Sheila menatap keluar jendela mobil Jeep Wrangler hitam milik Yuda. Sudah satu jam lebih mereka berputar di area Kota Jakarta tanpa tahu tujuan juga pembicaraan di antara keduanya. Sheila sendiri terpaksa harus absen kelas siang dan hanya bisa berharap Gina berbaik hati memberikan alasan pada dosen yang mengajar.
Sheila menoleh ke arah depan ketika Yuda tiba-tiba saja menepikan Jeep-nya. Perempuan itu memperhatikan sekitar, mencari tahu keberadaan mereka. Rupanya setelah jauh berputar keduanya kembali berada di sekitar Kampus.
"Siapa tadi?" tanya Yuda membuka pembicaraan. Nada suara rendahnya membuat Sheila yakin laki-laki itu salah paham dan sudah memupuk amarah semenjak memergokinya dengan Ical di Perpustakaan.
"Temen kelas," jawab Sheila masih tidak mau menatap Yuda.
"Oh... cuma temen kelas?"
"Iya."
"Terus kenapa berduaan?"
Sheila menatap Yuda tidak percaya dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan laki-laki itu. "Apaan sih? Yang berduaan itu siapa?"
"Elo..." Yuda menaikkan sebelah alisnya. "Sama cowok itu.... siapa namanya tadi?"
Sheila mengalihkan pandangannya. Perempuan itu berdecak keras sembari menggelengkan kepala. "Kita cuma temen."
"Nama. Gue butuh nama."
"Gue sama dia cuma temen Yud!"
"Oh iya. Bener banget. Semua juga berawal dari temen. Lo-gue. Mantan lo. Semua!"
Sheila mengusap wajahnya kasar. Berusaha untuk mencari ketenangannya, tapi tampaknya Yuda sama sekali tidak memberikan kesempatan tersebut. "Atau lo emang udah suka sama cowok tadi?"
"Apaan sih Yud? Gak usah ngarang-ngarang cerita deh. Gue sama Ical gak ada apa-apa."
"Ical?" ulang Yuda penuh penekanan.
"Yud." Sheila menatap Yuda sungguh-sungguh. Ia memberanikan diri memegang lengan Yuda. "Gue bener-bener gak ada apa-apa. Kita cuma temen."
Yuda menarik tangannya, menyatukan kedua tangan pada kemudi sembari mengetuk-ketuk di sana. "Tapi lo mau nonton dia ngeband kan?"
"Yuda—"
"Terus lo muji penampilan dia bagus, bla bla bla, terus akhirnya lo PDKT sama dia. Selingkuh dari gue, gitu kan rencana lo?"
"Apaan sih Yud?" Sheila mendengus kesal. "Terus gimana lo sama Stella?"
"Serius Sil? Stella?" Ulang Yuda sambil menahan tawa yang akhirnya pecah juga. Meskipun di telinga Sheila terdengar seperti suara ejekan. "Stella anak Primrose itu kan, maksud lo?"
"Iya."
"Siapa sih yang gak dideketin sama Stella, Sil? Dari awal masuk Kampus juga tujuannya bukan belajar, tapi cari cowok!"
"Tapi lo biarin dia seenaknya gandeng tangan lo... kemarin."
"Maklumin aja, namanya juga Stella. Semua cowok juga digandeng. Tapi kalau lo? Ngobrol berduaan pakai acara mau dateng nonton band-nya. Sama siapa lo dateng? Gina?" Yuda terkekeh pelan. "Gak mungkinlah, pasti sendiri. Niatnya juga PDKT."
Mulut Sheila sedikit terbuka untuk sepersekian detik. Kemudian mengalihkan pandangan ke luar jendela sambil menggeleng tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Sementara Yuda menatap Sheila dalam diam.
Detik kemudian laki-laki itu menyalakan Jeep-nya kemudian berkata di antara deru mobil. "Urusan gue sama Ical belum selesai."
***
Sheila sengaja mengenakan kacamata untuk menutupi mata sembabnya akibat menangis semalaman. Dia harus pergi ke Kampus untuk memenuhi absensi, jika bukan karena tersebut Sheila jamin dia memilih untuk tidur lebih lama.
Baru saja Sheila menginjakkan kaki di Gedung Perkuliahan Bersama perempuan itu segera dipertemukan oleh orang yang benar-benar ingin dia hindari. Bahkan suaranya saja membuat penging telinga. "Kak Lando!"
Sheila menghentikan langkahnya. Mengamati Stella yang berjalan riang menuju Lando yang berdiri menunggu lift turun. Benar saja, Stella langsung bergelayut manja di lengan Lando tanpa sungkan. Apalagi Lando adalah seniornya.
"b***h," gumam Sheila kemudian lanjut melangkah sebelum kembali berhenti ketika Lando melalui tatapannya dengan tegas menyuruh Stella untuk melepaskan tangannya.
Sheila menghela napas berat. Harusnya Yuda bisa seperti Lando.
Sheila melangkah menuju lift. Ikut mengantri di belakang Lando berharap tidak ada seorang pun yang sadar dengan kehadiran dirinya, yang tentu saja tidak semudah itu untuk di kabulkan.
"Hai! Sheila kan?" sapa Stella sambil tersenyum sumringah seolah mereka akrab. Lando menoleh ke belakang menatap Sheila yang tersenyum apa adanya atau lebih terlihat terpaksa di mata Lando.
"Tau gue kan? Stella. Nama kita hampir sama loh!"
Iya. Tapi beda kelakuan.
"Lo ada kelas juga?" tanya Stella lagi, tidak peduli dengan wajah Sheila yang jelas menunjukan dirinya tidak ingin bicara dengannya.
"Iya."
"Lantai berapa?"
"Lima."
"Sama dong kayak Kak Lando. Bareng aja naik lift-nya."
Sheila diam sejenak. Mencerna ucapan Stella. 'Ya terus gue berdiri di belakang kalian buat apa, b***h?'
Tentu saja Sheila tidak menjawab seperti itu. Dia tersenyum sambil menganggukan kepalanya.
Denting suara lift tiba terdengar dan Sheila tidak pernah selega ini.
Lima orang di depan mereka bertiga memasuki lift terlebih dahulu kemudian dilanjut Lando, Stella, juga Sheila. Semua sudah menekan tombol lantai tujuan masing-masing hingga bunyi peringatan kelebihan muatan terdengar.
Sheila diam-diam menghela napas berat. Sheila sadar diri karena ia yang terakhir mengantre maka ia yang harus keluar. Peempuan itu pun mengambil langkah sebelum pergelangan tangannya dicekal oleh seseorang di belakangnya.
Sheila menoleh ke belakang menatap Lando kebingungan apalagi ketika laki-laki itu dengan santai berkata, "Stel, lo aja yang keluar."
"Hah?"
Lando mengalihkan pandangannya pada Stella. "Lo bisa naik tangga kan?"
"Hah?"
"Lo ada kelas di lantai dua kan?"
Stella menatap Lando juga orang-orang yang ada di belakang seniornya itu yang mulai bergumam, "yaelah lantai dua naik lift."
Pasalnya lift di Gedung Perkuliahan Bersama hanya ada dua lift dan yang satu dalam perbaikan sejak satu tahun lalu. Maka dari itu semua sensiif jika ada mahasiswa yang menggunakan lift padahal hanya ke lantai dua.
Lando menaikan sebelah alisnya sebab Stella belum juga beranjak keluar. "Stel?"
"Okaay!"
Stella mendengus kasar sebelum beranjak keluar dari lift dan menuruti Lando untuk naik tangga. Sementara itu Sheila kembali masuk ke dalam lift setelah tangannya dilepaskan oleh Lando, menempatkan dirinya di samping Lando.
Sheila menatap Lando. "Thanks, Kak."
Lando tersenyum sambil mengangguk kecil.
Sampai di lantai lima keduanya turun bersama. Sheila kembali mendongak menatap Lando bermaksud untuk pamit dan berterima kasih sekali lagi, tapi ucapan laki-laki di depannya itu membuat dirinya bergeming.
"Cokelat, biar enakan." Ucap Lando sambil mengulurkan satu bungkus cokelat pada Sheila. Lando menaikan sebelah alisnya. "Sil?"
"Hah?"
Lando meraih tangan Sheila kemudian memaksannya untuk menggenggam satu bungkus cokelat pemberiannya. "Ambil aja."
"Tap—"
"Duluan ya? Gue udah telat sejam," kata Lando kemudian beranjak pergi meninggalkan Sheila yang menatapnya bingung.
"Satu jam?" gumamnya sambil menggeleng heran, sebelum akhirnya mengulum senyumnya.
Sembari menggengam erat cokelat pemberian Lando, perempuan itu melangkah ke arah sebaliknya menuju kelasnya. Namum sepertinya Sheila tidak berhak untuk senang dengan laki-laki lain. Ketika ia bertatapan dengan Ical di depan pintu Kelas.
Luka lebam di sekitar wajah Ical membuktikan hal tersebut.