Part 5 --Maya Hamil

2345 Words
"Saya suaminya, Sus." Gegas Hadi mendekati perawat itu sambil menggendong sang putra yang tertidur dalam gendongannya. Perasaan Hadi saat ini sangat tidak menentu. Semua datang begitu saja tanpa ada persiapan sedikit pun. Kedatangan Arini benar-benar membuat hidup dan rumah tangganya sangat kacau. Marah? Pasti, Arini-lah penyebab semua ini terjadi. "Istri Anda tidak sakit. Ia hanya kelelelahan. Janin yang ada di kandungannya pun sehat."Dokter memberikan penjelasan pada Hadi. Setelahnya mereka berlalu dari hadapan Hadi. Hadi mencerna setiap kata yang keluar dari bibir perawat itu. Janin? Semua terlalu mengejutkan. Dua kejutan yang terjadi pada hari ini. Luar biasa sekali, sebuah kejutan ketika sang istri hamil. Sebuah berita yang sangat membahagiakan. Sejenak Hadi melupakan kemarahannya pada Arini. Maya prioritasnya saat ini. Tak lama sebuah brankar keluar membawa istrinya. Ada sang istri yang sedang tertidur dengan pulas. Wajahnya sangat pucat, lelah tampak terlihat di wajahnya. Hadi merasa sangat bersalah pada sang istri. Suami Maya itu berjanji akan menjelaskan semua duduk permasalahannya. Tidak ada lagi yang akan disembunyikan. Beberapa perawat mengantarkan Maya pada sebuah kamar kelas satu. Kebetulan kamar VIP penuh. Tak apa, terpenting Maya nyaman dan cepat sembuh. Rasanya rumah sangat sepi ketika wanita yang telah menemaninya selama hampir delapan tahun itu. "Terima kasih, Sus." Hadi mengucapkannya pada empat orang perawat yang mengantarkan sang istri di ruang inap ini. Hadi meletakkan Keenan di sebuah sofa milik klinik. Anak itu menggeliat pelan, kemudian terlelap. Hadi lupa membawa pakaian ganti dan perlengkapan lainnya. Ia berencana menghubungi kedua orang tuanya; mengambil ponsel dan mengirimkan pesan pada ibunya. Ia berharap esok pagi, mereka bisa mengantarkan keperluannya, juga Maya dan Keenan. Semalaman, Hadi tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Ia tidak mengantuk. Matanya terus menatap ke arah sang istri yang terbaring lemah dengan selang infus yang terpasang pada punggung tangannya. Wajah cantik yang kini tampak pucat itu telah menemani hari-harinya selama hampir delapan tahun lebih. Pengorbanan dan kesetiaannya tidak diragukan lagi.  Hadi jatuh cinta pada sosok Maya yang sederhana, tetapi memiliki otak yang sangat cemerlang. Wajahnya cantik alami meski tanpa polesan riasan yang berlebihan. Tak hanya itu, kesederhanaannya juga kebaikan hatinya membuat banyak laki-laki jatuh cinta padanya. Beruntung, Hadi-lah yang dicintai oleh Maya.  Sang mentari bersinar dengan indahnya. Maya masih belum juga sadar. Pun dengan Keenan yang masih pulas tertidur. Pasti sangat lelah dan mengantuk untuk anak seusianya. Entah kemarin sore hingga larut malam Maya mengajaknya kemana. Hadi tak ingin menyalahkan sang istri. Semua ini karena ulah satu orang tamu tak diundang--Arini. Suami Maya mengepalkan tangannya, marah pada Arini yang dengan sesuka hati datang setelah sekian tahun tidak bertemu.  "Selamat pagi, Pak. Maaf, kami ingin memeriksa kondisi pasien." Tiga orang berbaju putih masuk ke ruangan itu. Hadi meyakini jika laki-laki yang datang bersama dua orang perawat itu adalah dokter yang menangani Maya. Matanya memandangi name tag yang terpasang pada jas putih yang digunakannya. Tertera sebuah nama dr. Indra, Sp. Og. Dokter spesialis kandungan yang menangani sang istri. Otaknya mencerna dan mengingat apa yang diucapkan oleh dokter yang menangani sang istri semalam. Hatinya tiba-tiba saja sangat bahagia. Maya mengandung lagi. Jadi mereka akan punya anak lagi. Adik untuk Keenan. Sebuah kejutan yang luar biasa. Maya pasti sangat senang mendengar kabar ini. Istrinya itu menginginkan anak kedua untuk menemani Keenan yang lama menjadi anak tunggal. Hadi mengamati Dokter yang sedang memeriksa sang istri. Salah satu perawat itu mencatat hasil pemeriksaan dan yang satunya melihat botol infus yang masih tersisa dua per tiga botol. Selesai dengan memeriksa pasien, Dokter menyunggingkan senyum ramah pada Hadi. Suami Maya itu pun membalas tak kalah ramah.  "Pasien akan sadar sebentar lagi. Janin dalam kandungannya baik-baik saja. Mohon jangan membuatnya emosi karena tidak baik untuk kandungannya. Ini ada beberapa vitamin yang harus diminum oleh pasien. Saya permisi." Dokter dan dua perawat meninggalkan kamar rawat milik Maya. "Terima kasih dokter," jawab Hadi seraya mendekat ke arah sang istri. Hadi menatap beberapa vitamin yang diberikan oleh dokter. Ia ingin membelikan sarapan sang istri, tetapi takut Keenan terbangun dan mencarinya. Sementara sang istri masih belum sadarkan diri. Semalam Hadi terpaksa memohon kepada bagian informasi. Keenan sebenarnya tidak boleh ikut menunggu mamanya. Usianya masih kecil dan takut terkena virus mengingat di klinik ini banyak sekali pasien yang dirawat. Alasan Hadi akhirnya diizinkan dengan catatan, klinik tidak bertanggung jawab jika sang anak sakit. Mereka memang tidak memiliki asisten rumah tangga. Maya tidak lagi bekerja setelah hamil Keenan dulu. Ia memilih menjadi ibu rumah tangga agar waktunya bisa digunakan untuk melayani suami dan anaknya. Semua pekerjaan rumah, wanita cantik itu yang mengerjakannya. Kadang Hadi merasa kasihan dengan sang istri. Bukan Maya jika tidak menolak tawaran sang suami tentang menyewa seorang asisten rumah tangga. Pesan yang dikirimkan oleh Hadi pada ibunya semalam belum ada balasan hingga saat ini. Entah mereka membaca atau tidak. Akhir-akhir ini hubungan mereka tidak baik dan sering kali Hadi ribut dengan ayahnya. Ayahnya memang kurang setuju dengan pernikahannya dengan Maya dulu. Perlahan, dengan hadirnya Keenan mereka mulai melunak, tetapi sikapnya terhadap Maya masih sama. Dingin dan tidak peduli. Keenan menggeliat pelan. Mata itu perlahan terbuka. Melihat sekitar dan mencari sosok yang dicintainya--mama. Wajahnya kembali murung, saat melihat sang mama belum bangun. Ia takut, sangat takut jika mamanya tidak lagi bangun dan menemaninya bermain. "Eh ... anak papa sudah bangun." Hadi mendekati sang putra dan menggendongnya. Keenan pun mendekat dan bermanja dengan sang papa. "Pa, kapan mama bangun?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur. Hadi tersenyum menanggapi pertanyaan sang putra. Maya sangat dekat dengan Keenan. Sosok mama yang selalu berusaha memenuhi semua kebutuhan anaknya. Tidak hanya itu, ia juga menolak ketika Hadi menawarkan seorang baby sitter yang akan membantu merawat Keenan. Bagi Maya, itu adalah tugas seorang ibu. Merawat dan mendidik anak juga mengurus rumah tangga. "Mama harus istirahat. Ada adik bayi di dalam perut mama," kata Hadi sambil menggendong sang putra. Keenan mengerjab dan tersenyum bahagia. Merasa apa yang diinginkannya akan terwujud. Selama ini, anak laki-laki ini menginginkan seorang adik. Sebab, teman-teman di kompleks mereka tinggal sudah memiliki adik. Keenan iri kepada mereka. "Benalkah, Pa? Ken akan punya adik. Holee!" Keenan berteriak dengan kencang. Suara Keenan ternyata membangunkan Maya dari tidur lelapnya. Mata itu mengerjab dan melihat sekitar. Hidungnya mencium aroma obat-obatan. Ia masih merasakan sakit pada kepalanya. Hadi kemudian melihat ke arah Maya dan tersenyum ke arahnya. Sayang, sang istri tidak membalas senyumnya seperti biasanya. Maya memalingkan wajahnya ke arah samping. Malas melihat wajah suaminya. Akan tetapi, suara Keenan membuatnya menoleh ke arah anak kecil yang sedang berada dalam gendongan papanya. Maya tidak tega mengabaikan anak laki-lakinya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hadi berusaha mengajak berbicara sang istri. Sayangnya tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Hadi menghela napas panjang. Ia paham jika kesalahannya sangat fatal dan mungkin Maya akan sulit memaafkannya. Keenan duduk di brankar tempat Maya terbaring. Anak laki-laki itu sangat merindukan ibunya. Baru semalam mereka tidak tidur bersama. "Kamu pulanglah, Mas. Istirahat di rumah," kata Maya tanpa menatap ke arah sang suami. "Tak apa aku di sini. Sambil menunggu Ibu datang membawakan keperluan untuk kita," kata Hadi sambil berusaha menggengam tangan sang istri yang tidak terbebat jarum infus. Maya menepis tangan sang suami. Hatinya masih sangat kecewa dengan ketidakjujuran Hadi. Jika dulu ia mengatakan telah menodai Arini--mantan tunangannya, mungkin ia akan berbesar hati menerimanya. Akan tetapi, ternyata Hadi tak ubahnya laki-laki pecundang yang tidak bertanggung jawab. Seorang petugas mengantarkan sarapan pagi untuk pasien. Hadi mengucapkan terima kasih saat petugas itu selesai melaksanakan kewajibannya. Suami Maya hendak menyuapi sang istri. Sayangnya, Maya menolaknya. Mama Keenan itu masih sangat enggan untuk berdekatan dengan suaminya. "Makanlah walau sedikit. Jika bukan untukmu, makan untuk calon anak kita." Hadi membujuk sang istri agar mau makan bubur yang baru saja di antarkan oleh petugas. Hadi cukup sadar diri saat ini. Emosi sang istri belum stabil. Terlebih dengan kondisi awal kehamilan. Bisa kapan saja mood-nya berubah.  Maya yang sudah tahu jika dirinya sedang mengandung akhirnya menerima suapan dari tangan sang suami. Saat ini, kondisinya belum memungkinkan untuk bangun. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Rupanya Allah masih melindunginya juga calon bayi yang ada di kandungannya. Kemarin sebelum pingsan, istri Hadi itu ingat, sempat duduk di trotoar. Setelahnya tidak ingat apa pun. Maya kalut karena Arini--mantan tunangan Hadi bertamu ke rumahnya. Kemarin sebenarnya ia hendak memberikan kejutan pada sang suami jika dirinya tengah mengandung calon anak kedua mereka. Justru sebaliknya, Maya mendapatkan kejutan dari tamu yang tak diundang. Hanya beberapa suapan bubur saja yang mampu diterima oleh mulutnya. Mual dan sakit kepala yang tak tertahankan membuat Maya ingin memuntahkan isi perutnya. Sebisa mungkin ia menahan gejolak mual dan rasa ingin muntah itu. Wajahnya memucat karena menahan semuanya. "Minumlah vitamin ini agar calon anak kita sehat. Kamu juga lekas pulih," kata Hadi sambil menyodorkan beberapa tablet dan kapsul yang diberikan oleh dokter yang tadi memeriksa Maya. Maya berusaha untuk duduk. Agar bisa meminum semua vitamin dan obat-obatan itu. Rasanya sulit sekali menelan semua pil itu dengan air. Biasanya ia menggunakan pisang saat meminum obat. Hari ini belum ada yang ia inginkan itu. "Pa, Ken lapar," rengek anak laki-laki yang sebentar lagi memiliki seorang adik. Keenan terbiasa sarapan pagi dengan mamanya. Maya sangat telaten mengurus Keenan dari pagi hingga anak laki-laki itu memejamkan mata. Bagi istri Hadi, mengurus anak itu sangat menyenangkan. Banyak sekali kejutan dari perkembangan Keenan setiap harinya.  "Sebentar, ya, Papa belikan makanan. Ken mau sarapan apa? Bubur atau nasi?" Hadi menawarkan dua pilihan untuk sang anak. Hadi memang jarang mengurusi kebetuhan sang putra. Akan tetapi, tetap tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Terlebih Maya sedang sakit dan belum bisa mengurus buah cinta mereka. Hadi-lah yang menggantikan tugas sang istri.  "Ken, pengen makan nasi uduk saja. Lengkap dengan ayam goleng juga kelupuk." Hadi tersenyum mendengar ucapan sang putra. "Baiklah. Keen, Sayang. Keen di sini saja, ya, jaga Mama." Hadi mengatakannya sambil mengelus kepala sang putra dengan rasa sayang.  Gegas Hadi keluar dari ruang tawat inap milik sang istri untuk membelikan sarapan untuknya juga sang putra. Maya yang mendengar kata nasi uduk tiba-tiba sangat menginginkannya. Air liurnya bahkan sampai hendak menetes membayangkan lezatnya nasi uduk. Rasa nasi uduk dan aromanya mendadak menguar pada indera penciumannya.  "Mama cepat sembuh, ya. Ken lindu Mama." Anak kecil itu memeluk tubuh sang mama. Maya hanya mengelus kepala sang anak dengan penuh kasih. Ia pun merindukan sang putra. Tiba-tiba saja petugas kebersihan datang. Maya memberanikan diri untuk meminta tolong agar mengirimkan pesan kepada kedua orang tuanya. Ken tidak boleh terlalu lama berada di klinik ini. "Maaf, Mas, boleh saya minta tolong? Mohon kirimkan pesan pada kedua orang tua saya. Saya ingin mereka membantu saya menjaga anak saya," pinta Maya dengan tulus pada seorang petugas kebersihan yang sedang membersihkan kamar tempatnya dirawat saat ini. Petugas itu mengangguk dan menyerahkan ponselnya. Maya dengan sedikit menahan rasa sakit mencoba mengetikkan pesan untuk ayah dan ibunya. Meminta bantuan untuk menjaga anaknya sementara dirinya sedang dirawat. Pesan sudah terkirim dan maya menuliskan alamat di mana ia dirawat saat ini. Istri Hadi itu juga meminta agar ibunya tidak membalas pesan itu, kerena bukan nomor milik Maya. "Terima kasih, Mas." Maya mengembalikan ponsel milik petugas kebersihan itu. "Sama-sama, Bu. Senang bisa membantu. Semoga lekas sembuh. Saya permisi." Petugas kebersihan itu keluar dari ruangan ini setelah selesai melaksanakan tugasnya. Bersamaan dengan itu, Hadi kembali dengan membawa dua kantung plastik besar berisi aneka makanan dan camilan. Ada buah-buahan jugan, apel, pir, dan pisang. Hadi membuka bungkusan nasi uduk untuk putranya. Aromanya menguar dan membuat Maya menginginkan nasi uduk itu. Segala cara ditahannya. Ia gengsi jika harus meminta pada Hadi. Laki-laki itu tampak sabar dan telaten saat menyuapi sang putra yang duduk di brankar tempat Maya terbaring. Maya sebisa mungkin memalingkan wajahnya. Hadi seringkali berusaha mencuri-curi pandang ke arah sang istri. ♡♡♡♡♡ Sementara itu, Arini bangun kesiangan. Ia terlambat jadwal penerbangan yang seharusnya pukul 05.00 WIB. Dirinya mengeram kesal karena hal ini. Bukan karena harus membeli tiket lagi, tetapi karena waktunya yang terbuang. Dengan cepat, wanita cantik itu mandi dan gegas menuju ke bandara. Ia ingin tahu jam berapa lagi ada jadwal penerbangan menuju Yogyakarta. Jalanan yang dilaluinya dengan menggunakan taksi ternyata macet. Entah ada demonstrasi apa yang membuat macet hingga padat merayap. Berulang kali ia mengembuskan napas kasar. Kedua ponselnya pun kehabisan daya. Seharusnya tadi malam otaknya cerdas dan berpikir untuk meminjam alat charger. Sayangnya, emosi yang membuat otak cerdasnya tumpul seketika. Wanita cantik itu terlalu sibuk dengan rencana balas dendamnya pada mantan tunangannya. Arini segera check out dari penginapan itu setelah membayar tagihan menginapnya. "Pak, kalo bisa agak cepat, ya. Sepertinya saya akan terlambat jadwal penerbangan lagi," kata Arini sambil mendekus sebal. "Baik, Bu. Kalo boleh tahu, tujuan Ibu hendak kemana?" tanya sopir taksi itu dengan sopan. Ia tahu jika penumpangnya sedang terburu-buru. "Saya mau ke Yogyakarta," jawab Arini singkat. Ia termasuk orang yang tidak terlalu menanggapi orang yang baru saja dikenalnya. "Setahu saya, ada jadwal penerbangan ke Yogyakarta pukul 05.00, 10. 00, dan 13.00 selebihnya tidak ada. Biasanya penumpang saya yang hendak ke Yogyakarta memilih pukul 13.00 WIB." Supir taksi itu memberikan informasi pada Arini. "Terima kasih, Pak. Semoga saja yang pukul 10. 00 WIB masih ada tiketnya," jawab Arini dengan mata berbinar. Jam di tangannya menunjukkan pukul 08.30 WIB. Masih banyak waktu hingga pukul 10.00 WIB nanti. Semoga saja bisa mendapatkan tiket itu. Berulang kali Arini merapalkan doa. Perjalanan dari penginapannya semalam hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Saat ini sudah satu jam dan masih setengah perjalanan. Tepat pukul 09.40 WIB taksi yang ditumpagi oleh Arini sampai di bandara. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Arini pun bergegas menuju ke bagian pembelian tiket. Beruntung masih ada di saat waktu yang sudah limit. Setelah melakukan transaksi, Arini segera menuju ke tempat pemberangkatan. Ia gegas menuju ke arah pesawat yang akan membawanya ke Yogyakarta. Wanita cantik ini berusaha menenangkan pikirannya. Biar bagaimana pun butuh cara agar bisa membalas perbuatan sang mantan tunangan. Tidak mudah, keluarga Hadi bukanlah keluarga sembarangan. Mereka salah satu keluarga terpandang. Bisa saja Hadi melaporkan dirinya ke pihak berawajib. Laki-laki licik itu selalu punya akal yang tidak terduga. Penerbangan terasa lama kali ini. Mata Arini enggan terpejam kali ini. Beban pikirannya yang membuatnya seperti ini. Belum lagi ia harus mencari cara bagaimana mengembalikan ponsel milik Reza. Mahasiswa itu pasti akan bertanya tentang menghilangnya ia selama dua hari ini. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD