Arini berusaha memejamkan mata. Sayangnya gagal. Otaknya terus memikirkan banyak hal. Saat ini yang harus diselesaikan adalah bagaimana cara mengembalikan ponsel milik Reza. Jika dibawa ke rumah dan anak itu datang, pasti akan timbul curiga. Reza pasti akan sangat curiga.
Reza bukanlah seorang yang bodoh dan bisa percaya dengan mudah ucapan orang lain. Sosok tampan itu akan menggunakan logikanya dan dengan mudah akan menemukan kebohongan orang lain. Arini sedikit kagum dengan kemampuan mahasiswa jurusan Matematika satu itu. Sangat jarang laki-laki seusianya yang bisa berpikir kritis sepertinya.
Pesawat yang ditumpangi oleh Arini sudah mendarat di Bandara Internasional Adisucipto. Gegas wanita cantik itu mencari taksi yang akan mengantarkan ke rumah tempat tinggalnya. Taksi di sekitar bandara lebih mudah didapatkan. Sopir taksi bandara biasanya berjajar di sekitar bandara. Memudahkan penumpang mencarinya.
Sopir-sopir taksi itu memang sengaja mangkal berjajar. Mereka berharap ada penumpang. Dengan kata lain mereka mempermudah penumpang mencari kendaraan. Meski pun dengan tarif yang kadang lebih mahal daripada tarif taksi di luar bandara.
Setelah mendapatkan taksi, Arini mengatakan tempat tujuannya. Sang sopir menjawab dengan sopan. Mobil taksi melaju membelah jalan menuju ke rumah Arini. Di dalam mobil taksi tidak ada percakapan sedikit pun. Arini sibuk dengan pikirannya. Entah orang melihat penampilan hari ini seperti apa.
Wajahnya tanpa riasan sedikit pun. Tidak ada persiapan sama sekali untuk menginap di luar kota. Hanya datang dan langsung pulang. Akan tetapi, ada halangan yang membuatnya harus menginap sesaat di Kota Kembang itu. Ada banyak pikiran membuatnya tidak sadar jika sopir sudah sampai di depan rumahnya.
"Maaf, Bu, ini sudah sampai," kata sang sopir mengulang ucapannya.
Sudah tiga kali sang sopir mengatakan hal itu. Penumpangnya kali ini membuat bingung. Tidak tidur, matanya bahkan terbuka. Badannya ada di dalam mobil taksi, tetapi entah dengan pikirannya. Melamun.
"E-eh ... maafkan saya, Pak." Arini segera tersadar dari lamunannya.
Ia segera keluar dari taksi setelah membayarkan sejumlah uang pada sang sopir taksi. Banyaknya pikiran dan rasa lelah membuatnya menjadi sering melamun. Setidaknya, wanita cantik ini telah menemukan di mana Hadi bersembunyi. Ia yakin, setelah ini pasti istri Hadi akan berpikir ulang tentang siapa suaminya yang sebenarnya.
Arini membuka kunci pintu di rumahnya. Hari ini rencananya ingin beristirahat. Jam di dinding ruang tamu miliknya menunjukkan pukul 12.30 WIB. Saatnya makan siang kemudian tidur siang. Hal langka yang terjadi dalam hidup wanita cantik itu.
Arini segera membersihkan diri. Tubuh indahnya tidak nyaman saat ini. Menggunakan baju yang sama dengan kemarin. Ia bahkan lupa jika masih memarkirkan mobilnya di bandara. Hadi penyebab semua itu. Membuat wanita tinggi sempai itu pikirannya hanya fokus pada sosok sang mantan tunangan.
Baru saja hendak beristirahat, pintu di rumahnya diketuk oleh suara yang sangat ia kenal. Reza, anak itu datang. Entah tahu dari mana jika dirinya sudah berada di rumah. Ingin rasanya menghindar dengan anak yang sangat tidak sopan itu.
Seperti biasanya Reza tidak akan sabar. Ketika di rumah, ia hanya akan memanggil nama. Tanpa embel-embel Bu. Arini sangat kesal dengan ulah nekat mahasiswa jurusan Matematika. Tidak tahu diri dan tidak tahu malu sekali kelakuannya.
"Arini! Arini! Keluar kamu! Aku tahu kamu didalam!" Reza berteriak seperti orang kesetanan dan mengundang banyak perhatian dari orang banyak.
Arini menghela napas panjang. Ia menguatkan hati untuk bertemu dengan anak yang tidak sopan itu. Mahasiswa Jurusan Matematika seharusnya lebih serius. Mungkin Reza adalah mahasiswa yang salah jurusan. Belum sampai di depan ruang tamu, ada tetangga yang menolongnya.
"Maaf, Mas. Sepertinya Mbak Rini pergi. Sudah dua hari ini rumahnya sepi. Mobilnya juga tidak ada. Biasanya kalau orangnya ada di rumah, pintu rumahnya selalu terbuka. Pintu dapurnya pun dikunci sejak dua hari yang lalu," kata salah satu tetangga Arini.
Reza menoleh dan menyunggingkan senyum ke arah orang itu. Hatinya meyakini jika wanita yang dicintainya itu ada di dalam rumahnya. Entah, keyakinan yang datang dari mana. Jika tidak di rumah, kemana perginya wanita yang telah mencuri hatinya.
"Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin bertemu dengan Arini," jawab Reza sambil tersenyum ramah ke arah tetangga Arini.
"Sama-sama, Mas. Kemarin juga banyak mahasiswa dan mahasiswinya yang datang untuk bimbingan skripsi. Mereka pulang lagi, karena katanya ponsel Mbak Rini ga bisa dihubungi sama sekali." Tetangga Arini memberikan informasi pada Reza sambil berlalu meninggalkan rumah Arini.
Reza kemudian duduk di kursi panjang yang ada di teras. Ia menghela napas panjang. Terpaksa harus menunggu hingga hari Senin esok. Arini akan berada di dalam ruangannya ketika pukul empat sore. Setelah mengajar di beberapa kampus lainnya.
Reza meninggalkan rumah milik Arini dengan perasaan tidak menentu. Ia menyalakan mesin motor miliknya dan kembali menutup gerbang pagar rumah Arini. Sengaja tidak memasukkan motornya agar wanita yang dicintainya itu mau menemuinya. Sayangnya, wanita cantik itu memang benar-benar sedang tidak ada di rumah.
Arini merasa lega setelah mahasiswa Jurusan Matematika di kampusnya itu meninggalkan rumahnya. Tidak harus menemui sosok yang selama ini mengejarnya. Reza bukanlah pemuda yang bodoh. Akan banyak pertanyaan seputar kepergiannya kemarin.
Arini berencana membuat alasan. Besok Senin sudah tidak bisa lagi menghindar dari sosok Reza. Mahasiswa nekat itu pasti akan menemuinya di ruangannya. Sebuah ide tiba-tiba saja datang di kepalanya. Besok alasannya jika ia pergi ke Semarang. Toh, Reza sudah tahu jika anaknya berada di salah satu panti asuhan yang ada di kota itu.
♡♡♡♡
Sementara itu, Maya masih harus dirawat di klinik. Bersyukur hanya kelelahan saja yang dialami wanita itu. Lebih tepatnya lelah pikirannya. Ia tidak menyangka jika Hadi tega berbohong pada dirinya juga keluarganya. Muncul pertanyaan di dalam benaknya, apakah kedua orang tua Hadi tahu perihal Arini?
Jika mereka tahu, sangat keterlaluan karena membohongi dirinya juga keluarganya. Tidak bisa dimaafkan jika apa yang dipikirkannya itu benar-benar terjadi. Hatinya sangat sakit dengan semua kebohongan Hadi.
"Sudah bangun, Sayang?" tanya Hadi yang baru saja datang. Entah dari mana papa Keenan itu.
Pagi tadi setelah sarapan dan minum obat dan vitamin dari klinik, matanya kembali mengantuk. Ia tidak sempat berpamitan pada Keenan jika akan tidur dahulu. Entah di mana sang putra saat ini. Semoga saja, ibunya sudah mengambilnya. Rasanya lebih nyaman jika sang ibu yang membantu merawat Keenan saat ini.
Maya memalingkan wajah dari tatapan sang suami. Hadi tampak merasa sangat bersalah. Ketidakjujurannya beberapa tahun lalu ternyata menjadi bom waktu. Arini datang dan membuka semua aibnya di masa lalu. Entah dari mana wanita itu tahu jika dirinya saat ini berada di Bandung.
Arini bukanlah sosok yang suka membaca majalah bisnis atau pengamat bisnis. Hal itu dimanfaatkan oleh Hadi untuk bersantai, karena tidak akan mungkin seorang Arini akan menemuinya. Hadi hanyalah menginginkan Maya menjadi istrinya. Akan tetapi, keluarganya justru menjodohkannya dengan sosok Arini.
Arini adalah sosok yang sangat gila belajar dan bekerja. Hadi tidak menyukai sosok wanita yang seperti itu. Meski pun dari fisik Arini lebih unggul, tetapi untuk kriteria ibu rumah tangga tetaplah ada pada diri Maya. Pernikahan tidak hanya tentang kecantikan seorang istri semata. Akan tetapi, bagaimana rumah tangga itu berjalan. Masing-masing pasangan tahu hak dan kewajibannya.
Saat ini terlihat, jika sosok Arini lebih mengutamakan karirnya. Sedangkan Maya, memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Mengurus anak dan suami. Kedua orang tua Hadi sebenarnya sangat keberatan dengan keputusan Maya. Akan tetapi, Hadi terus meyakinkan kedua orang tuanya, jika semua akan baik-baik saja.
Hadi berhasil membuktikannya. Usaha yang dirintisnta berhasil. Banyak orang menggunakan jasanya. Uang hasil kerjanya digunakan untuk membuat CV sendiri miliknya yang bergerak di bidang properti. Seiring berjalannya waktu, tidak sampai lima tahun, usaha miliknya membuahkan hasil. Banyak yang ingin bekerja sama dengannya.
CV Mitra Abadi miliknya bergerak sebagai penyedia jasa properti sebuah perumahan mewah. Hadi bekerja sama dengan salah satu pemilik modal di bidang properti. Gilang Group milik salah satu pengusaha yang tidak diragukan lagi kiprahnya dalam dunia bisnis properti.
"Sayang, kamu pengen makan apa? Nanti aku carikan. Kebetulan tadi Keenan minta pulang ke rumah neneknya." Hadi mencoba mengajak sang istri untuk berbicara.
Tidak ada jawaban dari mulut sang istri. Hatinya sakit melihat sang istri seperti ini. Jika ada masalah, Maya akan membicarakannya dengan baik-baik. Kali ini masalahnya adalah dirinya sendiri. Hadi tidak jujur saat menikahinya.
Maya masih saja mendiami sang suami. Ia memang sengaja melakukannya. Jika hati dan pikirannya sudah tenang barulah akan berbicara dengan kepala dingin. Bukan saat ini, emosinya masih tampak jelas. Bisa kapan saja meledak.
Maya masih mempertimbangkan semua itu. Istri Hadi itu masih memikirkan Keenan yang masih kecil. Hatinya menghangat ketika mengingat sosok yang memberikan semangat itu. Maya sama sekali tidak ingin berbicara pada Hadi saat ini.
"Aku ...." Hadi tidak tidak sanggup melihat istrinya berubah dingin seperti saat ini.
Sulit bagi Hadi meluluhkan hati Maya. Ini bukan sekadar salah paham atau masalah keci. Pun dengan Arini yang tidak main-main perihal tes DNA. Mantan tunangannya itu pasti akan melakukan hal itu. Terlebih jika saat ini, mantan tunangan Hadi tampak sudah mapan.
"Pergilah. Aku ingin sendiri." Pelan dan datar saat Maya mengatakan hal ini pada sang suami.
Hadi dilema jika harus meninggalkan Maya seorang diri. Sang istri sedang tidak sehat. Hadi khawatir jika sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu, tetapi perawat belum datang. Maya kembali mengulang ucapannya untuk sang suami.
"Aku ingin sendiri. Tolong mengertilah."
Tatapan Maya kosong. Tidak ada binar keceriaan seperti biasanya. Wanita itu benar-benar seperti mati rasa. Ia tidak lagi ingin melihat sang suami. Hadi menatap sang istri dengan pandangan penuh penyesalan dengan apa yang telah diperbuatnya di masa lalu.
"Kamu yang pergi atau aku yang pindah ruang?!" Maya kembali meninggikan suaranya.
Hadi terkejut dengan sikap sang istri. Tidak pernah sekali pun wanita itu meninggikan suaranya saat marah. Selalu berbicara dengan lembut. Ah ... Hadi pasti lupa jika telah melakukan kesalahan besar. Ketidakjujurannya yang membuat Maya marah.
"Baiklah,tapi berjanjilah jika besok kamu sudah sembuh," kata Hadi dengan suara parau, menahan tangisnya agar tidak pecah.
Tidak hanya Maya, ia pun sama sakitnya. Pikirannya kacau. Maya dan Arini, dua wanita itu yang ada dipikirannya saat ini. Tidak akan mudah jika hanya dengan kata maaf. Arini pasti tidak akan terima. Hadi ingat, saat wanita itu datang, sorot matanya penuh dengan rasa benci dan amarah.
Orang bisa berubah kapan pun ketika ada ketidakadilan yang menimpanya. Kedua wanita itu sama-sama sakit hati karena ulah satu laki-laki--Hadi. Suami Maya saat ini sangat kacau. Ia duduk di taman rumah sakit. Memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah ini. Akan tetapi, ia bingung harus memulai dari mana.
Hingga sore hari, Maya masih saja belum bisa memejamkan mata. Wanita dengan tinggi semampai itu masih memikirkan alasan untuk Reza besok saat dirinya berada di kampus. Sebenarnya, Arini sudah sangat bosan ketika harus menghadapi bocah ingusan yang memaksakan diri untuk menjadi dewasa.
Tidak ada yang salah jika memutuskan menjalin hubungan dengan laki-laki yang lebih muda. Reza contohnya, hanya saja, trauma masa lalu membuat Arini melajang hingga saat ini. Ayah dan ibunya sudah sering kali mengingatkannya agar menikah. Banyak laki-laki dari berbagai kalangan yang melamarnya.
Arini tetaplah Arini. Ia menolak semua lamaran yang datang. Tidak peduli mereka sakit hati atau berbesar hati saat menerima penolakannya. Akan tetapi, baru kali ini, ada laki-laki yang sangat 'ngotot' ingin menjalin hubungan dengannya.
Berita tentang Reza yang mengejarnya sudah bukan rahasia umum lagi di kampus tempatnya mengajar. Arini sebenarnya risih dengan pemberitaan itu. Terlebih, banyak sekali penggemar mahasiswa jurusan Matematika itu yang membencinya saat ini. Bukan salahnya jika sang idola yang mengejar sosok wanita cantik ini.
Arini pun akhirnya bosan jika hanya berbaring di ranjangnya. Ia memutuskan untuk bangun. Belum tahu kapan akan mengambil mobilnya itu. Ia hanya ingin mengisi perutnya yang kosong sejak tadi siang. Arini segera menuju ke dapur, melihat ada bahan makanan apa saja.
Sesampainya di dapur dan membuka kulkas ternyata hanya ada bebera butir telur saja. Jika memasak nasi pasti akan sangat lama. Kembali ke masa kuliah dulu, memasak mie instan dan telur. Salah satu usaha untuk menenangkan perut yang lapar. Arini pun melakukan hal itu, meskipun penyakit asam lambung yang dideritanya sudah masuk dalam katagori parah. Akan tetapi, wanita tinggi semampai itu nekat membuat mie instan.
Arini dengan cepat memasak mie instan itu. Aroma mie instan yang snagat menggoda membuat perutnya bertamabah keroncongan. Meminta jatah untuk diisi. Wanita cantik itu pun menggelung rambutnya. Ia segera berjalan menuju ruang tengah dan makan sambil menonton televisi.
Ia sengaja menonton acara televisi dengan tidak ada suara. Mode mute ia gunakan agar tidak ada suaranya. Hanya butuh melihat acaranya saja, tidak dengan mendengar suara dari aktor dan aktris itu. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh Arini ketika dirinya sedang banyak masalah.
Suap demi suap mie instan itu telah habis. Setelah perut kenyang, wanita itu malas beranjak dari sofa tempatnya duduk. Ia justru meluruskan kakinya dan kepalanya bersandar pada beberapa tumpukan bantal yang telah ia tata sebelumnya. Rasanya sangat nikmat, ketika peut kenyang dan bersantai ria.
Mata indah milik Arini ternyata terpejam. Wanita cantik itu tertidur. Tanpa mematikan televisi. Lelah pikiran yang membuatnya mudah terpejam beberapa saat. Beban yang ditanggung Arini tidaklah ringan. Kebohongan pada kedua orang tuanya pun belum berani ia katakan.
Ganesha, anak itu yang membuatnya terus bersemangat. Bangkit dari keterpurukan dan mencoba mencari rupiah. Bersyukur, otak cerdasnya membawanya menjadi seorang dosen. Sayangnya, hingga saat ini Ganesha belum tahu siapa ibunya. Arini belum memiliki keberanian untuk menemui anak itu secara langsung. Hanya sahabatnya yang sering mengunjungi anak itu. Ketukan pintu yang begitu kencang membuat Arini terkejut dan terbangun. Terpaksa ia membukakan pintu untuk orang itu. Ia tidak melihat dahulu siapa yang bertamu.
"Ka-kamu ... mau apa ke sini?" tanya Arini dengan terbata.
Bersambung