4. Pesanan Roti

1253 Words
Dhemayra sampai ditempat tujuannya. Sebuah rumah sederhana. Tempat tinggalnya selama tiga tahun terakhir ini. Dhemayra hanya tinggal berdua dengan Demira–bundanya. Gadis bernama lengkap Dhemayra Zeanna itu dulunya anak orang kaya yang tinggal di rumah mewah. Sang ayah merupakan salah satu pengusaha sukses yang berakhir bangkrut. Karena terlilit hutang Panji memutuskan untuk menjual semua aset yang dimiliki termasuk rumah mereka. Pandji menghilang sejak delapan tahun yang lalu, setelah melunasi semua hutang-hutang miliknya. Pandji menghilang tanpa kabar, meninggalkan Demira yang masih berstatus sebagai istri sahnya dan Dhemayra, putrinya. Dhemayra tidak tahu dimana Pandji dan tidak ingin mencari informasi tentang keberadaanya. Dhemayra berharap agar dirinya tidak bertemu lagi dengan ayahnya, jahat memang. Itu semua adalah akibat dari apa yang sudah Pandji lakukan kepada Dhemayra. Dhemayra mencoba memutar kenop pintu rumahnya. Pintunya tidak dikunci. Apakah Bundanya sudah pulang? Semenjak Pandji menghilang Demira menjual semua perhiasannya yang masih tersisa dan membuka toko roti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya Mamanya akan pulang pada pukul lima sore. Dan sekarang baru pukul setengah tiga sore. Kakinya melangkah menuju dapur saat hidungnya mencium aroma lezat dari makanan yang dimasak. Di dapur Dhemayra melihat Demira yang membelakanginya sedang sibuk memasak. "Kok pulang cepet, Bun?" tanya Dhemayra pelan ketika sudah berada di dekat Demira. Mendengar suara dari anaknya Demira membalikkan badan. "Sengaja. Soalnya Bunda udah kangen banget sama anak kesayangannya ini," Demira meraih tubuh ramping Dhemayra, membawanya ke dalam pelukan hangatnya. Dhemayra menumpukan dagunya di pundak Demira, "terus toko roti gimana?" "Di sana masih ada Tira yang jagain toko." Tira sendiri merupakan seorang mahasiswi yang berkerja paruh waktu di toko roti milik Demira. Karena harus membayar biaya semester membuat Tira harus berkerja paruh waktu di sana. Demira melepaskan pelukan mereka, kedua tangannya masih memegang pundak Dhemayra. "Makanannya kan belum mateng sambil nunggu kamu sekarang mandi dulu." Demira mengendus bau badan Dhemayra lalu mengapit hidungnya dengan jari telunjuk dan jempolnya, "bau asem soalnya." Dhemayra cemberut mendengarnya dan segera pergi meninggalkan dapur. Demira terkekeh geli melihat ekspresi wajah cemberut Dhemayra yang terlihat menggemaskan. Makanan yang dimasak Demira matang. Demira lalu menyiapkan makanan yang dimasaknya di atas meja. Duduk di kursi meja makan sambil menunggu Dhemayra yang sedang membersihkan diri. "Bun," panggil Dhemayra. Demira menoleh ke arah Dhemayra yang memakai kaos lengan panjang biru muda kebesaran dan celana training berwarna senada. Anaknya itu penyuka warna biru. Demira tersenyum. "Ayo duduk! Bunda udah siapin makanannya." Dhemayra mendudukkan dirinya di kursi. Diam memperhatikan Demira yang mengisi piringnya dengan nasi. "Mau pakai lauk apa?" tanya Demira. "Apa aja." Demira pun mengisi piring Dhemayra dengan lauk dan sayur yang dimasaknya tadi. Setelah selesai Demira menaruh piring itu ke hadapan Dhemayra. "Makasih ya Bun." Dhemayra tersenyum manis. Demira yang mendengar hal itu menghentikan pergerakan tangannya yang ingin mengisi piringnya dengan lauk. Demira tertegun melihat senyum manis anaknya. Senyum manis yang jarang dilihatnya. Dhemayra mulai memakan makanannya. Demira pun melakukan hal yang sama. Demira menghentikan makannya dan beralih menatap anaknya yang duduk didepannya. "Selama di sekolah kamu baik-baik aja kan?" • • Di anak tangga terakhir Ardaffin menghentikan langkahnya. Ardaffin melihat ke arah ruang makan, di sana sudah ada Papanya yang sedang memakan sarapannya dan sang Mama. Menarik napasnya dalam-dalam lalu kembali berjalan mendekati ruang makan. Ardisa mengoleskan selai kacang ke roti tawar. Untuk sarapan pagi ini Ardisa tidak memasak makanan. Perhatiannya tertuju pada anaknya—Ardaffin yang sedang berjalan dengan menenteng tas sekolah hitam miliknya. Ardaffin menarik kursi meja makan seraya tersenyum kecil, "pagi Ma, Pa." Sapaan Ardaffin di balas anggukan oleh Danu yang sudah lengkap dengan setelan jas kerja berwarna abu-abu. Danu merupakan pemilik salah satu perusahaan besar di kota mereka. "Pagi juga sayang." Ardisa tersenyum manis menatap Ardaffin. Ardisa menaruh piring berisi roti yang sudah diolesi dengan selai ke hadapan Ardaffin, "ini." Tangan kanan wanita itu bergerak mengelus surai hitam sang anak. "Hari ini Mama bangunnya kesiangan, nggak papa kan kalo sarapannya roti dulu?" Ardaffin menggigit roti yang dipegangnya dan mengunyahnya perlahan-lahan, "nggak papa Ma. Roti juga enak kok." Ardisa mengangguk dan duduk di samping Danu berhadapan dengan anaknya. Danu menghentikan makannya dan beralih menatap Ardaffin. "Papa udah siapin pelatih sepak bola pribadi buat kamu." Pelatih? Ardaffin menghentikan tangannya yang akan bergerak menyuapkan potongan roti terakhir ke mulutnya, beralih menatap ayahnya yang terlihat akan melanjutkan ucapannya. "Kamu tau kan sama Arvin Wijaya? Dia itu mantan pelatih timnas yang punya prestasi membanggakan. Papa yakin kalau dia bisa bikin kamu jadi pemain sepak bola yang hebat." Ardaffin menaruh kembali roti yang dipegangnya ke piring. Sedangkan Ardisa hanya diam menyimak dengan mata yang terus menatap putranya. Danu meminggirkan piring kosong yang ada dihadapannya. "Setelah kejuaraan futsal di sekolah kamu sudah selesai, kamu mulai latihan sama Arvin. Gimana? Kamu setuju kan?" Tanpa meminta persetujuannya pun Danu pasti akan tetap memaksanya. Jadi kenapa harus bertanya lagi? Ardaffin menundukkan kepalanya. Ardaffin sangat ingin menolaknya, Ardaffin sudah sangat lelah dengan semua kegiatan yang dilakukannya di luar sekolah selama ini. Dan sekarang apa? Rasanya Ardaffin tidak sanggup lagi jika menambah kegiatannya. Ardaffin harus mengungkapkan penolakannya kepada Danu. Laki-laki itu perlahan mengangkat wajahnyanya menatap Danu yang kini juga sedang menatapnya. Lidah Ardaffin seakan kelu untuk mengatakan bahwa dirinya sudah tidak sanggup lagi, Ardaffin tak tega melihat tatapan mata sang ayah yang menyorot penuh harap. Walaupun Danu sejak tadi memasang raut wajah tegas dan terkesan galak, namun Ardaffin bisa melihat sorot mata penuh harap itu. "Iya, Pa. Ardaf setuju," ucap Ardaffin lirih. Pada akhirnya laki-laki itu mengalah dan memilih untuk mengikuti keinginan Danu, kalau itu bisa membuat ayahnya bahagia. "Kalau gitu Ardaffin berangkat sekolah sekarang," Ardaffin beranjak dari kursi dan langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukan Ardisa yang memandangnya dengan sendu. • • "Hari ini kamu sarapan gak?" tanya Demira di balas dengan gelengan kepala Dhemayra. Demira menghela napas. Ini adalah kebiasaan Dhemayra yang tidak disukainya. Setiap hari anaknya itu selalu melewatkan sarapan pagi. "Kalau gitu Bunda ambilin bekal buat kamu." Mulut Dhemayra terbuka hendak mengucapkan kalimat penolakan. Namun Demira lebih dulu memasang wajah galak dan mengangkat jari telunjuk di depan wajahnya sebagai bentuk peringatan. Dhemayra mengatupkan bibirnya. Demira tertawa pelan dan beranjak pergi menuju dapur. Beberapa saat kemudian Demira kembali dengan menenteng tote bag bag berisi bekal Dhemayra dan kantong plastik besar yang berisi dua kotak persegi. Demira menyerahkan tote bag berwarna biru muda kepada Dhemayra. "Harus dimakan ya!" Mengangguk mengerti. "Itu apa?" Dhemayra menunjuk kantong plastik besar yang dipegang Demira dengan dagunya. "Ini roti pesenan tante Disa. Bunda titip sama kamu ya buat di anterin ke anaknya," pinta Demira. Ardisa, pelanggan setia toko roti milik bundanya. Karena sering bertemu itulah yang membuat Demira dan Ardisa menjadi teman. Ardisa merupakan orang kaya. Wanita itu bahkan tidak ragu untuk memborong semua roti Demira yang masih tersisa banyak dan membagikannya kepada orang yang membutuhkan. Dhemayra pernah beberapa kali bertemu Ardisa. Pertemuan itu membuatnya menjadi lebih dekat dengan Ardisa. Sifat baik dan lembut wanita itu membuat Dhemayra merasa nyaman. Disa sama seperti Demira. Dhemayra mengerutkan keningnya, "kenapa Dhe yang harus anterin?" "Soalnya tante Disa pesen roti buat anaknya. Kebetulan anaknya itu juga kelas sebelas dan satu sekolah sama kamu. Jadi, sekalian Bunda nitip ke kamu buat di anter," jelas Demira . "Dhe baru tau kalo tante Disa punya satu anak lagi." Demira tertawa pelan, "kamu kan nggak pernah nanya sama tante Disa." Demira mengambil secarik kertas dari dalam kantong plastik yang dipegangnya, menyerahkannya kepada Dhemayra, "ini. Bunda udah nulis namanya di sana." Dhemayra mengambil secarik kertas itu dan membaca isinya. Dhemayra membulatkan kedua matanya. Dhemayra beralih menatap mamanya dengan tatapan meminta penjelasan. Demira mengelus kepala Dhemayra, berusaha menenangkan, "nanti minta temen kamu buat nemenin anterin pesenannya ya." • • •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD