Alice dengan cepat mendorong Jasper saat pria itu mengatakan hal yang sama sekali tak terpikir olehnya.
"Kau bicara apa, Jas?!", serunya.
Jasper menatap Alice sedih, "Aku hanya berjaga-jaga. Kalau sampai aku kenapa-napa. Kau harus kembali pada Lucas. Aku pastikan itu",
"Tidak!", bantah Alice. "Kenapa kau menjadi i***t? Ada yang salah dengan otakmu?",
Jasper menggeleng, "Aku baik-baik saja. I'm fine",
Alice mengepalkan tangannya. Ia mulai emosi.
Kenapa Jasper berkata seperti itu padanya?
Oh, apa dirinya akan ditinggal lagi?
Oleh semua pria?
Apa yang salah dengan dirinya?
"Jas, you are not serious, right?"
"Nope. I'm really serious, Alice. Can you understand me?",
Alice mendengus. "Mengerti apa? Kita akan menikah tapi kau malah menyuruhku kembali pada Lucas.
Kau membuatku takut sekarang. Dan sialnya lagi, aku mendapatkan mimpi yang sama seperti sekarang",
Jasper meraih tangan Alice, "Ku mohon", ujarnya memohon. "Iyakan saja apa kataku tadi",
Alice dengan cepat menarik tangannya. Ia mendorong sedikit pundak Jasper. "Kenapa, Jas?", tanyanya mulai menangis.
"Dua kali aku harus merasakan sakit hati ditinggal orang yang aku cintai.
Dan sekarang? Kau mau pergi lagi?
Kenapa? Beri aku alasan jelas...
Aku tidak mau sampai suatu hari aku bangun dan kau tidak ada.
Jika itu terjadi, tiga kali...
Tiga kali aku kehilangan orang yang aku cintai, Jas", ujarnya terisak.
Jasper menundukkan kepalanya saat Alice mencengkram erat kausnya sambil menyandarkan kepala di dadanya.
Ia memeluk Alice seerat mungkin dan menghirup aroma wanita itu sedalam yang ia bisa.
"Ku mohon jangan katakan kau akan pergi dariku lagi.
Hidupku sudah cukup bahagia sampai saat ini. Jangan kau buat aku hancur, Jas", lirih Alice dengan suara serak.
Jasper bergeming. Ia membelai puncak kepala Alice.
"Kita akan menikah. Dan di hari itu, kita bukan lagi dua, Jas. Tapi, satu...
Dan aku tidak mau kau pergi meninggalkanku sampai Tuhan sendiri yang memutuskan. Meski aku tidak mau itu terjadi", lanjut Alice.
"Maaf, Alice...", ujar Jasper.
Giliran Alice terdiam, ia akan mendengarkan Jasper.
Jasper melepaskan pelukan Alice dari tubuhnya. Ia menangkup kedua sisi wajah Alice dan mengusap air mata dengan ibu jarinya.
"Aku tidak menyangka reaksimu berlebihan",
Alice menatap Jasper bingung. "Maksudmu?",
Jasper terkekeh pelan, "Aku tadi hanya bercanda soal aku akan pergi meninggalkanmu",
"What?!", teriak Alice. Ia refleks mendorong Jasper dan memukuli pria itu karena jengkel. "Ini sama sekali tidak lucu!", serunya.
Jasper menyilangkan tangannya untuk berlindung. Ia tertawa, "Awh! Baby ice, kau garang sekali"
"Rasakan!", seru Alice masih berusaha memukuli Jasper. Ia ingin melempar pria itu keluar rumah rasanya...
Jasper dengan sigap meraih pergelangan tangan Alice dan menahannya. Ia masih tertawa membuat Alice berontak ingin dilepaskan, "Memang aku bercanda. Tapi, aku mau mengetesmu",
Alice mencebikan bibirnya, "Tapi, caramu salah!", semburnya.
"Mau bagaimana lagi caraku meyakinkan bila kau sudah tidak ada perasaan pada Lucas? Apa harus aku membawa Lucas kemari?",
Benar kata Jasper. Ia tak mau melihat pria Lucifer itu.
Alice hanya memutar matanya. Ia tak mau menatap Jasper.
Kakinya bergoyang dan bibirnya menggerutu. Ia masih kesal.
"Jangan marah lagi, ya?", tanya Jasper sambil mencolek dagu Alice.
Alice menarik tangannya dan mengusap dagunya. "Aku masih marah! Kau kelewatan, Jas!",
Jasper tersenyum, "Bagaimana caranya agar aku bisa membuatmu tak marah?",
Alice menoleh pada Jasper. Ia menatap pria itu.
Ia tak akan meminta barang apa-apa dari Jasper atau lainnya.
Ia maju selangkah kearah pria itu,
"Just say that you never leave me alone",
Jasper tersenyum simpul, "Aku tidak akan pergi, Alice. Aku akan selalu disisimu sampai Tuhan sendiri yang mencabut nyawaku",
•••
"Silahkan masuk...",
Dua orang pria dan seorang wanita masuk sambil membawa beberapa barang.
Lucas bangkit dari kursinya dan melangkah kearah sofa untuk menerima tamu.
"Maaf aku mengubah jadwal untuk interview", ujar Lucas sambil menyalami seorang pria dan wanita yang mengenakan seragam dari stasiun televisi.
Sang wanita tersenyum, "Tak masalah sir. Kami tahu betapa sibuknya anda. Dan Sir Mike juga sudah memberitahukan sebelumnya, jadi tak masalah",
Lucas menoleh kearah Mike sebentar lalu kembali ke arah dua orang dihadapannya. "Ah baiklah. Silahkan disiapkan dahulu. Saya mau berbincang sebentar dengan Mike",
Mike mengerutkan keningnya. Lalu ia mengikuti Lucas berjalan kearah jendela menjauhi kedua orang yang menyiapkan pekerjaannya.
"Mike, untuk apa interview ini?",
Mike terkekeh, ia menepuk bahu Lucas. "Majalah POINTS ingin mencari tahu beritamu. Apalagi selama ini kau selalu tertutup",
"Tertutup?",
"Ya!", jawab Mike cepat.
"Interview ini bukan mengenai pekerjaan?", tanya Lucas lagi dengan menyipitkan mata curiga.
Mike hanya mengangkat bahu membuat Lucas mendesah pelan.
"Seharusnya aku sudah menguburmu hidup-hidup saat di Dubai tempo hari", sinisnya.
"Why? Banyak orang yang ingin tahu tentangmu, Lucas",
"Apa katamu saja. Sampai ada hal buruk terjadi. Aku akan menghajarmu habis-habisan",ancam Lucas sambil menyenggol bahu Mike dan melangkah mendekat kearah dua orang yang sudah selesai menyiapkan pekerjaannya.
Mike tersenyum. "Ini salah satu caraku untuk membantumu", ujarnya pelan pada diri sendiri.
Setelah itu ia memutar tubuhnya dan melangkah kearah sofa.
"Baiklah Mr. Lucas Graves. Interview ini akan di rekam secara live dan terhubung pada stasiun TV Points di seluruh New York. Apa anda sudah siap?", tanya sang wanita.
Lucas berdehem. Ia merapikan jasnya dan mengangguk. "Ya saya siap", ujarnya berusaha senyaman mungkin.
"Baiklah. Kita mulai...
Pada hitungan ke lima, kamera langsung menyala.
Satu...
Dua...
Tiga..
Empat...
Lima... ",
Beberapa flash yang terpasang di kedua sisi di belakang tubuh camera man menyala membuat Lucas sedikit menyesuaikan pandangannya.
Ia memasang ekspresi serileks mungkin, tanpa senyum, tanpa tatapan ramah. Like always...
"Selamat pagi pemirsa POINTS. Jumpa lagi dengan saya Jeanny.
Hari ini, kita akan menginterview the one of 21 of New York City's Most Eligible Bachelor.
Lucas Graves, lahir di tahun 1987, tepat di 7 Desember yang merupakan Pearl Harbour remembrance day.
Seperti keberuntungan, sekarang, kita akan menginterview pria bermata abu gelap mengenai kehidupan pribadinya yang sangat tertutup pada publik.
Banyak yang mengatakan bahwa dirinya sangat dingin dan kejam dalam berbisnis. Tapi, juga sangat menarik dan seksi jika diluar bisnis",
Lucas mengerutkan keningnya mendengar sang wanita yang menjadi pembawa acara sekaligus presenter.
Tapi, dengan cepat ia menghilangkan raut wajah bingungnya.
"Jadi, Lucas Graves..", ujar wanita itu menggantung sambil menoleh kearah Lucas. "Berbincang sedikit soal bisnis.
Sebagai CEO dan juga Co-founder dari Graves Enterprise yang bergerak di bidang property. Hal apa yang membuat anda begitu dingin dan bereputasi kejam?",
Lucas mendengus geli, "Saya adalah business man. Dingin dan kejam adalah julukan yang sangat cocok bagi pembunuh berdarah dingin.
Semua yang dilakukan harus dipikirkan secara matang dan juga ada untungnya. Mungkin hal itu yang membuat julukan untuk pembunuh berdarah dingin pada saya",
"Jadi, anda tidak bertoleransi?",
Lucas menggeleng, "Tidak untuk berbisnis",
Sang wanita tertawa, "Woah... Interesting", ujarnya. "Oh! Kini kami akan bertanya seputar kehidupan pribadi anda.
Kegiatan apa yang anda sukai diluar bisnis, maksud saya mungkin hobby?",
Lucas berdehem pelan, ia menyandarkan punggungnya di sofa memposisikan tubuhnya senyaman mungkin. "Golf, Tennis, Working out",
Sang wanita lagi-lagi tertawa, "Hobby yang sangat berhubungan dengan pembisnis rupanya", ujarnya. "Dan bagaimana dengan club? Kami mendengar dari banyak wanita yang kami interview sebelumnya bahwa anda sangat berbeda jika sudah berada di tempat hiburan itu?",
Dibelakang set, Mike hanya mendengus mendengar perkataan itu.
Sedangkan Lucas terdiam sejenak.
"Well, it's about my personal life right? Untuk Club, aku tak bisa berkata apa-apa",
"Baiklah... Bagaimana dengan soal cinta? Apakah anda, Lucas Graves. Pria yang lahir di bulan memperingati Pearl Harbour sama romantisnya dengan Ben Affleck ketika berperan dalam film Pearl Harbour?"
Lucas menoleh kearah Mike yang memberikan acungan jempol. Ia akan membakar pria itu setelah acara ini selesai.
Damn! You Mike!
Tapi, dia harus profesional.
"Tidak", jawabnya cepat, "Aku bukanlah pria yang romantis. Aku hanya melakukan apa yang aku rasa harus aku lakukan pada wanita",
"Cukup romantis rupanya", sahut sang presenter dengan gelak tawa. "Dan apakah romantisme itu selalu di berikan pada wanita yang dekat dengan anda? Maksud saya, pasti pria tampan, kaya, dan juga berkelas seperti anda pasti di gandrungi banyak wanita pastinya",
Lucas menggeleng, "Hanya wanita spesial tentunya",
"Ohhh, how sweet he is. Kalau boleh kami tahu, apa sekarang ada wanita spesial?",
Lucas menoleh pada Mike yang tersenyum penuh arti kearahnya. Ia mengangkat ponselnya yang nenyala dengan gambar seorang wanita cantik bermata hijau sebagai kode.
Ia tahu apa maksud Mike...
Dan pertanyaannya sekarang bukan lagi 'Apa Alice spesial baginya?', tapi menjadi, 'Apa dirinya mencintai wanita itu?',
"Bagaimana Lucas Graves?",
Suara sang presenter membuat Lucas mengedipkan matanya beberapa kali karena tersadar.
Dengan ragu ia menjawab, "Ada...", ujarnya menggantung, "Tapi aku membuatnya pergi", lirihnya di akhir. Tapi, sang presenter masih bisa mendengar.
"Saya tidak akan bertanya siapa wanita itu dan kenapa dia pergi. Tapi, bolehkah saya bertanya satu hal sebelum break?",
Lucas mengangguk.
"Jika waktu bisa diputar... Apa yang anda inginkan? Apa ada penyesalan?",
Mike bangkit dari sofa. Jantungnya berdetak cepat seiring Lucas menarik napas. Ia berdoa dalam hati, semoga Lucas menjawab sesuai kata hatinya. Bukan otaknya.
Karena cinta, itu berasal dari hati, bukan pikiran.
•••
Sedari tadi ia terduduk di sofa tanpa beralih seinci pun karena siaran televisi yang dilihatnya.
Lucas Graves, baru kali ini pria itu melakukan interview selain bisnis yang membuatnya berdebar.
Tangannya mencengkram kuat remote televisi sambil menunggu pria itu menjawab pertanyaan akhir dari Jeanny sang pembawa acara POINTS channel and magazine yang terkenal di seluruh New York City.
Lucas tampak melihat kearah kamera yang disorot close up. Ia menghela napasnya dan tersenyum simpul.
Senyuman yang sangat tidak mungkin ia tunjukan di publik. Tapi, kali ini ia melakukan itu.
"Mungkin wanita yang saya maksud sedang menonton siaran ini.
Jika dia menonton...", ujar Lucas menggantung kalimat. "Aku mau meminta maaf padamu atas perlakuanku. Aku menyesal dan berharap kita bisa kembali seperti sebelumnya. Dan kedua, tentang perkataanku bahwa aku mencintaimu, it is true. And I'm still falling in love with you",