01 - Tante Rindu

1113 Words
"Kamu kapan nikah?" Pertanyaan yang paling Aleena benci saat acara kumpul keluarga seperti sekarang. Tiap orang yang mendatanginya pasti hanya akan bertanya tiga hal padanya. "Gendutan, ya sekarang." "Kerja di mana?" Dan ada satu yang paling Aleena benci. "Kamu kapan nikah?" Menurutnya, pertanyaan seperti itu sudah terlalu basi untuk ditanyakan. Apalagi di waktu momen lebaran seperti sekarang. Momen di mana semua orang saling meminta maaf dan saling memaafkan atas segala kesalahan. Namun justru tidak jarang, sebagian dari mereka setelah meminta maaf tanpa sadar kembali menggoreskan luka di hati orang lain. Ibaratnya, percuma saja meminta maaf tapi ujung-ujungnya tetap menyakiti hati. Dan setelah Aleena mendengar pertanyaan yang terlontar dari Tantenya, entah yang keberapa kali. Dirinya hanya bisa tersenyum palsu.  Ia sudah terlalu malas untuk menanggapi ataupun sekadar menjelaskan jika dirinya masih belum memiliki niat untuk menikah dalam waktu dekat. "Cepatan nikah, Nak. Umurmu udah 25 tahun, 'kan sekarang. Masa kalah sama sepupu mu, yang 20 tahun aja udah lagi hamil," perkataan Tante Diana lagi-lagi hanya dibalas senyum tipis oleh Aleena. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang dimaksud Tantenya itu.  Seorang perempuan dengan gamis berwarna baby blue juga perut buncit itu tampak tersenyum saat beberapa Tante juga kerabat lain menghampiri dan  mengelus baby bump nya. Aleena tentu ingat betul bagaimana salah satu sepupu cantiknya itu sampai bisa menikah di usia yang begitu muda. "Kebobolan." Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah pasangan telah lebih dulu memiliki keturunan daripada ikatan pernikahan itu sendiri. Aleena tentu masih ingat saat dirinya yang harus menemani sang sepupu ke Kantor Urusan Agama untuk mengucapkan janji sumpah pernikahan. Aleena jadi berpikir, apa lebih memalukan saat seorang perempuan dewasa belum menikah, ketimbang seseorang yang mendapatkan 'bonus' lebih dulu? Aleena tentu saja tidak bermaksud membandingkan. Ini hanya pemikirannya saja sudah merasa muak dengan pertanyaan seputar pernikahan. Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah perlombaan yang mengharuskan untuk sampai di garis finish lebih dulu.  Semuanya bergantung dari tiap-tiap orang itu sendiri. Ada yang memang sudah siap dengan kehidupan pernikahan di usia muda, tapi ada juga yang masih ingin menikmati hidup dan belum mau untuk terikat dengan hubungan seserius pernikahan. Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tentu kebanyakan orang menginginkan pernikahan mereka hanya akan terlaksana sekali dalam hidupnya. Begitu pula dengan Aleena. Trust issue soal pernikahan, cerita pengalaman teman-temannya yang telah gagal juga melihat sendiri bagaimana kehidupan pernikahan sepupunya.  Hal itu sudah cukup membuat Aleena kembali berpikir masak-masak untuk menikah di usia muda. Ia tidak ingin menyesal saat membuat keputusan besar dalam keadaan tidak siap. Kehidupan pernikahan miliknya adalah keputusannya, bukan orang lain. "Ngelamun aja, kamu. Udah sungkem sama Eyang, belum?" Sebuah tepukan halus mendarat di bahu Aleena. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita dengan hijab coklat muda tengah tersenyum ke arahnya. "Udah, dong," jawab Aleena pendek. "Kenapa nggak gabung di dalem, malah nongkrong sendirian di teras begini." Aleena menoleh sebentar ke arah Tante Rindu yang masih tersenyum manis ke arahnya. Wanita itu tahu apa yang tengah dipikirkan keponakannya ini. Tante Rindu adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya orang yang bisa mengerti Aleena sekarang. Tante Rindu juga satu-satunya orang di rumah itu yang tidak menanyakan hal-hal aneh pada Aleena sejauh ini. Dan karena alasan itulah Aleena merasa nyaman. Ia pernah beberapa kali bercerita pada Tante Rindu soal keluhannya itu. "Nggak usah dipikirin kalo ada yang nanya soal kapan kamu nikah. Pernikahan bukan lomba balap, kok. Bukan soal siapa yang menikah lebih dulu, tapi soal siapa yang benar-benar siap dengan kehidupan setelah pernikahan. Itu yang lebih penting." "Tapi nggak semua orang bisa punya pikiran se terbuka, Tante. Bahkan, Mama aja sering nanya kapan aku nikah, padahal Mama tahu kalo aku masih belum ada niatan buat ke situ. Aku sampe capek kalo Mama nanya soal pernikahan," tanpa sadar Aleena mengeluh. Tante Rindu mengusap perlahan kepala Aleena. Wanita itu tentu tahu perasaan gadis muda di sampingnya ini, karena dulu ia 'pun mengalaminya. "Tahu, nggak. Dulu Tante juga sama kayak kamu, loh." Aleena menoleh cepat, bertanya lewat sorot matanya. Menuntut agar wanita yang lebih dewasa menjelaskan lebih jauh soal perkataannya. "Kamu pasti nggak nyangka kalo dulu, Tante nikah sama Om Bima pas umur tiga puluh tahun," ucap Tante Rindu dengan senyum simpul. Ekspresi yang ditunjukan Aleena membuat Tante Rindu terkekeh, jelas gadis itu terkejut dengan perkataannya. "Dulu, Tante sampe mau dijodohin sama seorang ustadz gara-gara nggak kunjung menikah, padahal temen-temen dan saudara Tante udah pada menikah dan punya anak. Tapi tante nggak mau. Kamu tahu apa alasannya?"  Aleena menggeleng. Kisah Tante Rindu sejauh ini sama dengannya. "Karena Tante percaya, cinta sejati dan kebahagiaan cuma berasal dari diri sendiri. Mungkin kita bisa bikin orang lain mengubah cara pandang mereka setelah kita menikah ataupun setelah kita punya anak. Tapi hal itu nggak menjamin kalo kita bakalan bahagia," Tante Rindu menjeda kalimatnya.  Ia menoleh ke arah Aleena yang masih menatapnya dan tersenyum kecil. "Kebahagiaan yang sebenarnya, cuma bisa ditentuin sama diri sendiri. Meski kata orang terlambat, tapi sebenarnya enggak. Bukan terlambat, hanya aja waktu kita dan mereka berbeda." Melihat senyum Tante Rindu, membuat senyum Aleena turut menggembang. Ia paham dengan apa yang dimaksud Tante Rindu. Jodoh tidak akan lari ke mana. Tidak perlu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena tiap orang punya jalan mereka masing-masing. Jika saat ini kamu belum bisa meraih apa yang telah orang lain raih, itu bukan berarti kamu gagal. Hanya saja memang belum saatnya kamu untuk mendapatkannya, atau bisa juga semesta ingin kemudian bekerja lebih keras lagi untuk hal itu. *** Pagi-pagi sekali Aleena dikejutkan dengan suara dari sering ponsel miliknya yang terasa memekakkan. Bahkan ia rasa jika sering teleponnya saat ini lebih berisik ketimbang jam weker yang biasanya membangunkannya tiap pagi. Tertera nama Silvia di layar panggilan. Dengan agama malas Aleena mengangkat panggilan telepon dari kawan semasa SMP nya itu. "Beb, ketemuan yuk. Kangen, nih," suara dari seberang panggilan terdengar.  Aleena berdecak, ia menoleh ke arah jam weker nya. Tertera pukul setengah lima pagi, dan Silvia sudah mengajaknya untuk bertemu? Apa tidak salah? "Ini tuh masih pagi pake banget, gila. Ngajak ketemuan subuh-subuh begini," dumal Aleena dengan suara agak keras, membuat Silvia tertawa di seberang panggilan. "Ya, nggak sekarang dong, Beb. Nanti jam sepuluhan, mau ya. Aku udah kangen banget nih sama kamu," suara Silvia terdengar merengek. Aleena hanya bisa menghela napas keras. Jika sudah begini ia tidak bisa melakukan apapun selain mengiyakan permintaan sahabatnya itu. Karena jika ia tetap menolak, maka Silvia juga akan semakin menjadi. Bahkan wanita yang telah menjadi seorang Ibu dari dua anak itu masih saja suka merengek pada Aleena jika ia menginginkan sesuatu dari gadis itu. "Iya, iya. Bawel, ah. Udah, aku mau sholat subuh dulu." "Oke, Beb. Sampai jumpa nanti ye." Panggilan terputus. Aleena yang saat ini sudah tidak lagi mengantuk, memutuskan untuk bersiap menunaikan sholat subuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD