Chapter 3 - Jangan Salah Sangka Dulu, Sayang

1955 Words
“Dasar Rey sialan!” umpat Laura sambil mencubit lengan Rey yang agak tambun itu dengan perasaan gemas. “Kenapa kamu tidak bilang-bilang dulu padaku kalau kamu mendaftarkanku di aplikasi kencan online itu?!” “Idih, temanku kejam amat ..,” gumam Rey sambil mengusap-usap lengannya yang memerah. Dia lalu memutar bola matanya dengan malas. “Oh, ayolah, Laura. Kalau aku bilang, kamu pasti bakal menolak. Lagipula maksudku ini kan baik, aku cuma mau supaya temanku yang cantik ini tidak single lagi dan cuma ‘mainan’ dengan ‘alat getarnya’ saja kok,” guraunya. Raut wajah Laura malah jadi tambah cemberut. “Tapi tetap saja, Rey, itu lancang namanya,” sanggahnya. “Mana sini ponselmu, biar aku hapus dan un-install saja aplikasi bodoh itu,” pintanya sambil mencoba meraih ponsel yang sedang dipegang Rey. “Ah, tidak boleh!” tolak Rey seraya menjauhkan ponselnya dari hadapan Laura. “Pokoknya kamu tetap harus mencoba kencan buta ini! Laki-laki bernama Calvin Palmer itu tampan dan sexy, tahu. Aku bahkan sama sekali tidak menyangka kamu bisa match dengannya.” Laura tidak merespon lagi, hanya berdiri terdiam di tempatnya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya dengan raut wajah murung. “Iya, iya, aku minta maaf deh. Tapi, please, kali ini saja. Dicoba dulu sekali, kalau tidak dicoba kan tidak akan tahu. Ya? Ya?” mohon Rey. “Aku janji akan mendandani kamu deh. Kamu juga boleh meminjam dress dan high heels-ku,” tawarnya. “Sekalian bayari ongkosku ke sana, ya?” pinta Laura. “Iya ..,” ucap Rey malas. “Hmm ..,” gumam Laura. Dia terdiam sejenak sebelum lanjut bicara, “Kalau begitu, kenapa tidak kamu saja yang menggantikanku? Bilang saja sama Calvin kalau aku sedang sakit. Beres kan?” “Mana bisa begitu!” teriak Rey sambil memukul pelan lengan sahabatnya yang kurus. “Sudah ah, tidak usah alasan lagi! Calvin itu maunya bertemu denganmu, Laura, bukannya denganku. Sudah, pokoknya kamu datang saja. Biar aku yang atur semuanya, oke?” tutupnya yang merasa enggan untuk berdebat lagi dengan Laura. Dihelanya nafas panjang untuk sesaat. “Ya sudah, aku akan datang kalau begitu. Tapi bukan untuk berkencan, oke? Aku datang hanya untuk menghargai ‘kerja kerasmu’ dan waktunya Calvin saja,” aku Laura. “Okay!” ujar Rey bahagia sambil memeluk erat tubuh sahabatnya. “Minggir sana, aroma rambutmu bikin aku lapar,” gurau Laura seraya tersenyum dan melepas pelukan Rey dengan pelan. “Eh? Memangnya rambutku bau apa?” tanya Rey seraya menciumi rambutnya sendiri. “Baunya mirip seperti ayam bakar.” Rey menggeleng, “Ah, kamu pasti mengada-ada, kan? Tidak mungkin rambutku baunya seperti ayam bakar. Kaivan kan sudah membelikanku serum rambut yang harganya mahal.” “Mungkin serum rambutnya KW super,” ucap Laura sambil menaikkan kedua bahunya yang sempit itu dengan santai. Rey hanya memutar bola matanya. ***** Sehari kemudian, lebih tepatnya di hari Sabtu pukul lima sore, untuk kedua kalinya Laura bertemu kembali dengan Calvin di pusat perbelanjaan mewah bernama Grand Paradise Mall. Dia langsung skeptis begitu menginjakkan kakinya di pusat perbelanjaan yang letaknya di daerah elit kota itu. ‘Mati aku. Kalau Calvin tidak mau membayari aku makan, bagaimana? Pokoknya aku harus hemat. Aku tidak boleh menghambur-hamburkan uangku, apalagi cuma buat kencan konyol semacam ini,’ benak Laura ketakutan. Penampilan Laura pun bisa dibilang biasa-biasa saja—apalagi jika disandingkan dengan perempuan-perempuan pengunjung mall itu, yang tampil full makeup, lengkap dengan dandanan rambut ala salon, sepatu, baju, dan tas jinjing bermereknya. Padahal tadinya Rey hendak mendandani Laura menggunakan full makeup kesukaannya, namun sayangnya Laura langsung menolaknya. Pada akhirnya, Laura hanya mengenakan riasan makeup tipis-tipis—tanpa eyeliner, eyeshadow, blush-on, apalagi bronzer, contour dan highlighter. Laura Danita memang lebih suka tampil apa adanya. Pipinya yang mulus itupun sebenarnya sudah agak merona alami, tanpa harus mengenakan bantuan perona pipi lagi. Meskipun demikian, tatanan rambut Laura terlihat elegan dan juga manis hari ini. Rambutnya yang tebal itu dibiarkan tergerai bebas, dengan bagian ujung yang agak dicatok bergelombang—dan ditambah dengan riasan menggunakan beberapa helai rambutnya yang dikepang dan dibentuk menyerupai ‘bando’ ala-ala, semuanya buatan tangan Rey. Rey juga memakaikan Laura sebuah dress panjang selutut warna krem yang dihiasi renda motif daun-daunan yang cantik, yang dia padu-padankan dengan sepasang high heels dan handbag yang warnanya senada. Karena penampilannya, ditambah lagi dengan parasnya yang memang memberikan kesan ‘mahal’, tak jarang Laura ditawari oleh beberapa agen real estate saat sedang berjalan sendirian di dalam pusat perbelanjaan itu. Dan dia cuma bisa menolak dengan senyum tipisnya. ‘Ck, coba saja aku ke sini dengan pakaianku yang seadanya. Aku berani jamin, jangankan buat menyapa, kalian pasti akan pura-pura tidak melihatku,’ sindir Laura dalam hati. Dia menghela napas kembali saat melihat punggung Calvin, yang sedang duduk menunggu sendirian dan membelakanginya sambil memainkan ponselnya, di kafe Jean-Paul Beer House. Calvin langsung meletakkan ponselnya ke atas meja yang tergeletak di hadapannya, dan menampilkan senyum manisnya saat dia melihat kedatangan ‘teman kencannya’ hari ini. “Hai, Laura,” sapanya. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Laura yang terus-terusan memasang raut wajah datar nan cuek. “Jangan salah sangka dulu,” katanya sambil menarik kursinya di hadapan Calvin. “Aku datang ke sini bukan buat berkencan denganmu. Aku cuma menghargai waktu yang rela kamu ‘buang’ bersama denganku, plus usaha temanku buat ‘menjodohkan’ kita berdua,” sambungnya. Calvin tersenyum miring. “Wow,” ucapnya kaget. “Baru kali ini aku mendengar kalimat pengakuan semacam itu dari perempuan yang sedang aku ajak kencan?” katanya yang terlihat agak risih sekaligus bingung di saat yang bersamaan. Dia terdiam sejenak untuk berpikir, “Tunggu, tunggu. Apa maksud ucapan terakhirmu tadi?” “Ini semua akal-akalan Rey. Dia temanku yang juga kerja bersamaku di restoran cepat saji yang waktu itu kamu datangi dengan perempuan sexy itu.” Laura lanjut bicara seraya memegangi pelipisnya yang mulus, “Dia mendaftarkanku secara diam-diam di aplikasi kencan online itu, dan gawatnya, aku malah match denganmu …” “Jadi kamu menyesal karena sudah match denganku?” tanya Calvin, yang malah tersenyum dan bukannya merasa kesal. “Sedikit .. Karena waktuku jadi terbuang percuma untuk hal semacam ini ..,” aku Laura sambil memperhatikan botol-botol kecil berisi garam, merica, sambal dan lada hitam yang ada di atas meja di hadapannya. “Kamu benar-benar unik dan polos, Laura,” kata Calvin. Laura tersenyum tipis. “Siapa bilang? Aku tidak sepolos yang kamu pikirkan, lagi,” sanggahnya. Calvin menggeleng. “Bukan, maksudku, kamu polos karena kamu berani mengungkapkan semua yang ada dalam pikiranmu tanpa ‘disaring’ terlebih dulu. Bahkan sepertinya kamu juga tidak memikirkan kalau bisa saja kan perkataanmu itu menyakiti perasaan orang lain?” sindirnya. “Maksudmu perkataanku barusan menyakiti perasaanmu?” tanya Laura sambil menaikkan satu alisnya. “Tentu saja, Laura,” jawab Calvin seraya mengangguk. “Karena aku sudah tertarik denganmu,” imbuhnya. “Duh, maaf deh. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu ...,” tutur Laura yang seketika pelipisnya jadi tambah sakit. Senyum itu kembali tergambar di paras Calvin yang rupawan. “Omong-omong, mau pesan sesuatu? Ini menunya, sengaja aku tinggal dulu satu buatmu,” tawarnya sambil menyerahkan Laura sebuah buku menu. Laura menelan ludahnya dengan kasar. ‘B*ngsat. Mahal-mahal sekali harga makanannya,’ katanya dalam hati usai membaca daftar menu beserta harganya. Bahkan sepiring spaghetti bolognaise pun dihargai sebesar tujuh puluh ribu. “Ehh .. anu .. Aku tidak mau makan deh. Aku pesan minum saja,” ujarnya. Dia beralih membuka halaman selanjutnya dari buku menu itu, untuk melihat-lihat daftar minumannya. Lagi-lagi kepala Laura dibuat pusing. Minuman termurahnya, yang mana sebenarnya hanya sebotol air mineral yang diberi label ‘mineral water’ pun dihargai sebesar tiga puluh lima ribu. ‘Sial. Lama-lama aku bisa bangkrut kalau begini jadinya,’ sesalnya dalam hati. Ditutupnya buku menu itu secepat kilat lalu ditatapnya wajah Calvin kembali. “Aku tidak mau pesan apa-apa. Kamu saja,” ucapnya. “Kenapa? Kamu tidak suka dengan menunya? Apa mau ganti restoran?” tanya Calvin. “Aku suka dengan menunya, hanya saja aku tidak suka dengan harganya yang kurang masuk akal,” jawab Laura. Calvin tersenyum. “Pesan saja, Laura, kamu pasti lapar, kan? Biar aku yang traktir semuanya,” perintahnya ramah. “Serius?” Calvin hanya mengangguk. Dibukanya buku menu itu kembali. “Okelah kalau begitu,” ujar Laura senang. Selang sepuluh detik kemudian dia lanjut bicara pada Calvin lagi. “Kamu bersungguh-sungguh kan?” tanyanya ragu. “Iya,” ucap Calvin seraya tersenyum lebar dan mengangguk satu kali. Selagi menunggu hingga makanan dan minuman pesanannya tiba, Calvin menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang bersama dengan Laura. “Dress-mu bagus. Beli di mana?” tanyanya. “Ini bukan dress-ku,” jawab Laura santai usai meminum segelas beer-nya. “Rey yang meminjamkannya untukku.” Dahi mulus Calvin Palmer langsung mengerut. Sungguh, Laura Danita benar-benar berbeda dengan ‘mantan-mantan’ teman kencannya yang terdahulu—yang paling anti berkata kalau sesuatu yang sedang dikenakannya adalah barang pinjaman apalagi barang ‘bekas’. Perempuan-perempuan itu pasti akan berlomba-lomba memamerkan harta kekayaan serta barang-barang bermereknya di depan Calvin, yang mana sebenarnya itu malah jadi membuatnya malas dan ‘hilang selera’. Tapi tidak dengan Laura. Sepasang manik Laura sedikit terbuka lebar. “Ah, iya. Bukankah waktu itu kamu bilang kalau kamu sedang dijodohkan dengan perempuan sexy itu? Terus kenapa kamu malah pergi bersama denganku sekarang? Dia tidak akan memergoki kita kan? Aku tidak mau dikira perebut laki orang,” akunya panik. “Aku sudah tidak berhubungan dengan dia, Laura. Dia marah dan mengadu pada ibuku karena aku terus-terusan menyueki dia,” jawab Calvin. “Benarkah? Terus tanggapan ibumu bagaimana?” Calvin menaikkan kedua bahunya yang lebar, “Seperti biasa, paling-paling dia akan mencarikanku perempuan lain untuk aku kencani.” “Eh, tapi ibumu tidak tahu kan kalau kamu sedang pergi bersama denganku?” tanya Laura yang raut wajahnya kembali terlihat panik. “Tidak kok. Kencan ini murni atas kemauanku sendiri,” jawab Calvin seraya tersenyum dan menggeleng. “Bagus deh kalau begitu,” kata Laura seraya menggelengkan kepalanya dengan pelan. Kelar menunggu selama hampir empat puluh menit lamanya, makanan dan minuman pesanan keduanya akhirnya tiba juga. Dengan semangat empat lima Laura menyantap makanannya—bahkan dia juga sama sekali tak malu bersendawa di depan Calvin usai melahap seluruh makanannya dengan lahap dan bahagia. Hal ini lagi-lagi membuat Calvin berpikir kalau Laura tidaklah seperti perempuan lain yang dia kencani sebelumnya—yang bahkan karena berusaha sekeras mungkin menjaga image-nya di hadapan Calvin, makannya jadi sangat lamban dan terkadang malah jadi terlihat kaku bak robot. Sendawa yang bagi sebagian orang mungkin terlihat ‘menjijikan’ dan kurang sopan ini, malah membuat Calvin jadi semakin tertarik pada Laura. “Kenyang sekali rasanya. Aku kira porsi makanannya sedikit, ternyata banyak juga,” ucap Laura usai mengusap bibirnya yang kotor itu menggunakan selembar tissue, tak peduli meskipun lipstick-nya jadi agak luntur karenanya. “Thanks ya buat traktirannya,” imbuhnya. “Sama-sama, Laura,” ucap Calvin seraya mengangguk dan tersenyum. Dia lanjut memanggil seorang pelayan restoran setelahnya untuk membayar semua tagihan makanan dan minumannya. “Ini bill-nya, Tuan,” tutur sang pelayan restoran seraya menyerahkan bill tagihannya pada Calvin. Sepasang manik milik Laura kembali terbelalak lebar saat dia melihat deretan kartu kredit dan kartu debit di dalam dompet kulit hitam milik Calvin. ‘Astaga, sekaya apa sih dia?’ benaknya. “Ini, coba pakai kartu yang ini dulu,” ujar Calvin seraya menyerahkan satu kartu kreditnya pada pelayan restoran tersebut. “Baik,” ucap sang pelayan restoran seraya mengangguk. Pelayan restoran itu kembali tak sampai lima menit kemudian, “Maaf, Tuan, kartu kredit Anda sudah ditutup oleh pihak bank.” ‘Mampus. Ini sih alamat aku bayar makanan sendiri,’ sesal Laura dalam hati. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD