07 - Bubur

1107 Words
Dua mata itu terbuka perlahan, tubuhnya terduduk pada kepala ranjang dengan satu tangan yang memegangi kepala. Kepalanya terasa nyeri, pening juga berdenyut. Atensi pria itu kemudian teralih pada sebuah kain yang jatuh ke atas pangkuan. Kain itu basah. Ia menengok ke arah nakas tempat tidur, mendapati sebuah baskom berisikan air yang ia asumsikan sebagai satu set alat kompres dengan kain dalam tangannya. Mengingat apa yang telah terjadi, Aksa baru saja menyadari jika hal terakhir yang ia ingat sebelumnya adalah, saat dirinya menghampiri Aleena di dapur pada pagi hari. Ia masih bisa mengingat raut kebingungan gadis itu, juga aroma tubuhnya sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Tapi saat ini, ia terbaring di atas ranjang. Di kamar tamu yang sebelumnya memang ia tempati. "Siapa yang bawa saya ke mari. Aleena? Badan dia kecil begitu, apa mungkin kuat?" monolog Aksa seorang diri. Selagi pria itu berpikir, pintu kamar bercat putih itu terbuka. Sosok Aleena muncul dari sana dengan membawa nampan berisikan semangkok bubur juga satu gelas air minum. Gadis itu sempat terdiam sesaat di ambang pintu. Jika diperhatikan dari raut wajah, ia terlihat agak terkejut dan juga ragu. Mungkin terkejut mendapati Aksa yang telah sadar dan merasa ragu untuk masuk ke dalam kamar. Meski sempat terlihat ragu, tapi pada akhirnya Aleena berjalan mendekat ke arah ranjang yang ditempati Aksa. Gadis itu meletakkan semangkok bubur dan menyiapkan beberapa obat-obatan dalam diam. Sedangkan Aksa sendiri, pria itu entah mengapa enggan melepaskan tatapan dari Aleena. Bahkan semenjak gadis itu masuk, ia masih senantiasa memperhatikan tiap gerak-gerik yang dilakukan gadis itu. Senyum kecil terkembang apik pada wajahnya, hal yang tanpa sengaja tertangkap oleh mata Aleena yang baru saja menyelesaikan kegiatannya. "Kenapa senyum-senyum?" Pertanyaan Aleena membuat Aksa tergagap. Pria itu kemudian berdeham dan mencoba bersikap se normal mungkin, berusaha untuk menyembunyikan fakta jika ia baru saja tertangkap basah. "Enggak, saya nggak senyum. Kamu salah lihat," bantah Aksa tanpa berniat menatap Aleena. Si gadis tidak terlalu ambil pusing. Ia kemudian menyerahkan semangkok bubur tersebut ke hadapan Aksa. "Makan. Mungkin rasanya nggak seenak buatan restoran atau tukang bubur yang biasa mangkal. Tapi aku buatnya pake kerja keras," ucapnya. Aksa menerima mangkok tersebut dalam diam, ia mengamati sejenak bubur berwarna oranye tersebut dengan lamat sebelum kemudian kembali mengalihkan perhatiannya ke arah Aleena. "Itu bubur labu. Aku udah coba beli bubur lewat online tapi selalu nggak dapet drivernya. Entah itu kamu yang sial atau apa. Tapi kalo nggak enak jangan dimakan," sambung Aleena seolah mengerti arti tatapan Aksa. "Saya mau nyoba dulu, alih-alih dicoba nggak bakalan tahu rasanya gimana," jawab pria itu sekenanya. Ia mulai menyendok bubur tersebut dengan hati-hati, menyuap ke dalam mulutnya dan berpikir sesaat. Aleena yang masih berdiri di sisi ranjang Aksa hanya diam menunggu, jemarinya mulai tertaut satu sama lain pertanda resah. Entah kenapa melihat raut wajah Aksa saat ini, ia menjadi begitu gugup. Ia merasa khawatir akan rasa bubur buatannya. Apa itu enak, atau justru sebaliknya. Aleena merasa penasaran. "Gimana?" pertanyaan spontan yang keluar dari mulut Aleena membuat keduanya terdiam secara spontan. Terdiam nya Aksa karena pria itu agak terkejut, ia tidak menyangka jika Aleena menunggu hasil tanggapannya saat ini. Sedangkan Aleena, gadis itu agak merutuk dalam hati. Menyesali perbuatannya yang mengungkapkan pertanyaan yang sejujurnya hanya ingin ia sampaikan dalam hati. "Lumayan. Not bad," jawab Aksa sambil mengangguk kecil. Pria itu kembali mengambil sesuap bubur dan menyerahkannya pada Aleena yang mengernyitkan dahinya. Bingung. "Siapa tahu kamu penasaran sama rasanya," ujar Aksa. Dengan perlahan Aleena sedikit merunduk, ia menerima suapan Aksa dengan tenang. Belum sampai bubur tersebut masuk ke kerongkongan, Aleena lebih dulu memuntahkannya pada beberapa lembar tisu yang tersedia di atas nakas. Kemudian tanpa sadar gadis itu meminum minuman yang sebelumnya ia siapkan untuk Aksa, sebelum kemudian melotot ke arah si pria yang tengah tersenyum ke arahnya. "Lidah kamu bermasalah, ya? Asin begini dibilang lumayan," pekik Aleena. Aksa terkekeh melihat bagaimana respon Aleena saat ini. "Seengaknya nggak terlalu buruk. Memangnya kamu masukin garam berapa sendok, 'sih?" tanggap pria itu santai. Aleena diam. Seingatnya ia memasukan gula ke dalam adonan bubur, bukannya garam. Kenapa rasanya malah jadi asin? "Apa yang ku masukin itu garem, bukannya gula?" monolog Aleena perlahan. "Yasudah. Sini, biar aku belikan saja bubur yang lain." Saat Aleena hendak menarik kembali mangkok di tangan Aksa, pria itu lebih dulu menghindar. Ia justru kembali menyuap bubur tersebut ke dalam mulutnya. "Rasanya nggak terlalu buruk, nggak asin banget, juga. Lagipula kamu bilang sendiri kalau sejak tadi nggak dapet driver, udah saya makan ini aja. Dari pada mubazir," kata Aksa sebelum kembali menyantap bubur buatan Aleena. Meski sesekali pria itu menunjukkan ekspresi aneh, tapi nyatanya ia tetap memakan habis bubur buatan Aleena. Ia juga melahap habis obat yang telah disediakan Aleena tanpa banyak bicara. Aleena yang masih berada di sana hanya diam. Ia tidak tahu dengan apa yang sedang dilakukan Aksa saat ini. "Kenapa?" Suara Aksa mampu membuat Aleena sadar dari lamunannya. Gadis itu menggeleng kemudian buru-buru membereskan peralatan makan Aksa dan beranjak tanpa mengatakan apapun. Aksa tersenyum kecil, melihat punggung Aleena yang menghilang dari balik pintu. Aksa sadar, bahwasanya Aleena sebenarnya memiliki sifat yang polos dan juga murni. Hanya saja ia terlalu keras kepala dan suka semaunya. *** Berbeda dengan Aksa, Aleena tiba di dapur dengan napas terengah. Ia masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bukan, ini bukan soal bubur seperti beberapa second yang lalu. Tapi lebih tepatnya ini soal pemikiran liar Aleena soal Aksa dan bibir pucat pria itu. Terkejut? Bingung? Mari kembali ke beberapa saat yang lalu. Aleena yang merasa panik dengan Aksa yang tiba-tiba tidak sadarkan diri membawa pria itu ke atas sofa. Saat dirinya hendak beranjak pria itu menahan dirinya sambil terus bergumam dan menyebut nama Keira. Terbesit dalam benak Aleena untuk bertanya dan mengulik soal siapa itu Keira, namun ia memilih untuk mengurungkan niatnya itu. Aruna justru beranjak untuk mengambil ponsel miliknya dan membelikan obat untuk Aksa. "Kamu mau kemana?" Aksa bertanya dengan mata setengah terpejam. Satu tangannya masih memegangi tangan kanan Aleena. "Aku mau cari greb buat bawa kamu ke rumah sakit," sahut Aleena seadanya. Mata gadis itu masih terfokus pada layar ponsel sampai kemudian benda pipih itu dirampas oleh Aksa. "Kamu!" Belum sempat Aleena menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya lebih dulu terhuyung ke arah Aksa yang tengah terbaring di atas sofa. Karena keseimbangan yang tidak pas, pada akhirnya tubuh Aleena jatuh di atas tubuh hangat Aksa. Namun bukan hanya itu, ada hal yang lebih mengejutkan terjadi. Bibir Aleena jatuh tepat di atas bibir pucat milik Aksa. Yah, mereka baru saja berciuman tanpa sadar. "Aishhh, sial! Mikir apa sih aku!" tutuk Aleena dengan memukul kepalanya sendiri. Ia merasa seperti gadis c***l sekarang. Bisa-bisanya ia malah salah fokus dengan bibir pucat milik Aksa. "Ingat, Aleena. Aksa itu nggak suka perempuan, ingat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD