8

2355 Words
Seorang pelayan berlari kecil menuju ruang kerja Sean dan masuk begitu saja dengan kepala menunduk tanpa mengetuk pintu. Tentu saja, Sean tidak suka itu. Matanya yang tajam seraya ingin membunuh pelayan tersebut. "Sepertinya kamu sudah bosan hidup." Geram Sean yang paling tidak suka ketenangannya diganggu tiba-tiba. "Ma-maafkan saya, tap-tapi Miss...Miss..." Pelayan itu menelan saliva karena ketakutan. "Ada apa dengan Miracle?" Sean bangkit dari duduk mengabaikan ketenangannya. "Mengamuk dan ingin melarikan diri." Seketika Sean berlari menuju kamar. Tidak akan ia biarkan Miracle berhasil kabur lagi. Ia sudah susah payah menemukan wanita ini, ditambah rasa frustasi yang menyebalkan ketika Miracle tidak ada di dekatnya. Sean membuka pintu kuat-kuat, ia mendapati beberapa pelayan wanita menahan kaki dan tangan Miracle yang meronta-ronta minta dilepaskan dan makanan yang berserakan di lantai. Melihat boss-nya datang, para pelayan itu memberi ruang untuk Sean duduk di tepi tempat tidur menghadap lurus kearah Miracle yang terengah-engah. "Suruh koki membawakan makanan lagi kesini." Titahnya tanpa mengalihkan tatapannya dari Miracle. Dengan patuh, para pelayan itu menghormat sebelum akhirnya pergi kecuali satu pelayan yang masih membersihkan makanan yang mengenaskan di lantai ini. Terbesit jelas tatapan benci Miracle kepada Sean. Hingga ia mengeluarkan seluruh sisa energinya untuk memukul-mukul dada bidang didepannya dan mengabaikan rasa sakit yang sebenarnya sangat ngilu. "Enough!" Satu cekalan saja mampu membuat tangan Miracle tidak berkutik. Satu tangan Sean merogoh saku jasnya untuk mengambil handphone yang kemudian disodorkan kepada Miracle. "Ketik apa mau mu." Dengan kasar Miracle menyaut handphone itu lalu mengetik sesuatu. Aku akan membunuhmu jika kamu melukai paman tadi lagi. Sebuah ketikan ancaman itu sebenarnya membuat Sean geli, karena kenyataannya tidak mudah membunuh seorang Sean. Mata Sean terangkat melihat Miracle yang masih terlihat sangat marah. "Aku tidak janji. Dia adalah seorang pengkhianat." Jawab Sean dingin, sebelum akhirnya seseorang mengetuk pintu dan masuk membawakan hidangan untuk Miracle. "Sekarang makanlah dulu. Kamu pingsan karena kelaparan. Dan pasti, kamu masih menahan rasa sakit sekarang." Sean tidak memperdulikan Miracle yang masih mengumpat. Ia letakkan table tray itu di depan Miracle. Sementara Miracle sendiri masih diselimuti amarah, ia lempar ke lantai table tray itu lagi. Ia tidak peduli dirinya pingsan atau mati kelaparan sekalipun. Timbul kerutan dan tatapan misterius dari Sean. Tidak ada rasa takut dari Miracle sedikitpun tapi ketika ia mendengar letusan yang menggema di kamar mampu membuat Miracle terkesiap sampai matanya terbelalak tak percaya. Dooorrr!!! Dengan tercengang mata Miracle berlahan mengarah pada tangan kanan Sean yang memegang pistol kearah koki disana. Untung saja tembakan Sean meleset, atau Sean memang sengaja melesetkan tembakannya hanya untuk menggertak Miracle. "Oh ya Tuhan, terbuat darimana hati manusia satu ini." Tak habis pikir dengan kekejaman Sean. Tanpa ragu Miracle meraih kasar tangan kanan Sean lalu mengarahkan pistol tepat di jantungnya. Ia tidak peduli jika Sean melecutkan tembakan kearahnya. Hidupnya sudah hancur semenjak bertemu dengan lelaki bastard ini. Impian, harapan dan kebahagiaan sudah tidak mungkin lagi ia miliki. Lebih baik mati ketimbang hidup bersama manusia yang tidak berperasaan. Sebenarnya Sean bisa saja membunuh Miracle dengan mudah, hanya saja ia masih menginginkan wanita ini. Ia butuh Miracle berada di dekatnya. Sean menghela napas, ia harus menurunkan sedikit ego-nya demi menenangkan wanitanya. Ia lepaskan berlahan tangan Miracle yang berada di pistol tersebut lalu ia tarik untuk dimasukkan kembali ke kantong jas. "Jika kamu kabur lagi. Jangan salahkan aku, ada mayat pengkhianat itu didepan matamu." Ucap Sean mencoba bernegosiasi. Miracle menelan saliva mendengar ucapan Sean yang lebih tepatnya seperti ancaman. "Apa maksud lelaki bastard ini aku akan tinggal disini selamanya???" Mata Miracle berkaca-kaca mencari jawaban dari tatapan Sean yang sangat misterius. Tidak. Tidak mungkin Miracle akan tinggal disini selamanya. Ia harus mencari cara sendiri agar bisa keluar dari sini. *   Meski sudah tiga hari tetap saja Miracle masih terasa nyeri pada punggung saat dioleskan ointment oleh salah seorang pelayan wanita sembari duduk diatas sofa. Tak hanya sekali Miracle harus meringis kesakitan menahan perih disana. Bahkan ia harus tidur tengkurap demi menyelamatkan punggungnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Membuat Miracle dan pelayan menoleh kearah pintu karena penasaran siapa yang datang. Tidak biasanya Sean pulang cepat, ia pasti pulang tengah malam bahkan hampir dini hari. Hal tersebut memang sengaja Sean lakukan beberapa hari terakhir ini. Bagaimana tidak, melihat Miracle saja rasanya ingin sekali mengajak bercinta. Tetapi karena Miracle masih terluka, Sean harus menahan gairahnya meski sudah mencapai ubun-ubun sekalipun. Dan itu sangat menyiksa. Sean yang masih berdiri kokoh didepan pintu, meneguk saliva sampai janggunnya terlihat jelas naik turun saat mendapati punggung liar Miracle yang sangat menggoda itu tertangkap oleh matanya. Melihat gelagat itu, Miracle berusaha menarik keatas resleting pakainnya segara. Tentu saja tidaklah mudah karena ia harus hati-hati dengan lukanya. Belum sempat pelayan itu membantu, Sean memberi isyarat kibasan dua jemari keluar bermaksud menyuruh pelayan pergi. Tentu saja, dengan hormat pelayan itu meninggalkan mereka. Miracle seakan meringsut dengan punggung yang masih terekspos bebas saat lelaki bastard itu melangkah mendekat dan pelayan tersebut sudah menghilang dibalik pintu Dengan tenang dan langkah pasti, Sean mengambil ointment yang diletakkan di sebuah meja kecil dekat sofa. "Akan aku obati lukamu." Suara serak itu terdengar seperti ajakan bercinta. "Otak mesum kamu tidak mungkin cuma ingin mengobati luka ku saja." Umpat Miracle dalam hati yang tentunya menolak. Sean tersenyum sudut memperhatikan tingkah Miracle yang begitu ketus menolak kebaikannya. "Tenang saja. Aku hanya mengoles ointment di punggungmu. Tidak lebih." Sebenarnya Miracle ragu dengan ucapan lelaki bastard ini, tapi apa boleh buat. Punggungnya harus diobati, jika tidak semalaman ia akan tersiksa menahan sakit. Sentuhan lembut Sean mengoleskan ointment di punggung Miracle sangatlah menyiksa. Bukan karena sakit, tapi karena Miracle harus menahan sengatan mengundang gairah. Bahkan sesekali lelaki bastard ini meniup lembut penuh sensual di punggung Miracle. Tak jarang, tubuh Miracle cukup mengejang kecil saat sentuhan Sean mengenai tepat di bagian yang mampu merangsang otak sensual Miracle. Meski dengan segenap kekuatan, Miracle berusaha tenang dan biasa-biasa saja, tetapi tubuhnya tak bisa diajak kompromi. "Dasar lelaki bastard. Kamu mencoba memancingku. Jangan bermimpi." Umpat Miracle menelan utuh bibirnya kedalam mulut berusaha tidak memberi respon apapun meski tubuhnya berkhianat. Terukir senyum nakal Sean yang cukup kagum dengan ketegaran Miracle. Sementara sesuatu yang mengeras disana sebenarnya sudah mendesak meminta untuk dipuaskan. Tapi Sean masih berusaha keras untuk menahannya. Tetapi sepertinya tidak butuh waktu lama. "Aahhss" suara Sean terdengar seperti seseorang yang frustasi. Kemudian melenggang masuk kedalam kamar mandi. Ada kelegaan dalam diri Miracle saat mendapati lelaki bastard itu menghilang dari balik pintu kamar mandi. Setidaknya ia tenang, Sean tidak akan menyentuhnya. * Dengan berat, mata Miracle harus terbuka saat ada sesuatu aneh yang ia rasakan. Tubuhnya yang telungkup seperti bergerak maju mundur tak aturan. Ia mendengar desahan yang tidak begitu jelas karena kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Kepala Miracle sedikit terangkat sembari mencari tahu apa yang sedang terjadi hingga tubuhnya berguncang maju mundur. Sampai pada akhirnya, ia merasakan dorongan keras di bagian inti tubuhnya hingga ia mengejang disaat kesadarannya sudah pulih. "Aahhss, ya ammmp...aaarrg. das...aahh aarr...Bast...aaahh tard...." Umpat Miracle tidak percaya dirinya diperkosa saat sedang tidur. Entah sejak kapan, Sean melakukan nafsu gilanya ini. Ia terus saja menusuk-nusuk penuh nafsu didalam sana. Bahkan ia tidak peduli, Miracle sudah terbangun dan berusaha meronta meski sangat kesulitan karena ia masih dalam posisi terlungkup. Sengatan demi sengatan membuat Miracle tidak mampu melawan lagi. Bahkan ruangnya untuk bergerak sangat terbatas dan sulit. "Enjoy it, sweetie..." Gumamnya tanpa menghentikan gerakannya yang semakin menggila. "Oohh... sweetie.... You're so wonderful.... I can't stop it. Aaarrggghh...so...so wonderful..." Lanjut Sean yang semakin terselimuti gairah yang meledak-ledak. Entah bagaimana Sean mempengaruhi tubuh Miracle, hingga wanita itu tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Pantatnya sedikit terangkat sehingga memberikan rangsangan yang semakin gila kepada lelaki bastard itu. Sean tersenyum nakal sembari mengangkat pinggul Miracle tanpa menghentikan gerakannya. "Ooooohhhs... sweetie..." Erangan itu bersamaan tubuh Miracle yang mengejang. Bahkan tidak mungkiri, Miracle terhanyut dalam permainan Sean. Dan akhirnya mereka meledak bersama dalam kenikmatan yang sangat memuaskan. Tubuh Sean ambruk ke samping setelah ia terpuaskan. Ia tatap Miracle yang terengah-engah mengatur napas disana. Sean tersenyum simpul. Ada kepuasan tersendiri ketika wanitanya juga merasakan klimaks yang begitu nikmat. Kemudian Sean mencium area leher Miracle disana sebelum akhirnya ia tertidur dengan penuh kepuasan. *   Meski tawa itu tidak bersuara, namun sudah mampu menggambarkan betapa mengagumkan wanita tunawicara ini. Pikir Sean yang berada dibalik jendela menyesep segelas anggur, memerhatikan Miracle bersama tukang kebun itu yang sedang menyemprot bunga mawar disana. Ada rasa iri menghinggapi Sean saat melihat mereka. Sekalipun ia belum pernah melihat Miracle tersenyum kepadanya, apalagi tertawa seperti sekarang ini. Hanya ada kemarahan dan kebencian yang ia terima dari wanitanya. Terbesit dalam pikiran Sean. Bagaimana cara agar Miracle bisa tersenyum seperti yang ia lihat sekarang. * "Miss, anda di tunggu Mr. Sean di mobil." Kata seorang pelayan yang membubarkan kesenangan Miracle. Mata tukang kebun dan Miracle saling memandang penasaran sekaligus khawatir. Mau nggak mau Miracle harus menuruti permintaan itu, oh bukan permintaan tapi perintah. Pikiran Miracle sudah kemana-kemana mencari jawaban, kenapa ia harus ikut dengan lelaki bastard itu. Bencana apa lagi yang akan menimpanya. Miracle meneguk saliva saat mendapati Sean duduk di dalam mobil dengan aura arogansinya. Sementara sopir yang dari tadi sudah membukakan pintu untuk Miracle hanya menunduk sekali mempersilahkan masuk saat mata Miracle meliriknya. "Jangan pernah berpikir untuk melarikan diri meski kamu berada di keramaian." Suara dingin itu mampu membuat Miracle yang baru saja duduk menggidik ngeri membayangkan bencana apa yang akan terjadi. Bisa keluar dari tembok besar itu adalah satu kesempatan besar yang tidak boleh disia-siakan. Bagaimanapun caranya ia harus kabur dari jeratan ini. Pikir Miracle yang berusaha keras mencari jalan keluar selama mobil melaju entah kemana. "Kamu tahu apa yang akan terjadi jika sedikit saja melakukan kebodohan." Sean menyodorkan sebuah tablet yang memperlihatkan rekaman CCTV dimana si tukang kebun itu dalam pengawasan ketat, beberapa pengawal disana seperti sudah siap menembak sasarannya, tinggal menunggu instruksi dari Sean. Tentu saja mata Miracle melebar, bibirnya merenggang, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Tidak. Tidak mungkin ia biarkan orang yang sangat baik dengannya mati mengenaskan ditangan orang-orang kejam itu. "Buang jauh-jauh pikiran kaburmu jika ingin dia hidup." Sean sepertinya sudah tahu betul niat Miracle. Dan dengan akal liciknya ia mampu membuat Miracle tidak bisa berbuat apa-apa. Mata nanar Miracle hanya bisa melirik benci pada lelaki bastard ini. Dirinya hanya bisa mengumpat dan menyumpahi dalam hati. * Terasa laju mobil mulai pelan menandakan sudah sampai tujuan. Sebenarnya Miracle cukup terkejut dan terheran-heran karena Sean mengajak ke sebuah mall elit seperti ini. Berbeda dengan ekspektasinya yang mengira akan dibawa ke suatu tempat yang sangat mengerikan. Sean menyodorkan sebuah iPhone X kepada Miracle setelah selesai dipasangkan alat pendukung lainnya oleh salah satu pegawai toko itu. Jelas Miracle tidak langsung menerima, ia pandang handphone mahal itu lalu melihat Sean. "Ini untukmu. Aku sudah menyimpan nomorku disini." Melihat Miracle belum juga menerima pemberiannya, Sean pun meraih tangan kanan Miracle agar handphone tersebut diterima meski dengan paksa. Terlihat Sean tersenyum simpul melihat handphone itu berada dalam genggaman Miracle. Tapi, mimik muka Miracle tidak menggambarkan rasa senang karena sudah mendapatkan handphone mahal tanpa perlu bekerja keras. Ia terlihat biasa saja membolak-balik an barang tersebut. "Belanja lah sesuka hati kamu." Ucap Sean mengalihkan perhatian Miracle yang langsung menyipit mendengar kalimat itu. "Ada apa dengan lelaki bastard ini?? Kenapa dia tiba-tiba berubah baik kepadaku? Dan juga handphone mahal ini??? Apa tujuannya??" Miracle berusaha mencari-cari jawaban di mata tajam itu lagi. Melihat tingkah wanitanya yang terlihat aneh, Sean pun meraih tangan kanan Miracle. Menggandengnya keluar dari toko handphone ini dan menuju toko-toko lain. * Miracle pun mulai belanja sesuka hati dia. Sesuka hati. Tanpa melihat berapa harga yang harus dibayarkan. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Barang yang ingin ia beli dari dulu kini terwujud sudah. Dari pakaian bermerk, sepatu, tas, perhiasan, boneka, dan apa saja yang membuat matanya tertarik. Tidak hanya satu saja, ia hampir membeli empat sampai lima setiap itemnya bahkan ada yang lebih. Miracle memang sengaja melakukan semua ini. Supaya Sean juga menilai kalau dirinya sama dengan wanita-wanita lain yang suka menghamburkan uang demi memenuhi keinginannya. Sampai-sampai empat pengawal Sean kewalahan membawa barang hasil belanjaannya. Sementara Sean masih setia di sisi Miracle, memperhatikan wanitanya yang sibuk dengan keinginannya. Tak sedikit kaum hawa yang iri melihat Miracle. Bagaimana tidak, dia mendapat lelaki yang kaya raya menemaninya belanja kemana-mana. Tapi mereka tidak tau, semenakutkan apa pria ini. Ketika Sean berjalan beriringan dengan Miracle, ia melihat salah satu toko perhiasan yang menarik perhatiannya. Lalu ia pandang Miracle dengan senyuman misterius. *   Derrick cukup terkejut melihat banyak sekali belanjaan yang dibawa oleh beberapa pengawal. Kepalanya menoleh ke kanan kiri sampai badannya berputar memperhatikan belanjaan yang tak kunjung habis diletakkan di ruang tengah. "What the-" ucapan Derrick berhenti saat melihat Miracle menjatuhkan diri ditengah-tengah belanjaannya. Lalu matanya menoleh dan mendapati Sean berada dibelakangnya. Sebelum Derrick mempertanyakan semua ini, Sean sudah lebih dulu berkata. "Aku seperti baru saja dirampok." Mata Sean mengarah pada sesosok wanita yang masih merebahkan kepalanya di sofa. Mendengar ucapan menyindir itu membuat Miracle terkekeh dalam hati. Memang benar adanya, pasti lelaki bastard itu telah habis uang banyak untuk semua ini. Tapi hal itu bukanlah masalah besar  karena lelaki bastard ini adalah seorang  bilioner, jadi pasti tidak akan kesusahan jika menghabiskan uang hanya untuk belanja seperti ini. Dalam benak Miracle justru bingung harus mengapakan semua barang-barang tersebut. Ia membeli semua ini hanya untuk memberi pelajaran lelaki bastard itu, tapi sepertinya percuma karena uang bukanlah masalah besar bagi Sean. Daripada pusing memikirkan semuanya, ia pun memutuskan untuk mandi saja. Tanpa permisi, ia bergegas bangkit lalu menaiki anak tangga meninggalkan Sean bersama Derrick begitu saja. Sikap Miracle cukup membuat Sean tertegun tak percaya menatap punggung Miracle menaiki anak tangga. Padahal Sean berharap akan mendapatkan senyuman dari wajah cantik Miracle setelah membelikan semua ini. "Setidaknya dia harus tersenyum denganku jika tidak bisa mengatakan terima kasih." Desisnya kesal menatap Miracle yang sudah menghilang dari pandangannya. Derrick yang mendengar perkataan boss-nya seketika menoleh dengan tatapan terhera-heran. "Apa Mr. Sean membelikan semua ini hanya agar dapat senyuman dari wanita itu?" Derrick berusaha menebak-nebak. Pertanyaan Derrick ini mampu membuat Sean merona. Merona. Seketika alam bawah sadar Sean tergugah karena pertanyaan konyol Derrick. Sejak kapan ia menjadi se-sensitif ini. Pikirnya berusaha mengendalikan gejolak emosinya. "Mr. Louis meminta anda untuk datang ke pertemuannya." Lanjut Derrick mengabaikan pertanyaan yang tidak dijawab oleh boss-nya. Sean menarik nafas dalam-dalam tanpa merubah pandangannya dimana ia terakhir melihat Miracle sebelum menghilang dibalik tembok. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD