apa-apa lagi selain mengingat ada suara tangisan bayi.
Bayi?
Dengan cepat mata hijau itu terbuka lebar dan tangannya memegang perutnya yang sudah merata.
Ia baru mengingatnya.
Ia pingsan setelah berhasil melahirkan.
"Bagaimana keadaanmu, sweetie?", tanya Jasmine dengan linangan air mata.
Tapi, wajahnya terlihat bahagia.
"Apa dia sehat?", tanya Alice langsung.
"Ya dia sehat. Dia cantik seperti ibunya", sahut Lucas membuat Alice menoleh kearah pria itu.
Alice lumayan terkejut. Semenjak kejadian di Hawaii waktu itu, ia seakan lupa dengan adanya kehadiran Lucas.
Ia juga merasa bahwa akhir-akhir ini pria itu menghilang.
"Kau mau melihatnya?", tanya Mike.
Alice mengangguk membuat Vanno dan Jasmine melangkah mundur.
Mereka menarik box bayi mendekat kearah ranjang Alice.
Alice menahan napasnya beberapa detik saat ia melihat seorang bayi mungil tertidur lelap di dalam sana.
Dengan kain hangat yang membungkus tubuh mungil itu membuatnya tersenyum.
"Boleh ak menggendongnya?", tanya Alice.
Jasmine mengangguk, ia mengangkat bayi itu perlahan dari dalam box dan diberikan kepada Alice perlahan.
"Seharusnya kau memberinya asi saat ia baru terlahir.
Tapi, karena kau pingsan dokter mengambil langkah memberinya s**u formula terlebih dahulu",
Seperti mengerti apa maksud Jasmine.
Lucas, Mike dan juga Vanno pamit keluar dari kamar untuk memberikan privasi bagi Alice untuk menyusui.
Dengan hati-hati Alice merengkuh tubuh mungil itu.
Ia merasakan air matanya menggenang di pelupuk mata saat bayi itu bergerak pelan.
Ia mencium lama pipi hangat itu dan menghirup aromanya dalam-dalam.
"Hai mommy little girl", bisiknya pelan sambil terkekeh pelan. "Welcome to this world",
Jasmine tersenyum sambil mengusap air matanya. Ia sangat terharu melihat pemandangan didepannya.
Ia jadi teringat saat ia berada di posisi Alice saat melahirkan putra kesayangannya. Jasper Reid.
Alice meneteskan air matanya, "Hidungmu sangat mirip dengan daddymu", lirihnya sambil menyentuh hidung mungil itu.
"Alice... Jangan menghukum Jasper",
Jasmine langsung menangis membuat Alice terkejut.
Ia meraih tangan keriput itu, "Ma, Alice hanya ingin Jasper di operasi",
Jasmine menangkup wajahnya dan terisak. "Kalau begitu temui dia, Alice. Bicarakan baik-baik.
Apalagi anak yang ditunggu-tunggunya sudah lahir",
Alice menghela napasnya.
"Sebenarnya Alice ingin sekali menemui Jasper ma.
Tapi, Alice tidak kuat menahan tangisan Alice saat melihat Jasper tersiksa",
Jasmine menggeleng, "Percayalah. Kau tidak akan bisa menangis saat melihatnya tersenyum. Mama mohon temui dia.
Dia ingin melihatmu dan juga anak kalian",
Alice terdiam. Ia menatap bayi mungil di gendongannya dan menghela napas.
"Kau mau bertemu daddymu, sayang?", bisiknya sambil menahan sekuat mungkin isakannya.
...
Disisi lain,
"Kau sudah memberitahu Jasper bahwa Alice sudah melahirkan?", tanya Lucas.
Mike menggeleng, "Aku menunggu keputusan Alice. Jika kita memberitahu Jasper sedangkan Alice masih tidak mau menemuinya. Kau bisa pikirkan bagaimana perasaan Jasper?",
"Sampai kapan?", tanya Lucas lagi.
Mike mengusap wajahnya kasar. Ia menggeleng dan menatap wajah Lucas yang tampak lelah. Sama sepertinya.
"Kita hanya bisa menunggu hingga Alice mau menemui Jasper dan membawa anaknya...",
"Kalau begitu kita keruangan Jasper. Sambil menunggu Alice selesai", ujar Lucas sambil menarik Mike menyusuri koridor menuju ruangan Jasper yang letaknya tak jauh dari ruangan Alice.
Saat mereka hendak masuk.
Mereka bersisipan dengan dua orang suster yang baru saja keluar dari ruangan Jasper.
Mereka berdua tersenyum terima kasih pada dua suster tersebut dan masuk kedalam.
Saat Lucas dan Mike masuk.
Ia melihat Jasper setengah terduduk dan bersandar diatas ranjangnya.
"Bagaimana keadaanmu?", tanya Lucas saat ia sudah berdiri di sisi samping ranjang.
Jasper tersenyum, "Sangat baik.
Bagaimana dengan Alice dan anakku?",
Lucas dan Mike terkejut. Mereka saling melirik. Apakah Jasper tahu soal anaknya yang sudah lahir?
Atau ini hanya jebakan saja?
Atau Jasper memang tidak tahu apa-apa dan bertanya pada mereka soal kondisi Alice dan anak mereka?
"Aku tidak menyalahkan kalian jika tidak memberitahuku. Pasti Alice tidak mau kalian mengatakan padaku agar aku baik-baik saja, bukan?",
Sungguh Lucas dan Mike semakin bingung.
Mereka merasa seperti maling yang hendak ketahuan sedang mencuri jemuran.
Bahkan lebih parah ini.
Jasper terkekeh, "Kalian jawab saja. Tidak perlu takut.
Aku mendengar dari suster bahwa anakku lahir dalam keadaan sehat, bukan?",
Lucas dan Mike langsung menghela napasnya.
Kekhawatiran mereka berdua akhirnya terjadi.
Jasper tahu soal kelahiran anaknya.
"Maafkan kami", ujar Lucas sambil menundukan kepalanya.
"Kami tak bermak-",
"Tak apa Mike", sergah Jasper sambil menepuk bahu kedua pria itu sambil tetap tersenyum.
Rasanya hati Jasper sudah tidak bisa marah ataupun sedih. Semuanya dianggap positif dan baik oleh Jasper.
Ia tahu kenapa Alice melakukan hal itu.
"Bagaimana anakku?", tanyanya.
Lucas mendesah pelan, ia berusaha tersenyum. "Anakmu cantik. Sangat cantik. Hidung dan bibirnya sangat mirip denganmu",
"Rambutnya mirip dengan Alice", tambah Mike sambil terkekeh pelan.
Jasper tersenyum lebar. Ia lega bahwa apa yang dikatakan Lucas dan Mike membuat hatinya tenang.
Meski ia tahu Lucas dan Mike terlihat sedih melihatnya.
"Kapan-kapan kalian fotokan anakku. Boleh?",
Lucas mengangguk kaku dan tersenyum.
"Ya, aku akan memfo-",
"Kau tidak perlu melihatnya lewat foto. Kau bisa melihatnya langsung, Jas",