bc

Married with Mr.Gay?

book_age16+
8
FOLLOW
1K
READ
arranged marriage
drama
office/work place
polygamy
like
intro-logo
Blurb

"Kapan nikah?"

Pertanyaan sama yang selalu membuat Aleena muak saat mendengarnya. Usianya yang menginjak 25 tahun, membuatnya terlalu sering mendengarkan pertanyaan serupa.

Bukan hanya dari orang lain, tetapi juga Ibunya. Wanita baya itu sudah sering kali bertanya dan menasehati Aleena untuk segera menikah karena teman sebaya nya yang rata-rata telah menikah bahkan memiliki momongan.

Namun yang tidak banyak orang tahu, ada alasan kuat mengapa Aleena belum mau terikat dengan hubungan pernikahan.

Trust issue juga pengalaman beberapa kawannya yang gagal dalam berumah tangga jadi salah satu contoh kecil kekhawatiran yang membuat Aleena enggan untuk segera menikah.

Namun di sisi yang lain ia juga tidak sanggup untuk terus mendiamkan pertanyaan soal pernikahan yang dilontarkan padanya setiap ada kesempatan.

Sampai kemudian Aleena tanpa sengaja dipertemukan dengan Aksa. Seorang lelaki yang mengaku mempunyai problem yang sama dengan dirinya.

Keduanya saling bercerita sampai kemudian tercetus ide gila yang berasal dari Aleena.

Pernikahan pura-pura. Aleena mengusulkan kerja sama gila pada Aksa demi menyelesaikan masalah mereka yang terus saja didesak untuk segera menikah.

Semuanya terdengar biasa. Pernikahan pura-pura juga genre romansa layaknya novel pada umumnya. Tapi bagaimana jika ada satu kenyataan yang tidak terduga menyertai di belakangnya?

Kenyataan bahwa Aksa Bumantara adalah seorang Gay.

Lalu, bagaimana jadinya rumah tangga Aleena dan Aksa saat lagi-lagi keluarga mereka menginginkan mereka untuk segera memiliki keturunan?

chap-preview
Free preview
01 - Tante Rindu
"Kamu kapan nikah?" Pertanyaan yang paling Aleena benci saat acara kumpul keluarga seperti sekarang. Tiap orang yang mendatanginya pasti hanya akan bertanya tiga hal padanya. "Gendutan, ya sekarang." "Kerja di mana?" Dan ada satu yang paling Aleena benci. "Kamu kapan nikah?" Menurutnya, pertanyaan seperti itu sudah terlalu basi untuk ditanyakan. Apalagi di waktu momen lebaran seperti sekarang. Momen di mana semua orang saling meminta maaf dan saling memaafkan atas segala kesalahan. Namun justru tidak jarang, sebagian dari mereka setelah meminta maaf tanpa sadar kembali menggoreskan luka di hati orang lain. Ibaratnya, percuma saja meminta maaf tapi ujung-ujungnya tetap menyakiti hati. Dan setelah Aleena mendengar pertanyaan yang terlontar dari Tantenya, entah yang keberapa kali. Dirinya hanya bisa tersenyum palsu.  Ia sudah terlalu malas untuk menanggapi ataupun sekadar menjelaskan jika dirinya masih belum memiliki niat untuk menikah dalam waktu dekat. "Cepatan nikah, Nak. Umurmu udah 25 tahun, 'kan sekarang. Masa kalah sama sepupu mu, yang 20 tahun aja udah lagi hamil," perkataan Tante Diana lagi-lagi hanya dibalas senyum tipis oleh Aleena. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang dimaksud Tantenya itu.  Seorang perempuan dengan gamis berwarna baby blue juga perut buncit itu tampak tersenyum saat beberapa Tante juga kerabat lain menghampiri dan  mengelus baby bump nya. Aleena tentu ingat betul bagaimana salah satu sepupu cantiknya itu sampai bisa menikah di usia yang begitu muda. "Kebobolan." Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah pasangan telah lebih dulu memiliki keturunan daripada ikatan pernikahan itu sendiri. Aleena tentu masih ingat saat dirinya yang harus menemani sang sepupu ke Kantor Urusan Agama untuk mengucapkan janji sumpah pernikahan. Aleena jadi berpikir, apa lebih memalukan saat seorang perempuan dewasa belum menikah, ketimbang seseorang yang mendapatkan 'bonus' lebih dulu? Aleena tentu saja tidak bermaksud membandingkan. Ini hanya pemikirannya saja sudah merasa muak dengan pertanyaan seputar pernikahan. Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah perlombaan yang mengharuskan untuk sampai di garis finish lebih dulu.  Semuanya bergantung dari tiap-tiap orang itu sendiri. Ada yang memang sudah siap dengan kehidupan pernikahan di usia muda, tapi ada juga yang masih ingin menikmati hidup dan belum mau untuk terikat dengan hubungan seserius pernikahan. Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tentu kebanyakan orang menginginkan pernikahan mereka hanya akan terlaksana sekali dalam hidupnya. Begitu pula dengan Aleena. Trust issue soal pernikahan, cerita pengalaman teman-temannya yang telah gagal juga melihat sendiri bagaimana kehidupan pernikahan sepupunya.  Hal itu sudah cukup membuat Aleena kembali berpikir masak-masak untuk menikah di usia muda. Ia tidak ingin menyesal saat membuat keputusan besar dalam keadaan tidak siap. Kehidupan pernikahan miliknya adalah keputusannya, bukan orang lain. "Ngelamun aja, kamu. Udah sungkem sama Eyang, belum?" Sebuah tepukan halus mendarat di bahu Aleena. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita dengan hijab coklat muda tengah tersenyum ke arahnya. "Udah, dong," jawab Aleena pendek. "Kenapa nggak gabung di dalem, malah nongkrong sendirian di teras begini." Aleena menoleh sebentar ke arah Tante Rindu yang masih tersenyum manis ke arahnya. Wanita itu tahu apa yang tengah dipikirkan keponakannya ini. Tante Rindu adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya orang yang bisa mengerti Aleena sekarang. Tante Rindu juga satu-satunya orang di rumah itu yang tidak menanyakan hal-hal aneh pada Aleena sejauh ini. Dan karena alasan itulah Aleena merasa nyaman. Ia pernah beberapa kali bercerita pada Tante Rindu soal keluhannya itu. "Nggak usah dipikirin kalo ada yang nanya soal kapan kamu nikah. Pernikahan bukan lomba balap, kok. Bukan soal siapa yang menikah lebih dulu, tapi soal siapa yang benar-benar siap dengan kehidupan setelah pernikahan. Itu yang lebih penting." "Tapi nggak semua orang bisa punya pikiran se terbuka, Tante. Bahkan, Mama aja sering nanya kapan aku nikah, padahal Mama tahu kalo aku masih belum ada niatan buat ke situ. Aku sampe capek kalo Mama nanya soal pernikahan," tanpa sadar Aleena mengeluh. Tante Rindu mengusap perlahan kepala Aleena. Wanita itu tentu tahu perasaan gadis muda di sampingnya ini, karena dulu ia 'pun mengalaminya. "Tahu, nggak. Dulu Tante juga sama kayak kamu, loh." Aleena menoleh cepat, bertanya lewat sorot matanya. Menuntut agar wanita yang lebih dewasa menjelaskan lebih jauh soal perkataannya. "Kamu pasti nggak nyangka kalo dulu, Tante nikah sama Om Bima pas umur tiga puluh tahun," ucap Tante Rindu dengan senyum simpul. Ekspresi yang ditunjukan Aleena membuat Tante Rindu terkekeh, jelas gadis itu terkejut dengan perkataannya. "Dulu, Tante sampe mau dijodohin sama seorang ustadz gara-gara nggak kunjung menikah, padahal temen-temen dan saudara Tante udah pada menikah dan punya anak. Tapi tante nggak mau. Kamu tahu apa alasannya?"  Aleena menggeleng. Kisah Tante Rindu sejauh ini sama dengannya. "Karena Tante percaya, cinta sejati dan kebahagiaan cuma berasal dari diri sendiri. Mungkin kita bisa bikin orang lain mengubah cara pandang mereka setelah kita menikah ataupun setelah kita punya anak. Tapi hal itu nggak menjamin kalo kita bakalan bahagia," Tante Rindu menjeda kalimatnya.  Ia menoleh ke arah Aleena yang masih menatapnya dan tersenyum kecil. "Kebahagiaan yang sebenarnya, cuma bisa ditentuin sama diri sendiri. Meski kata orang terlambat, tapi sebenarnya enggak. Bukan terlambat, hanya aja waktu kita dan mereka berbeda." Melihat senyum Tante Rindu, membuat senyum Aleena turut menggembang. Ia paham dengan apa yang dimaksud Tante Rindu. Jodoh tidak akan lari ke mana. Tidak perlu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena tiap orang punya jalan mereka masing-masing. Jika saat ini kamu belum bisa meraih apa yang telah orang lain raih, itu bukan berarti kamu gagal. Hanya saja memang belum saatnya kamu untuk mendapatkannya, atau bisa juga semesta ingin kemudian bekerja lebih keras lagi untuk hal itu. *** Pagi-pagi sekali Aleena dikejutkan dengan suara dari sering ponsel miliknya yang terasa memekakkan. Bahkan ia rasa jika sering teleponnya saat ini lebih berisik ketimbang jam weker yang biasanya membangunkannya tiap pagi. Tertera nama Silvia di layar panggilan. Dengan agama malas Aleena mengangkat panggilan telepon dari kawan semasa SMP nya itu. "Beb, ketemuan yuk. Kangen, nih," suara dari seberang panggilan terdengar.  Aleena berdecak, ia menoleh ke arah jam weker nya. Tertera pukul setengah lima pagi, dan Silvia sudah mengajaknya untuk bertemu? Apa tidak salah? "Ini tuh masih pagi pake banget, gila. Ngajak ketemuan subuh-subuh begini," dumal Aleena dengan suara agak keras, membuat Silvia tertawa di seberang panggilan. "Ya, nggak sekarang dong, Beb. Nanti jam sepuluhan, mau ya. Aku udah kangen banget nih sama kamu," suara Silvia terdengar merengek. Aleena hanya bisa menghela napas keras. Jika sudah begini ia tidak bisa melakukan apapun selain mengiyakan permintaan sahabatnya itu. Karena jika ia tetap menolak, maka Silvia juga akan semakin menjadi. Bahkan wanita yang telah menjadi seorang Ibu dari dua anak itu masih saja suka merengek pada Aleena jika ia menginginkan sesuatu dari gadis itu. "Iya, iya. Bawel, ah. Udah, aku mau sholat subuh dulu." "Oke, Beb. Sampai jumpa nanti ye." Panggilan terputus. Aleena yang saat ini sudah tidak lagi mengantuk, memutuskan untuk bersiap menunaikan sholat subuh.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.3K
bc

My Secret Little Wife

read
95.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook