Lorong Sepi dan Perangkap Bernama Arvind Sebelum ayam sempat berkokok menyambut pagi dan mentari mengangkat tubuhnya dari balik cakrawala, aku sudah pergi. Meninggalkan rumah itu. Rumah yang selama ini membuatku merasa lebih seperti tawanan daripada tamu. Arvind tidak tahu. Atau setidaknya belum tahu. Seluruh keluarga mereka masih terlelap dalam mimpi. Aku hanya menitip pesan singkat pada Bi Nur—tanpa air mata, tanpa salam manis atau peluk haru. Aku tidak butuh drama. Hanya satu pesan pendek: “Aku pergi. Titip salam untuk semua.” Tidak perlu pamit. Tidak perlu babibu. Tidak ada tempat lagi untuk basa-basi dalam hidupku sekarang. Aku butuh ruang. Butuh napas. Butuh kebebasan yang selama ini mereka rampas dariku. * Kini, aku di sebuah kamar kos kecil—sederhana, murah, dan seadanya. Din

