Pria yang Datang dan Tak permisi

1361 Words
“Ready ...” “Action ....” Dua kata dari sutradara yang berteriak membuat suasana di balik layar sontak hening. Nara sendiri, berdiri di belakang kursi sutradara menatap ke arah layar monitor yang memperlihatkan dua pemeran utama yang sedang berakting di depan sana. Narendra Priya Pradipta, pria pemeran utama yang tadi sok kenal dan sok dekat kepadanya berdiri dengan Arriana. Kemeja putih dan juga vest hitam yang dia kenakan terlihat memesona meskipun mereka kini berada di dalam dapur sederhana yang menjadi lokasi syuting film CEO & Me yang sedang berlangsung. Nara terdiam melihat bagaimana gerakan Man Lead film ini yang bergerak membuka kancing lengan kemejanya, lalu menggulungnya dengan gaya paling Seksi yang pernah dia lihat. Seriously, Pria dengan d**a bidang menggunakan setelah kemeja, vest yang fit body, lalu bergerak menyingkai lengan kemejanya hingga ke bagian siku dengan begitu rapi adalah pria terseksi yang ada di dunia versi Nara. Tindakan yang Narendra lakukan itu membuat Nara hampir tak bisa bernapas, dadanya sesak. Tatapannya seakan begitu fokus dengan pria itu lakukan. Melihat Akting pria itu yang begitu natural, berkarisma dengan aura orang kaya yang dia miliki, membuat Nara yakin hal inilah yang membuat banyak masyarakat begitu terpesona dengan seorang Narendra sejak awal kemunculannya, meskipun pada kenyataannya seorang Narendra memang sudah memiliki aura itu dari lahir. Semua orang tahu bahwa Narendra adalah anak dari salah satu konglomerat terkenal di Indonesia, dan tak ada yang tahu kenapa pria yang mempunyai segala hal -harta, tahta bahkan ketampanan yang di atas rata-rata orang Indonesia, malah memilih menjadi seorang aktor ketimbang menikmati kekayaan yang tak akan pernah habis 7 turunan. Narendra adalah seorang yang lahir dengan sendok emas di depan mulutnya yang bahkan tak akan pernah bisa dia gapai atau gadis-gadis biasa lainnya. “CUT!” pekik Sutradara dengan begitu menggelegar mengagetkan semua orang termasuk Nara. Dia tersentak mendengar suara decitan kursi yang didorong kasar, bersamaan dengan hempasan saat sutradara itu berdiri dan berjalan dengan mengentakkan kaki berjalan ke arah Arianna. “Kamu enggak bisa masak dengan benar?” Sutradara itu mulai berteriak geram. Nara mengikuti arah pandangan semua orang begitu melihat cara Arianna memasak bakso Aci yang akan menjadi PPL di film ini. Bagaimana dia yang harusnya menjadi tokoh Anak dari keluarga sederhana yang membanting tulang demi keluarganya, kini bertindak seperti gadis kaya yang masak dengan memegang penggorengan dengan jijik. Cara dia memegang sutil dengan ujung tangan dan juga menjaga jarak dari kompor. Helaan napas dalamnya tak dapat dia tutupi, membuat staf PH yang berada di dekatnya ikut melakukan hal yang sama. “NARA!” pekik Pak Teddy, sutradara itu membuatnya sontak menghampiri beliau. “Iya, Pak.” Nara berusaha untuk bersikap tenang walaupun tahu raut wajah kesal yang diperlihatkan oleh pria yang mengarahkan Film mereka. “Artis kamu enggak becus masak gini. Kamu suruh masukin PPL,” ujar beliau dengan sedikit menggeram. “Ganti!” Arianna terlihat tersinggung, sontak dia berjalan menghentakkan kakinya kesal. “Sudah gue bilang kan gue ga mau masak bakso aci sialan itu,” ujar Arianna mulai mengompori. Wajahnya terlihat jijik dan ingin segera pergi dari hadapan matanya. “Masukin di adegan lain saja.” Nara sontak membulatkan mata, dia melirik ke arah Pak Teddy lalu menggeleng, “Enggak bisa, Pak. PPLnya harus dilakuin sama peran utama,” ucap Nara cepat. Pak Teddy mendelik, lalu mengacak pinggang menatapnya. “Kalau dia ga becus gini sama saja sia-sia!” “Yang enggak becus siapa?” Arianna mulai tersinggung dengan ucapan sutradara. Semua orang di lokasi syuting menjadi tegang. Semua orang terdiam, membeku. Semua staf tahu bahwa Pak Teddy tipikal sutradara yang tak bisa dibantah dan melihat bagaimana Arianna mulai mengonfrontasi keadaan membuat situasi nantinya akan tak terkendali. Nara dengan cepat berdiri di depan Pak Teddy menghalangi tubuh Arianna dari pandangan beliau sebelum amarahnya meledak. “Kita rekam adegan masak dengan pemeran pengganti bagaimana?” ujar Nara mengeluarkan solusi cepat. Menatap ke arah Arianna dan Pak Teddy bergantian dengan senyuman kaku. “Kita bisa milih salah satu staf di sini yang proporsi tangannya paling mirip dengan Arianna. Dia akan memasak untuk adegan itu dan kita buat seolah-olah Arianna yang masak. Bagaimana Pak Teddy?” jelas Nara lagi sembari menggigit bibirnya “Aku rasa ini solusi terbaik kan?” ujarnya takut-takut ke arah dua orang vital dalam film ini. Salah satu dari mereka merajuk dan pergi sama saja akan menyia-nyiakan waktu, kerja keras bahkan budget yang mereka habiskan untuk adegan ini. Tangan Nara menggenggam erat map hitam berisi story line film ini dengan begitu erat, kebiasaannya saat merasa gugup dan di bawah situasi yang menekan seperti ini. Dia terus menatap Pak Teddy lekat, lalu berganti menatap Arianna yang masih bersikap kekanak-kanakan dengan menyilangkan tangannya di depan d**a, memperjelas kalau dia sangat tersinggung dan juga kesal dengan sikap sutradara yang mengatainya tak becus. Rasa cemas yang Nara rasakan semakin menggila saat tak ada jawaban. Dia terus berusaha membaca raut wajah sutradara yang terlihat tak bagus. Ini bukan pertama kalinya, dia menjadi penanggung jawab produksi, tapi tetap saja. Insiden-insiden seperti ini selalu membuatnya tertekan dan terbebani. Dia merasa kesuksesan produksi dan film ini ada di pundaknya sekarang dan jika dia gagal mengendalikan situasi ini, maka itu bukan hanya merugikan Production Housenya, melainkan juga semua staf dan aktor lain yang sudah bekerja dengan sangat keras. “Okeeyyyy!” Pekik Pak Teddy dengan cukup keras sehingga membuat Nara membulatkan matanya mendengar persetujuan itu. Dia menghela napasnya lega saat mendengar itu. Pak Teddy memasukkan salah satu tangannya di kantung celana sementara yang lain bergerak ke atas pelipisnya. “Kamu enggak masalah kan?” tanya Nara mencoba bersikap profesional walaupun sebenarnya dia sudah mulai kesal dengan sikap Arrianna. “Terserah!” ujarnya mengibaskan rambut panjangnya lalu meninggalkan tempat itu seolah masalah sudah selesai. “Saya usahakan cari peran pengganti yang punya tangan yang mirip dengan Arianna.” Nara berusaha untuk berbalik dan mencari pemeran pengganti dengan cepat agar syuting bisa kembali dimulai. “enggak perlu,” kata Pak Teddy yang sedari tadi menatap ke arah map hitam yang dia pegang. “Hah! Kan kita harus cepet cari, Pak.” “Iya saya tahu.” “terus?” tanya Nara tak mengerti dengan ucapan Pak Teddy, keningnya berkerut menyatu dengan tatapan yang tak beralih darinya. “Iya enggak usah di cari.” Pak Teddy bergerak mendekati Nara dengan terus menatap ke arah Map yang dia pegang. Dia memperhatikan map itu dengan lekat. “Kamu saja yang gantiin,” ujar Pak Teddy tanpa mengalihkan pandangannya. “Hah?!” Nara tersentak, saat Pak Teddy menarik map yang dia pegang lalu melemparkan ke arah asisten sutradara lalu mengambil tangannya. “Tinggi kamu mirip dengan Arinna. Warna kulit kalian sama dan bahkan tangan kalian mirip. Enggak usah cari lagi. Kamu saja,” ujar Pak Sutradara menarik tangan Nara dan membawanya ke arah tim make up. “Kan Cuma ngeshoot tangan, kok harus ganti baju segala?!” ujar Nara panik melihat salah satu Kru membawakan pakaian yang sama dengan yang Arriana pakai tadi. “Ya kan sekalian sama scene close up Narendra. Kamu ganti baju pakai warna yang sama dengan Arianna tadi, enggak mungkin kan tahu-tahu di balik tangan kamu kelihatan background hitam sedangkan yang dipakai Arianna tadi putih,” dumel Pak Teddy meninggalkannya di bagian Make up tanpa mengindahkannya. Nara hanya bisa menghela napas, melirik ke salah satu Make Up Artis yang memakaikannya kain untuk menutupi pakaiannya. “Sabar ya, Mbak Nara,” lirihnya. “Mau enggak sabar ya harus di sabar-sabarin, Yan.,” ujar Nara pada MUA bernama Yana yang meringis menatapnya. “Kamu juga harus sabar sabar itu ngehadapin Arianna.” “Kalo dia Arrianna Grande sih enggak papa mbak. Lah ini Arianna reguler mana bisa sabar. Kalau enggak karena Mbak Nara yang nyuruh bertahan. Aku mah ogah,” “Grande sama Reguler. Kamu kira kopi SB, yan…” Decak Nara berusaha untuk menurunkan rasa deg degan yang dia rasakan dengan bercanda. Dia tersenyum melihat Yana yang menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Setelah itu, tanpa sengaja matanya melirik ke arah Narendra yang kini diam di kursi artisnya. Nara tercekat saat Narendra tiba-tiba membuka mata dan mengalihkan pandangan sehingga tatapan mereka bertemu. Nara sontak membuang muka, wajahnya memerah malu tertangkap basah sedang memperhatikan wajah tampan yang tak akan pernah bisa dia dapatkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD