2. Mahesa Oktavian Dirgantara

3064 Words
Mahesa Oktavian Dirgantara, seorang pemuda yang terlahir dengan sendok perak di mulutnya. Tak pernah kekurangan dan tak pernah kesulitan. Karena segala sesuatunya sudah di atur oleh keluarganya. Pagi itu seperti biasa Esa diantar kesekolah oleh sopirnya. Selama ini ia selalu diantar jemput, sejak kelas satu hingga menjelang lulus seperti sekarang. Bahkan semua orang tak aneh lagi jika melihat mobil mewah itu berhenti di lapangan utama. Berbeda dengan kendaraan lain yang hanya bisa sampai di tempat parkir atau mengantar hanya didepan gerbang. Ya... Tak ada aturan ketat untuk Esa, si pangeran yang merupakan anak dari pemilik sekolah. "Sa---." Panggil seorang gadis mungil begitu dirinya duduk dibangkunya, dia Intan. Salah satu siswi yang sejak kelas satu memang cukup akrab dengannya. "Hei Tan." Balas Esa seadanya. "Hari ini praktikum olahraga ya?" "Iya." "Hari ini aku praktikum Fisika." "Ohh gitu." Esa mengalihkan pandangannya pada seorang gadis cantik bertubuh semampai yang baru memasuki kelas. Ia melihat gadis itu menguncir asal rambut sebahunya. Namun entah kenapa dimata Esa tetap saja dia selalu indah dan terlihat cantik. Sangat cantik. Pikir Esa. "Sa, dimakan ya---. Aku sengaja bikin ini tadi pagi-pagi." Intan memberikan satu kotak makanan untuknya. Esa tersenyum tipis seraya menerima kotak itu. "Makasih ya Tan." Gadis itu mengangguk seraya tersenyum malu. "Semangat ya Praktikumnya." "Iya." jawab Esa seadanya. Ia menoleh kembali pada gadis yang tadi yang kini keluar ruangan. "Yaudah aku ke gor dulu ya." pamit Esa tanpa memperhatikan gadis mungil itu lagi. Esa berjalan menuju gor sendiri, tapi kini setelah beberapa saat kini ia berjalanbtepar beberapa langkah dibelakang gadis itu yang kini berjalan bersama dengan seorang siswa lain yang merupakan teman sekelasnya juga. "Ya gak suka aja. Geli banget gue liat tingkah mereka." Esa terdiam, ia tau gadis itu pasti tengah membicarakannya. Dia memang satu-satunya gadis yang sangat membencinya di sekolah ini. Berbeda dengan gadis lain yang justru selalu mencari perhatian padanya. "Sirik kali lo gak bisa deketin si pangeran kayak si Intan." "Gue sirik? Sorry ya. Orang-orang tuh yang sirik sama gue. Ngapain gue sirik sama dia?" Esa terus diam saat mendengar penuturan itu, ia tak bermaksud menguping. Tapi percakapan mereka memang cukup terdengar oleh telinganya. "Kali aja lo sirik si Intan sering dipuji kayak barbie. Mana bisa deket sama si Esa lagi. Calon pemilik sekolah." "Gue sirik gara-gara dia deket sama si Esa? Lo becanda? Ngapain gue sirik? Lagian lo tau sendiri kan, gue gak suka cowok manja kayak dia, manja terus anak mami. Bukan tipe gue banget Dy. Lagian lo kan tau tipe gue kayak siapa." Esa menghel nafas lagi. Ini bukan kali pertamanya ia mendengar perkataan itu. Jadi ia sebenarnya tidak perlu terkejut lagi. Tapi tetap saja ia selalu sedikitnya sakit hati mendengar ucapan gadis itu. Bagaimanapun dia gadis yang ia cintai tapi dia selalu mengecapnya sebagai anak manja dan setiap saat selalu mengatakan kalau ia bukan tipe-nya. Gadis itu seolah menutup kesempatan baginya untuk mendekati gadis itu. Miris bukan? Ia mencintai seseorang yang sangat jelas tidak menyukainya. Bukan hanya itu, tapi semuanya jelas jika dia sangat membencinya. Saat banyak gadis yang berusaha mencari perhatiannya. Gadis yang ia cintai justru sangat membencinya. Jangankan mencari perhatian gadis itu bahkan terlihat sangat malas jika harus berurusan dengannya. Pernah suatu waktu mereka berada di kelompok yang sama, awalnya ia pikir ia akan memiliki kesempatan untuk berdua dengan gadis itu. Namun ternyata mereka hanya bekerja masing-masing lalu menyatukan pendapat. Sudah, hanya itu. Mereka memang tidak pernah benar-benar bersama dalam waktu yang lama. Esa hanya diam saat dirinya memperhatikan Mini yang sedang memainkan bola basket. Dimatanya Mini selalu terlihat sangat mengagumkan terlepas dari apapun yang sedang gadis itu lakukan. Apalagi sekarang, saat gadis lain berusaha tetap anggun, Mini ini lain. Dia benar-benar apa adanya dan pintar menempatkan dirinya. Mini mungkin terlihat sedikit tomboy dimata orang lain. Namun dimata Esa tidak begitu. Mini hanya menjadi Mini yang apa adanya. Tidak seperti gadis lain yang berusaha terlihat anggun dan cantik. Mini justru anggun dan cantik dengan caranya sendiri. Tidak berdandan seperti gadis lain saja cantik. Apalagi berdandan kan? Esa meminta seorang gadis memberikan sebotol minuman pada Mini begitu gadis itu selesai melakukan praktikum. Ia bisa melihat gadis itu menyimpan minumannya disamping Mini tak lama kemudian gadis itu meraihnya. "Mahesa. Giliranmu." Esa segera berdiri kemudian menerima sebuah bola dari petugas. Ia melakukan dribble beberapa kali sebelum akhirnya melakukan slam dunk. Namun saat mendarat entah kenapa kaki kanannya mendarat dengan tidak sempurna, hingga akhirnya ia terjerembab jatuh. "Argh!" ringis Esa pelan. Esa berusaha menggigit bibir bagian dalamnya untuk menahan rasa sakit yang ia rasakan. Ia tak ingin dianggap semakin manja oleh Mini jika ia mengeluarkan ringisan yang lebih kencang lagi. Meskipun sakit, ia harus menahannya. Esa menatap Mini yang kini sedang membuka sepatu miliknya. "Ini bakalan bengkak. Bawa ke UKS aja." Esa tak begitu memperhatikan dua orang yang membantunya berjalan. Ia hanya memandangi Mini yang berjalan didepannya, dengan rambut kuncir kudanya yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Dari belakang saja, Mini sangat cantik. Pikirnya. "Bu---." Entah ia harus senang atau sedih saat tak mendapati siapapun didalam UKS itu. Apalagi sekarang hanya ada mereka berdua. Karena dua orang lain yang mengantarkannya tadi sudah berpamitan meninggalkan mereka. "Tiduran." Esa hanya menurut, ia bahkan menurut saja saat Mini tiba-tiba menarik bantalnya untuk dipindahkan ke area kaki. Darisini, ia dapat melihat Mini dengan puas. Meskipun sedikit berkeringat tapi dia tetap saja cantik. Apalagi saat sedikit anak rambutnya menutupi kening. Dia terlihat lebih menawan. Bolehkah ia bersyukur karena terjatuh? Karena berkat ia terjatuh ia bisa memandangi Mini dari jarak sangat dekat seperti ini. Bahkan merek hanya berdua saja sekarang. Esa tersenyum saat melihat Mini dengan sangat telaten membalut kakinya dengan sebuah perban elastis. Tidak terasa sakit, namun ikatannya terasa cukup kencang. Mungkin efek dari wajah cantiknya yang membuat rasa sakit berkurang? Oh tidak. Sebenarnya Esa ini bukan sosok manja, tapi Esa adalah sosok pemuda calon kekasih dengan tipe b***k cinta. Buktinya sekarang. Padahal kakinya tadi sakit. Tapi setelah memandangi Mini. Sakitnya tidak terasa lagi. Mini memang pengobat rasa sakit terampuh. Pikir Esa lagi. Esa tersenyum begitu melihat Mini selesai membalut kakinya kemudian berujar pelan. "Terimakasih Ky." "Ya." Balasnya seraya berlalu. "Esa---. Kamu gapapa kan?" Esa mendesah kecewa saat mendengar suara itu. Jika ada dia, pasti Mini akan pergi. Padahal Esa ingin memiliki waktu berdua dengan Mini lebih lama lagi. Tapi sepertinya harapannya itu tak akan pernah tercapai. "Lo gak usah aktivitas berat tiga atau empat hari. Terus pas tidur, kaki nya kasih bantal biarin lebih tinggi dari d**a. Bagusnya juga abis ini lo ke dokter. Buat mastiin gak ada luka berat di kaki lo." Esa hampir tersenyum lebar saat mendengar ucapan Mini. Itu adalah kalimat terpanjang yang dikatakan Mini padanya sepanjang sejarah perkenalan mereka. "Sekali lagi terimakasih Ky." Esa tersenyum tipis, namun percuma saja. Mini sudah pergi bahkan tanpa berbalik sedikitpun. Esa menghela nafas panjang. Kecewa melihat punggung itu menghilang dibalik pintu. "Sa---." Esa mengalihkan pandangan pada gadis yang sedari tadi ia abaikan. "Aku gapapa Tan. Kamu bisa kekelas kamu lagi." "Aku udah beres kok praktikumnya. Aku temenin ya. Kamu juga kayaknya gak bisa jalan dulu kan?" Esa menghela nafas panjang kemudian menutup area mata dengan lengan kanannya. "Kamu bisa keluar dulu buat sekarang. Aku mau istirahat." Esa tau, ia mungkin terkesan jahat pada gadis itu. Tapi bagaimanapun ia tak ingin membuat seseorang berharap padanya. Apalagi selama tiga tahun ini, gadis bernama lengkap Nadia Intan Permata itu selalu giat mendekatinya. Tidak pernah kapok atau bahkan menyerah dengan penolakan halus yang selalu di lontarkan olehnya. "Tidur aja. Aku disini." Esa menghela nafas panjang kemudian mendudukkan dirinya. "Mau kemana?" "Keruangan Kepala Yayasan." ujarnya kemudian berdiri. "Biar aku bantu." Esa tersenyum lembut. "Aku bisa sendiri Tan, lagipula lukanya sudah dibalut." setelah mengatakan itu Esa berlalu begitu saja dengan langkah tertatih. Sebenarnya Esa tidak biasa menggunakan kekuasaannya. Apalagi mengunjungi ruangan ibunya -yang merupakan ketua yayasan- tanpa alasan begini. Sejujurnya, ia hanya ingin menghindari gadis itu. Ia tak ingin membuat banyak orang semakin salah paham dengan hubungan mereka. Apalagi jika di UKS hanya berdua, ia hanya takut jika ads gosip aneh menyebar dan membuat Mini akan semakin ilfeel padanya. Begitu sampai diruangan itu, Esa langsung merebahkan tubuhnya diatas sofa. Beruntung ruangan itu kosong, kalau ada ibunya ia pasti diwawancarai panjang lebar. Seulas senyuman Esa mengembang, saat bayangan Mini yang tengah membalut kakinya kembali terlintas dalam benaknya. Mini--- Kali ini senyuman Esa mengembang kemudian memejamkan matanya. Esa menyadari bahwa dirinya benar-benar menyukai Mini, ia sangat sadar bahwa dirinya sangat mencintai sosok cantik itu dan sudah bertekuk lutut pada pesonanya. Entah sejak kapan, yang jelas sejak awal ia melihat gadis itu, dimatanya dia sangat menarik perhatian. *** Saat makan siang awalnya Esa ingin mengajak Mini untuk makan siang bersama, namun keadaan kakinya tidak memungkinkan untuk beranjak ke kantin yang berada saling ujung dengan kolam renang tempat praktikum selanjutnya. Awalnya Esa akan absen, Guru nya pun bahkan memberi ijin untuknya tidak mengikuti praktikum. Hanya saja entah kenapa perasaan buruk menghantuinya. Tiba-tiba ia terpikir tentang Mini, ia ingat bagaimana sigapnya Mini dalam menolong seseorang. Akhirnya ia duduklah disana. Disalah satu tribun, duduk tak jauh dari kolam yang biasa di gunakan oleh laki-laki. Meski ia datang untuk mengawasi Mini tapi ia tak segila itu untuk duduk dibagian perempuan. Ia hanya ingin mengamati Mini dari jauh. Memastikan gadis itu baik-baik saja. Baru saja, ia juga meminta Intan untuk memberikan satu botol minuman ion pada Mini, hanya sebatas ucapan terimakasih dan rasa sesalnya tak bisa mengajak gadis itu makan siang bersama. "Gila Mini cantik." Esa mengalihkan pandangannya pada segerombolan pemuda yang sedang bermain-main di pinggir kolam. Mereka adalah siswa kelas lain yang kebetulan baru saja menyelesaikan praktikum juga. Esa memicingkan mata saat mereka terlihat saling berbisik, seperti merencanakan sesuatu. Tak lama kemudian salah satu dintara mereka tiba-tiba tenggelam dan beberapa saat lain teman-temannya yang tadi menolongnya. Tapi aneh-- kenapa orang itu sampai pingsan? Padahal setaunya kolam itu cukup dangkal untuk ukuran laki-laki. "Mini!!! Tolongin." Esa menatap Mini yang kini berjalan dengan langkah cukup cepat kemudian membelah kerumunan itu. "Kasih nafas buatan aja!" Esa berdiri. Tidak! Tidak perlu! Mini jangan!!!! "Mini nyawa orang loh. Lo malah ngelamun!" "Mau kemana?" Intan menahan tangannya, namun ia segera menepis tangan itu dan kembali berjalan mendekati Mini. Secara refleks ia menarik bahu Mini yang hampir mendekatkan diri pemuda itu. "Gak perlu." "Apa sih? Lo gak liat dia balom sadar juga?" Esa kembali menarik bahu Mini kali ini dengan cukup keras. "GILA LO YA!" Byur--- Esa tercebur setelah mendapat dorongan sedikit lebih kencang dari Mini. Meski dengan keadaan kaki yang sakit, Esa berusaha menggerakkan kakinya. Namun beberapa saat kemudian sebuah tangan memeluknya, lalu membawanya kempinggir kolam. Esa mengatur nafasnya seraya berbaring di pinggir kolam dengan mata tertutup. "Lo gak pingsan?" "Kolamnya dangkal." ujar Esa tanpa membuka matanya. Kali ini dia bahkan menatap Mini yang sedang menatap kearah gerombolan itu. Mungkin dia kesal karena merasa terbodohi? "Kamu nya aja yang terlalu polos Ky. Dia cuma cari kesempatan sama kamu." Ujar Esa dengan nada bicara yang sangat tenang. "Sa...." Esa membangunkan dirinya sendiri saat mendengar Intan mulai mendekat dan merangkulnya. Sebenarnya ia sangat ingin menghindari gadis itu apalagi didepannya ada Mini, tapi kakinya terasa semakin sakit. Hingga membuatnya mendesis pelan. "Biar gue bantu." ujar Mini Esa sebenarnya senang, tapi entah kenapa ia masih sedikit kesal dengan kepolosan gadis itu. "Kamu harus praktek." "Lain kali aja." Mini kini merangkul pinggang Esa, lalu membiarkan pemuda itu merangkul pundaknya. "Terus orang itu? Bukannya kamu mau menolongnya?" sindir Esa. Ia masih sangat kesal, ingatkan? Beruntung Mini tak terlihat marah dia justru sekarang memapah Esa dengan sangat pelan. "Biarin aja." ujar gadis itu. Esa menghela nafas panjang. Menetralisir perasaan kesalnya. Ia tak ingin perasaan kesal yang menyelubunginya merusak suasana. Apalagi ini kali pertama baginya berdekatan sangat intens dengan Mini. Jika bisa, sedikitnya ia justru ingin membuat dia terkesan padanya. "Lain kali liat situasi dulu kalo mau nolong orang." ujar Esa. "Hm?" Sekuat tenaga Esa menahan dirinya untuk tidak menoleh pada Mini yang sedang menatapnya. Ia hanya bisa melirik dengan ekor matanya sesaat. "Yang ada kamu dimanfaatin Ky, kayak tadi." "Iya." "Atau gak panggil aja team medis kalo urusannya sama laki-laki. Kamu gak tau aja. Dari tadi mereka ngincer kamu." ujar Esa lagi. Setelah itu ia menoleh, menatap gadis itu. Tepat dimanik matanya. Ia tak tahan lagi untuk tidak menatap gadis itu. "Lain kali hati-hati ya---." ujarnya diiringi senyuman. Esa hampir tertawa gemas saat melihat Mini memalingkan wajahnya. Entahlah, ia juga tak mengerti kenapa gadis itu sampai berpaling sebegitu cepatnya. "Sa---" Esa menghala nafas saat mendengar namanya di panggil dari belakang. Esa dan Mini menghentikan langkahnya lalu menoleh. Mereka baru menyadari jika gadis mungil itu mengikutinya. Atau--- mungkin tidak? Gadis itu mengulurkan sebuah pakaian baru ditangannya. "Ini, aku bawain baju ganti buat kamu. Tadi aku beli di koperasi." "Terimakasih. Nanti aku ganti." ucap Esa seraya menerima satu set pakaian olahraga baru itu. "Gak perlu Sa. Boleh aku bantu kamu juga?" Esa tersenyum. "Gak perlu. Lebih baik kamu balik ke kelas kamu aja." "Yuk Ky." ajak Esa dengan cepat saat Intan terlihat ingin membantahnya. Jujur saja, ia hanya tak ingin waktunya bersama Mini terganggu kembali. Ia ingin berdua saja dengan Mini. Ia ingin menghabiskan waktu yang sangat langka ini hanya berdua. Jika tidak sekarang, kapan lagi kan? Apalagi mereka akan segera lulus. Saat satu sekolah saja susah berinteraksi, apalagi setelah lulus kan? Begitu sampai di UKS, Esa mendudukkan dirinya disalah satu kursi yang berada diruangan itu. "Mendingan lo ganti baju dulu deh. Gue juga mau ganti baju dulu bentar. Entar kesini lagi." Ujar Mini "Yakin? Bukannya mau ningglin?" Goda Esa. Mini mendesis. "Gue gak sepengecut itu ya. Gue pasti tanggung jawab. Udah, lo ganti baju dulu entar gue kesini lagi." Esa tersenyum tipis. "Bercanda." Mini menghela nafas. "Yaudah gue ganti baju dulu." Pamitnya kemudian berlalu. Esa mengangguk, ia kemudian beranjak memasuki toilet yang ada diruangan itu dengan tertatih lalu mengganti pakaiannya. Meski sedikit kesulitan tapi akhirnya ia bisa mengganti pakaiannya dengan baik. Begitu ia kembali ke UKS Mini sudah ada disana dengan seragam sekolahnya. Cantik. Pikir Esa. Ya-- Mini hanya dengan pakaian sekolah biasa saja cantiknya sudah sangat mempesona bagi Esa. Sangat amat cantik dan yang paling cantik dimata Esa. Apalagi jika pakaian lain kan? Gaun panjang misalnya? Ia yakin, ia akan semakin gila menyukai gadis itu jika bisa melihatnya. Karena Mini pasti akan lebih menawan lagi. Esa menatap Mini yang kini membantunya berjalan dan menuntunnya naik keatas bangsal. Dia juga membantu menaikan kakinya yang terasa ngilu ke atas bangsal itu. "Pasti sakit banget." Ujar Mini begitu membuka perban elastis itu dan melihat kaki Esa yang memerah, juga membengkak. "Abis ini lo harus ke Dokter." "Iya--" Esa mengulum senyumannya saat melihat Mini yang mulai mengganti perban di kakinya itu. Ia dapat merasakan sentuhan halus tangan Mini di kakinya, bagaikan profesional. "Kamu cocok jadi Dokter, Ky. Kuliah ke Dokteran?" Mini mengangguk. "Dokter apa kalo boleh tau?" "Dokter anak." Esa tersenyum nyaris terkekeh. "Kenapa ketawa gitu? Mau bilang gak cocok juga?" "Enggak kok. Kamu cocok-cocok aja." Esa menjeda ucapannya. "Suka anak-anak ya?" "Gak juga. Mau aja." Esa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ky--." "Hm." "Kamu cantik. Aku suka." Gerakan Mini membalut kaki Esa berhenti sesaat, namun dia lanjutkan kembali. "Ky--- aku suka kamu." Hening. Tak ada tanggapan dari Mini. Gadis itu masih terus membalut kakinya tanpa ada niatan menatapnya atau bahkan menanggaoi ucapannya. "Ky---." "ESA!!!." Esa terjengit mendengar seruan itu. Seorang wanita anggun masuk lalu mendekatinya. "Kok kamu gak bilang sama Bunda? Bunda kaget pas denger kamu cedera dan tercebur. Gimana ceritanya Sa?" Esa tersenyum pada wanita anggun itu, dia adalah Viona, ibunya. "Gapapa Bun, Esa udah diobatin sama temen Esa." Barulah Viona menoleh pada Mini yang baru saja selesai membalut kaki Esa. "Terimakasih-- siapa namamu cantik?" Esa menatap Mini yang kini tersenyum pada Ibunya. "Rizky Bu, di panggil Mini." "Terimakasih cantik, mau menolong Esa." Viona mengelus lengan Mini beberapa kali. Mini mengangguk kemudian kembali berucap. "Bu, sebaiknya Esa dibawa kerumah sakit setelah ini. Saya hanya membantu membalut dan tidak melakukan apapun lagi." Viona mengangguk. "Terimakasih ya sayang... Kamu bisa kembali ke kelasmu. Sekali lagi terimakasih menolong Esa." Mini mengangguk lagi kemudian segera undur diri dari ruangan itu. "Terimakasih Ky." ujar Esa pelan, namun gadis itu lebih dulu beranjak. Esa bahkan menatap punggung Mini yang mulai menghilang dibalik pintu UKS. Kemudian ia tersenyum tipis. "Sa---." Esa menatap Ibu nya yang menatapnya dengan tatapan sendu. "Bunda denger semuanya tadi." Esa menghembuskan nafasnya. Lalu hanya menatap ibunya dengan tatapan kosong. "Kamu tau kan, meskipun kamu suka sama dia tapi kamu tidak bisa memilih pasangan sesuai keinginanmu? Kamu ingetkan Sa, Kakek dan Nenek sudah menyiapkan pasangan untukmu?" "Bunda---." Nafas Esa tercekat. "Bunda bukan gak suka sama Mini, Bunda justru seneng kamu suka sama dia yang mungkin bisa rawat kamu dengan baik. Tapi-- Bunda gak mau kamu patah hati Sa. Bunda-- gak bisa nolong kamu." "Bun---." Esa menatap Viona dengan perasaan yang sudah mencelos kosong. Namun kemudian ia kembali tersenyum. "Esa tau. Esa tau itu. Tadi-- Esa hanya ingin mengungkapkannya saja. Lagipula kami akan segera lulus. Belum tentu Esa dan Ky satu kampus lagi. Esa-- hanya berusaga jujur Bunda." Viona mengusak puncak kepala Esa beberapa kali kemudian tersenyum ringan. "Terimakasih Sa. Kamu paham maksud Bunda. Bunda ngomong ini karena sayang sama kamu. Bunda gak mau nanti kamu patah hati." Esa teraenyum lagi meskipun terasa sangat berat. "Iya Bunda. Esa ngerti kok. Bunda khawatir sama Esa kan?" Viona mengangguk. "Apalagi kau akan segera ujian. Rencananya setelah ujian kamu akan bertemu calon pasanganmu." "Bun-- kenapa mendadak?" "Tenang saja, kamu nanti hanya kenalan. Kalian akan bertunangan saat berusia 20 tahun." Esa mendesah pelan. Memang, selalu ada harga yang harus dibayar untuk semua hal yang telah diterima. Seperti yang ia rasakan sekarang, Kenyamanan yang selama ini ia terima harus ia bayar dengan masa depannya yang sudah disiapkan keluarganya. Mau tak mau ia harus menerima skenario hidupnya yang sudah ditata rapih oleh keluarganya. Mau tak mau, harus mau. Begitulah hidupnya. --- Tanpa mereka sadari Mini yang baru saja akan kembali keruangan itu untuk mengambil ponselnya, hanya terdiam dibalik pintu. Ia terdiam disana cukup lama. Jujur saja ia sangat terkejut saat Esa mengatakan menyukainya. Namun ia lebih terkejut lagi saat mendengar bahwa masa depan Esa tak bisa ditentukan oleh Esa sendiri. Miris. Pikir Mini. Jika dirinya yang diperlakukan seperti itu pasti sudah melawan. Ia pasti akan berusaha menuntut kebebasannya untuk memilih. Apalagi pasangan. Pasangan itu bukan untuk satu atau dua hari. Tapi seumur hidup. Namun sayang, Esa mungkin sangat berbeda jauh dengannya. Pikir Mini. Ia yakin Esa hanya akan menuruti semua ucapan keluarga tanpa ada niat membantah. Ternyata, hidup si manja bisa sulit juga. Pikir Mini lagi. *** Bersambung... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD