Pelukan yang Tak Kuinginkan, Tapi Kuperlukan Beberapa hari kemudian. Aku menatap ruangan luas apartemen itu. Dinding kacanya menjulang dari lantai ke langit-langit, memperlihatkan pemandangan kota yang seharusnya menakjubkan. Tapi bagiku, ini bukan surga. Ini penjara. “Arvind,” panggilku pelan, mencoba tetap tenang walau dadaku sesak. “Kamu bilang ini cuma sementara.” “Dan aku menepati janjiku.” Suaranya terdengar ringan, sambil mengeluarkan isi kantong belanja: vitamin kehamilan, buah potong, dan satu kotak s**u ibu hamil. Aku tertawa kecil—tawa getir yang tak bisa kutahan. “Kamu serius memaksaku tinggal di sini cuma karena aku hamil?” Dia mendekat. Wajahnya tak berubah. Mata cokelat itu menatap tajam seperti biasa. “Ini bukan paksaan. Ini tanggung jawab.” “Kalau itu tanggung jawa

