1. Rizky Septiani Bagaskara

3005 Words
Seorang gadis cantik yang yang memiliki tinggi 176 cm itu sudah mengenakan seragam sekolah kebanggaannya. Ia berlari menuruni tangga rumah dengan sedikit tergesa. Penampilannya tidak begitu istimewa, karena dia hanya mengenakan seragam biasa dengan sebuah jaket denim dan sepasang sneakers buluk yang membingkai kaki jenjangnya. Dia Rizky Septiani Bagaskara atau kerap disapa Mini. Seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi semampai dan juga memiliki kulit putih sebening s**u dan merona indah seperti buah peach. Hanya saja kecantikan gadis itu sedikit tertutupi oleh gaya-nya yang terlalu santai dan cenderung seperti laki-laki. Aneh kenapa gadis secantik dia memiliki nama yang sedikit gagah? Banyak juga yang merasa heran, tapi setelah tau sejarahnya mereka tak akan terkejut lagi. Dia memiliki nama itu karena saat masih didalam perut ibunya ia mengalami kesalahan saat pemeriksaan. Dokter bilang anak itu laki-laki sehingga kedua orangtuanya menyiapkan nama itu, tapi ternyata yang lahir malah perempuan. Dan anehnya saat mereka memberikan nama yang lebih cantik, justru tak cocok dan membuat anak itu sakit-sakitan. Begitulah asalmula nama itu tersemat. "Pagi Mama." sapa nya seraya mencium seorang perempuan cantik yang sedang menata meja makan tepat di pipinya. Perempuan itu, sang Ibu yang bernama Renata. Dia sedikit mendongak menatap anaknya yang memang menjulang tinggi lebih darinya itu, jangan tanya kenapa dia tinggi. Karena jawabannya sudah jelas, tinggi Mini turunan dari sang ayah yang memiliki tinggi hampir 190 cm. "Pagi sayang." balas sang Ibu. Ia kini menelisik penampilan Mini yang hanya mengurai begitu saja rambut sebahunya tanpa ada hiasan lain, seperti bando misalnya. Anak gadisnya ini memang sangat polos dan kadang membuatnya sangat gemas ingin mendandani. "Perasaan Mama udah beliin kamu sepatu deh Min, bahkan Mama rasa gak cuma satu sepatu yang Mama beliin. Kenapa masih aja pake sepatu buluk itu?" Mini menatap sang Ibu yang kini sedang menata alat makan. "Ini bukan buluk Ma, ini emang sepatunya aja warnanya gini. Udah berapa kali Mini bilang kan?" "Tetep aja buluk. Pake sepatu yang lebih rapih sesekali." Mini menghela nafas. "Pantofel maksudnya?" "Hm." "Mama tau kan, Mini nyetir sendiri. Kalo pantofel ribet Ma. Udah gitu gak fleksibel buat kemana-mana. Mana kelas Mini kan lumayan jauh dari parkiran. Jalannya kudu cepet." Renata berdecak. "Alasan aja kamu. Temen-temen sekelas kamu juga kan pake pantofel. Itu kamu nya aja yang males." "Kata siapa?" "Reza. Siapa lagi?" Mini mendesis. Adiknya yang satu itu memang paling sering mengadukan kelakuannya pada sang ibu sejak dia hampir satu tahun ini satu sekolah dengannya. "Dasar cepu." "Aku gak cepu kok. Tapi emang benerkan? Cuma Kakak yang pake sepatu buluk kayak gitu ke sekolah." Mini mendelik pada adiknya yang baru muncul, dia memeluk Ibunya sesaat sambil menyapa kemudian dia duduk tepat di sebelah kirinya. "Liat. Aku aja pake pantofel."  Reza, sang adik. Dia menunjukkan kakinya yang terbalut sepatu pantofel yang sangat mengkilat bersih. "Terus Kakak harus bilang Wow gitu? Terus emang Kakak doang yang pake sneakers? Kan enggak. Yang lain juga ada." "Iya ada. Tapi yang lain itu yang bersih dan rapih. Gak buluk gitu." "Ini gak buluk." "Buluk Kak!" "Kamu tuh emang gak tau fashion ya. Sepatu gini lagi ngetrend. Harga sepatu Kakak ini bahkan tiga kali lipat dari harga sepatu kamu." Reza mengedikkan bahu. "Gak keliatan tuh. Tetep aja kayak buluk dan jelek." Mini memicingkan matanya. Adik nya ini memang paling senang menggodanya dan menjahilinya. Tapi ia paling sebal kalau sudah penampilannya yang mereka nilai. "Awas ya kalo minta tolong di sekolah." "Ma. Liat tuh Kak Mini." Lapor sang adik. "Apa?! Dih. Cowok kok manja. Udah cepu, manja lagi. Mau jadi apa kamu entar?" Balas Mini sakratis. Ia memang paling membenci laki-laki yang manja. Termasuk sifat adik nya yang satu ini. Ia tak menyukai sifatnya tapi bukan tidak menyukai sosoknya. Dia tak pernah memanjakan adiknya karena memang tak seharusnya dia selalu dimanja. Dia laki-laki dan harus mandiri. Begitu prinsipnya. "Aku gak manja." Bela sang adik. "Manja. Adek manja." "Kakak----." "Anak Papa kenapa sih? Kok pagi-pagi udah ribut." Sang kepala rumah tangga akhirnya bergabung di meja makan. Dia pertama menyapa istrinya, mencium keningnya sesaat kemudian mengusak puncak kepala kedua anaknya itu secara bergantian. "Itu Pa, masa Kakak bilang gak mau bantuin aku di sekolah." Mini mendesis lagi. "Beneran cepu ya. Gak usah bareng Kakak kesekolahnya." "Tuh kan Pa." "Udah. Za jangan godain Kakak nya terus. Kamu juga apa-apa lapor. Gak baik kayak gitu. Hargai kemauan Kakak. Kakak aja gak pernah kekang kemauan kamu kan?" Ujar sang ayah pada Reza, kali ini ia menatap Mini. "Kamu juga Min, sama Adek kok gitu? Jangan galak-galak ah. Papa gak suka." Mini mendelik pada Reza sesaat kemudian menunduk menghadap Rangga, ayahnya. "Maaf Pa." "Adek minta maaf sama Kakak." Tegur Rangga. Reza menghela nafas kemudian menatap Mini. "Maaf ya Kak. Jangan marahin adek terus makanya." "Kapan Kakak marahin A-----?." "Udah-udah." Lerai Renata. "Sekarang. Kalian makan. Setelah itu berangkat sekolah. Kamu juga hari ini ujian praktek kan Min?" "Iya Ma." Jawab kedua Kakak beradik itu. Keluarga itu makan penuh dengan rasa khidmat. Tak ada obrolan-obrolan lain saat dimeja makan. Mereka hanya diam seraya menikmati sarapan yang selalu ibu mereka buatkan setiap hari. "Terimakasih makanannya Ma." Ujar Mini diiringi dengan ucapan yang sama oleh sang adik. "Kita berangkat sekarang ya Ma, Pa." Pamit Mini. Ia kemudian memeluk lalu mencium tangan ibu dan ayahnya secara bergantian. Begitupun dengan sang adik. "Jangan berantem." Pesan Renata. "Iya Ma." "Jagain Adek nya ya Kak." Pesan Renata. "Iya Ma." "Adek juga jagain Kakak nya, jangan di gangguin terus." Kali ini Rangga yang memberikan pesan. Reza memberikan hormat. "Siap Captain! Semuanya aman terkendali." Mini melihat tingkah sang adik, ia mendesis kemudian terkekeh pelan. Meski sudah sama-sama SMA tapi sang adik memang terkadang bertingkah seperti anak-anak. Terkadang juga seperti orang dewasa. Aneh sekali memang. Namun walaupun begitu, dalam lubuk hatinya yang terdalam. Ia tetap menyayangi sang adik. Bagaimanapun dia saudaranya satu-satunya yang akan saling membantu dalam segala hal dan akan selalu berada di sampingnya baik saat bahagia maupun susah. "Kita berangkat dulu. Sampai nanti." "Hati-hati.... Jangan ngebut." Pesan Rangga. Mini mengacungkan ibu jarinya sebelum ia benar-benar meninggalkan rumah. *** Mini berjalan dengan langkah yang terlalu santai untuk ukuran seorang anak gadis. Dia tidak seperti gadis-gadis lain yang selalu mencoba mempercantik dirinya dengan menata rambut, berdandan dengan make up atau bahkan dengan cara berjalannya yang dibuat anggun. Sangat dibuat-buat. Mini benar-benar menjadi dirinya sendiri tanpa mempedulikan penilaian orang lain. Namun meski begitu ia selalu menjadi satu yang paling cantik. Parasnya yang terlihat natural, kulitnya yang seputih s**u dan juga tubuh semampainya benar-benar menarik perhatian banyak orang. Begitu memasuki kelas Mini berjalan kearah meja di dekat jendela tepat tiga meja dari depan. Ia menyandarkan punggungnya, melihat beberapa orang lain yang sudah mengganti pakaian dengan baju olahraga. Ya hari ini ada unjian praktikum olah raga. Guru olahraganya bilang hari ini mereka akan praktek lari sprint 100m, basket dan setelah istirahat makan siang mereka akan renang. Beruntung sekolahnya memang memiliki fasilitas sememadai itu, jadilah mereka tak perlu melakukan praktikum diluar sekolah. Ngomong-ngomong soal praktikum. Ya--- ini praktikum untuk ujian akhir. Karena sekarang Mini berada di kelas 3 SMA Semester 2 yang artinya ia akan segera lulus. "Min cepetan ganti baju, yang lain udah nunggu di gor utama." Tegur Aldy. Aldy Prayoga Ramdan. Dia salah satu teman dekatnya. "Gue tunggu di depan gedung ya." "Iya." Mini membawa pakaian olahraganya terlebih dahulu dari dalam tas kemudian beranjak ke kamar mandi. Entah kenapa ia malas sekali untuk praktikum kali ini. Biasnaya ia akan menjadi yang paling semangat untuk berolah raga. Tapi kali ini tingkat kemalasannya sedang snagat tinggi. Akhirnya masih dengan setengah hati, ia berjalan kembali ke kelas dan mendapati dua orang disana. Seorang murid laki-laki dan seorang murid perempuan. Mini melongos. Tak berminat melihat keduanya. Karena memang ia sudah biasa melihat pemandangan itu. Dimana si murid perempuan yang selalu datang ke kelasnya hanya demi memberikan sekotak makanan untuk si murid laki-laki. Sebenarnya ia agak muak, apalagi saat melihat tingkah sok cantik dari murid perempuan itu. "Sa, dimakan ya---. Aku sengaja bikin ini tadi pagi-pagi." "Makasih ya Tan." "Hm... Semangat ya Praktikumnya." "Iya." Sayup-sayup Mini dapat mendengar percakapan itu saat dirinya memasukan barang-barang kedalam loker. Demi Tuhan. Ini sekolah. Tapi bisa-bisanya mereka pacaran? Memangnya sekolah ini milik moyangnya apa? Ahh--- ya lupa. Bukan hanya milik moyangnya, sekolah ini bahkan milik orang tua si murid laki-laki. Jelaslah, bebas melakukan apapun. Murid laki-laki itu, Mahesa Oktavian Dirgantara. Seseorang yang di anggap Pangeran di sekolah, karena dia merupakan anak dari pemilik Yayasan sekolah ini. Mini meninggalkan ruangan itu tanpa ada niat sedikitpun untuk berbalik. Bukan, ia bukan merasa iri. Justru ia sangat muak melihat keduanya. Yang satu pemuda manja dan yang satu gadis pencari muka. Tipe orang-orang yang sangat Mini hindari. "Pagi-pagi sepet amat muka lo." Ujar Aldy begitu ia sampai dihadapan sahabatnya itu. "Males gue. Harusnya lo tuh tunggu gue dikelas aja tadi." Aldy sedikit tertawa. "Kenapa emang? Perkara si pangeran sama si puteri lagi?" Tanyanya, kemudian mereka berdua berjalan beriringan menuju gor utama yang cukup jauh dari kelas mereka. Mini mendesis. "Pangeran dan Puteri? Gak lah. Ngapain mikirin itu." "Ya kali aja. Lo kan musuhan banget sama mereka." "Gak musuhan juga kali." "Terus?" "Ya gak suka aja. Geli banget gue liat tingkah mereka." "Sirik kali lo gak bisa deketin si pangeran kayak si Intan." Mini mendesis lagi. "Gue sirik? Sorry ya. Orang-orang tuh yang sirik sama gue. Ngapain gue sirik sama dia?" Aldy tertawa lagi. "Kali aja lo sirik si Intan sering dipuji kayak barbie. Mana bisa deket sama si Esa lagi. Calon pemilik sekolah." Kali ini Mini tertawa garing. "Gue sirik gara-gara dia deket sama si Esa? Lo becanda? Ngapain gue sirik? Lagian lo tau sendiri kan, gue gak suka cowok manja kayak dia, manja terus anak mami. Bukan tipe gue banget Dy. Lagian lo kan tau tipe gue kayak siapa." Percakapan mereka berhenti begitu memasuki gor, keduanya langsung bergabung dengan teman sekelas mereka. Berbaris sesuai dengan gender. Mini berbalik bermaksud mencari Aldy yang tadi memelankan langkahnya. Namun yang ia dapati justru Esa, si pangeran yang ternyata berdiri tak jauh dari Aldy. Tunggu. Apakah ini artinya dia mendengarkan percakapannya dengan Aldy tadi? Mini kemudian memalingkan wajahnya dari orang itu. Tak peduli dia mau mendengar percakapannya dengan Aldy atau tidak. Toh yang ia bilang memang kenyataannya kan? Sebelum melakukan kegiatan olahraga, mereka melakukan pemanasan terlebih dahulu selama beberapa menit. Barulah melakukan sprint berdasarkan absensi. Kegiatan itu berlangsung tak begitu lama. Mereka bahkan kini sudah beralih kelapangan basket. Mini memainkan bola itu bersama beberapa orang lainnya. Namun sayang, beberapa murid perempuan tidak begitu mahir memainkan bola basket itu. Jangankan melakukan shooting, dribbling saja mereka tidak bisa melakukannya. Mini hanya bisa menghela nafas apalagi saat mendengar beberapa orang temannya yang mengeluh tangan mereka akan kasar dan kuku mereka akan rusak karena baru saja melakukan perawatan. Begini nih, Mini tak suka hal-hal yang merepotkan seperti itu. Bagaimana mungkin mereka memikirkan hal sesepele itu sementara nilai lebih penting? Tapi--- yasudahlah. Itu hidup mereka. Mini tak pernah mau mengurusinya. Praktikum Bola Basket dimulai dari murid perempuan, mereka benar-benar kacau bahkan Guru nya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Karena selain Mini, hanya ada satu sampai dua orang yang melakukan praktikum dengan benar. Mini kini mendudukkan dirinya di pinggir lapangan bermaksud menonton murid laki-laki yang mulai memasuki lapangan. Pandangan Mini entah kenapa tertuju pada si pangeran, Esa. Entahlah, ia hanya ingin tau. Padahal ia sangat membencinya. Pernah dengar kata orang-orang, kalau orang yang di benci akan lebih diperhatikan daripada apapun? Nah begitulah Mini. Ia sangat membenci Esa, namun ia selalu saja memperhatikan pemuda itu atau bahkan tanpa sengaja memperhatikannya. Pernah Aldy bertanya, kenapa ia malah memperhatikan Esa disaat ia membencinya? Ia menjawab, ia hanya ingin melihatnya lalu mencari cela dari pemuda itu lagi. Ya, hanya itu. Mini kali ini bersorak untuk Aldy yang melakukan praktikumnya dengan baik. Jelas, dia atlet basket pasti dia akan menjadi yang terbaik. Mini kembali memerhatikan lapangan seraya meneguk air -yang entah dari siapa- itu. Bruk! Mini mengerjapkan matanya. Apa yang baru saja terjadi? Tadi ia hanya melihat Esa yang mulai memainkan bola, dia shooting... Lalu--- "Mini! Kemari!" Seru beberapa teman. Mini mengerjapkan matanya sesaat lalu beranjak menuju kerumunan. Melihat keadaan yang terjadi. Disana ia melihat si pengeran sedang meringis sambil memegangi kakinya. Ia kemudian berjongkok dan segera membuka sepatu pemuda itu. "Ini bakalan bengkak. Bawa ke UKS aja." Aldy dan satu orang lainnya membantu Esa berjalan sementara Mini berjalan tergesa didepan mereka. Mini memang salah satu yang paling diandalkan jika terjadi hal-hal seperti ini. Entah karena pengaruh kedua orangtuanya yang seorang Dokter atau bagaimana, tapi Mini sendiri terlihat sangat memahami tentang pertolongan pertama yang harus ia lakukan setiap ada kejadian. "Bu---." Mini mencari pengurus UKS. Namun sayang, tak ada siapapun. Sial! "Min obati ya... Kita balik dulu bantuin Pak Hendra dilapangan." Pamit Aldy setelah membantu si pangeran duduk. Mini menghela nafas. "Tiduran." Ujarnya sebelum ia mengambil beberapa peralatan yang akan ia gunakan untuk menolong pemuda itu. Mini mengambil bantal dari kepala Esa, lalu ia pindahkan kearah kaki. Setelah itu ia mendudukkan dirinya di dekat kaki pemuda itu, kemudian ia mengompres kaki teman satu kelasnya itu dengan telaten. Sebenarnya Mini malas menolong orang ini. Tapi sayang, ternyata perawat yang biasa berjaga tak ada. Jadilah dengan sangat terpaksa ia menolong si pangeran manja ini. Setelah mengompres, barulah Mini memakaikan sebuah perban elastis pada kaki Esa. Ia melilitkannya dengan perlahan, berusaha tak membuat si manja ini meringis kesakitan. "Terimakasih Ky." "Ya." Balas Mini seraya membereskan alat-alat yang ia gunakan tadi. "Esa---. Kamu gapapa kan?" Mini menghela nafas, si puteri cantik datang. Pikirnya. Setelah membereskan alat-alat itu barulah ia kembali berdiri didekat Esa yang kini ditemani murid perempuan tadi. "Lo gak usah aktivitas berat tiga atau empat hari. Terus pas tidur, kaki nya kasih bantal biarin lebih tinggi dari d**a. Bagusnya juga abis ini lo ke dokter. Buat mastiin gak ada luka berat di kaki lo." Ujar Mini sekena nya. "Sekali lagi terimakasih Ky." Mini bergumam kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu. Tak berminat lagi berada disana. Toh kewajibannya menolong sesama sudah bereskan? *** Selepas makan siang Mini sudah siap dengan mengenakan pakaian renangnya yang dibalut dengan bathrobe. Begitupun juga yang lainnya. Kali ini mereka tidak bisa langsung memakai kolam, karena kelas lain baru saja menggunakannya. Selain itu di kolam lain masih ada beberapa orang yang bermain-main dan belum meninggalkan kolam. Saat Mini sedang duduk di salah satu tempat bangku, seseorang datang menghampirinya. Dia si puteri cantik yang selalu di panggil Intan, dia kini berdiri dihadapannya. "Mini." Panggilnya "Kenapa?" Mini berdiri lalu ia sedikit menunduk, karena si puteri memang cukup mungil dan hanya sebatas bahunya saja. "Ini." Gadis itu memberikan sebotol minuman ion. "Dari Esa." "Oh." "Dia bilang, terimakasih sudah menolongnya." Ujar Intan dengan nada yang terdengar sedikit tak rela di telinga Mini. "Ya." "Diminum, Esa ada disana." Gadis itu menunjuk ke area tribun yang tak jauh dari kolam bagian laki-laki. Mini menatap kearah pandang gadis itu. Benar disana ada Esa. Ia menaikan satu alisnya. "Bukannya gue udah bilang dia gak boleh aktivitas berat dulu?" Gumannya pelan. "Esa bilang dia tetep gak bisa bolos. Jadi walaupun gak bisa ikutan dia tetep mau hadir." Mini menghela nafas lalu menatap gadis dihadapannya itu lagi. "Anyway, thanks ya. Gue mau siap-siap dulu." Gadis itu mengangguk kemudian berpamitan untuk beranjak pergi darihadapannya. Mini membuka tutup botol minuman itu kemudian meminumnya satu teguk. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia menerima minuman seperti ini dari orang lain, hari ini bahkan ini botol ketiga yang ia terima. Meskipun terkadang ia risih namun ia tetap meminumnya minimal satu teguk hanya untuk menghargai perasaan orang yang memberikan minuman itu. Suara ribut tiba-tiba terdengar dari kolam murid laki-laki. Ditengah kolam seseorang mencoba mencari pertolongan, entah karena kram atau sesuatu yang lain. Beberapa orang langsung menolongnya dan membawa orang itu ketepi kolam. Mini berjalan tergesa kearah orang itu, saat beberapa orang mulai berkerumun. "Mundur sedikit." Perintah Mini saat mendapati murid laki-laki itu pingsan. Mini berusaha menolong murid tetangga kelasnya itu dengan kedua tangannya. "Kasih nafas buatan aja!" Mini terdiam. Apakah harus? Setaunya tidak perlu sejauh itu. Apalagi dia bukan tenggelam dengan waktu yang lama. Dia bahkan terhitung tidak tenggelam tadi. "Mini nyawa orang loh. Lo malah ngelamun!" Mini tersadar kemudin ia mulai menunduk, saat dirinya sudah sangat dekat dengan orang itu seseorang menarik bahunya, dia Esa. "Gak perlu." "Apa sih? Lo gak liat dia balom sadar juga?" Mini kembali menghadap orang yang pingsan itu namun lagi-lagi Esa menarik bahunya. Kali ini Esa yang bertindak, dia menarik paksa bangun pemuda itu. "GILA LO YA!!!" Byur--- Esa terjatuh kedalam kolam. Tadi Mini tanpa sadar mendorong Esa dan membuat pemuda itu terjatuh ke dalam sana. "ESA!" "Lo emang gila Mini! Kaki Esa masih sakit!" Mini mendesis kemudian segera meluncur masuk kedalam kolam untuk menolong pemuda itu. Mini menariknya hingga ke tepi kolam. "Lo gak pingsan?" Tanya Mini. "Kolamnya dangkal." Jawab Esa gitu aja. Mini membulatkan mata. Bodoh. Kenapa ia tidak menyadari jika kolam itu kolam yang paling dangkal? Kali ini ia menatap tajam pada gerombolan pemuda tadi. "Kamu nya aja yang terlalu polos Ky. Dia cuma cari kesempatan sama kamu." Ujar Esa dengan nada bicara yang sangat tenang. Tangan Mini mengepal kesal. Seharusnya ia menyadari keanehan tadi dan tidak terbodohi oleh mereka. Beruntung ia tidak sampai memberikan nafas buatan. Kalau sampai terjadi, mereka pasti akan sangat puas dan mungkin ia akan jadi bahan olok-olokan mereka nanti. "Sa...." "Sss---." Mini kembali mengalihkan perhatiannya pada Esa yang terlihat berusaha bangun dengan dibantu Intan. "Biar gue bantu." "Kamu harus praktek." Mini berdecak. "Lain kali aja." "Terus orang itu? Bukannya kamu mau menolongnya?" "Biarin aja." Mini mengambil alih Esa dari rangkulan gadis mungil itu. Beruntunglah tingginya dan Esa hampir sama, jadilah ia tak perlu kesulitan untuk menolong pemuda itu berjalan. Jika mengingat kejadian tadi, sedikitnya ia merasa bersyukur Esa menariknya. Entahlah, ia tak terbayang jika ia sampai melakukannya. Meskipun niatnya untuk menolong, tapi niat mereka ternyata untuk menjebaknya. "Lain kali liat situasi dulu kalo mau nolong orang." "Hm?" Mini menatap Esa penuh tanya saat ia mendengar pemuda itu tiba-tiba berujar. "Yang ada kamu dimanfaatin Ky, kayak tadi." "Iya." "Atau gak panggil aja team medis kalo urusannya sama laki-laki. Kamu gak tau aja. Dari tadi mereka ngincer kamu." Esa menoleh, menatapnya. Tepat dimanik matanya. "Lain kali hati-hati ya---." Pesan pemuda itu diiringi sebuah senyuman tampannya. *** Bersambung... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD