Part 17--Usaha Move On

2253 Words
Henri gugup saat mendengar pertanyaan dari sang mama yang terlalu mengejutkan. Seolah siang tadi hanya kepura-puraannya saja saat di rumah Arini. Henri tidak tahu harus menjawab apa, takut jika salah bicara. Wanita yang telah melahirkannya itu pasti sudah mencari tahu tentang sosok Arini Setyaningtyas. "Aku ga tahu, Ma. Yang pasti aku akan menerimanya meskipun sulit." Henri mendesah panjang. Bu Tini hanya menghela napas panjang. Henri memang sudah dewasa dan cukup matang untuk berumah tangga. Hanya saja jangan sampai perempuan yang menjadi istrinya itu hanya memanfaatkan saja kekayaan yang dimilikinya. Beliau hanya ingin yang terbaik untuk putra tunggalnya itu. Laki-laki kaya raya itu memang pernah mendengar jika Arini pernah memiliki seorang anak di luar nikah. Tak masalah baginya. Akan tetapi, kejadian semalam membuatnya bimbang. Ada darah seolah perawan. Pun dengan dirinya yang setelahnya seperti tidak sadarkan diri karena lelah dengan aktivitas ranjang. Ada banyak pertanyaan dalam benak Henri yang entah siapa dan bagaimana cara menjawabnya. Sosok play boy itu telah jatuh cinta. Semenjak mengenal Arini, semua wanita yang dekat dengannya langsung dicampakkan begitu saja. Cinta memang kadang membuat orang tidak bisa berpikir dengan jernih. Itu yang dialami Henri saat ini. "Hmm ... baiklah. Bicarakan dengan Arini secara perlahan. Tidak mudah baginya untuk menerima kejadian buruk di masa lalunya. Jika tidak bisa bersama, putuskanlah dengan jalan baik. Kita sudah bertemu dengan keluarganya." Bu Tini berusaha memberikan pengertian pada sosok sang putra semata wayangnya. Bu Tini meninggalkan Henri seorang diri. Tidak ingin membahas terlalu jauh perihal calon menantunya itu. Sang putra semata wayang audah dewasa. Biarlah masalah itu diselesaikannya sendiri dengan Arini. Henri menyadari, Mama dan Papanya tidak akan dengan mudah menerima calon menantunya. Butuh seleksi ketat. Bu Tini dan Pak Agung sengaja mempercepat hari pernikahan Henri dan Arini hanya untuk menguji keseriusan sang putra. Mereka akan memberikan restu jika memang Henri serius ingin menikahi Arini. "Ya, Ma," jawab Henri sambil duduk. Henri menatap sang mama. Syarat akan penjelasan tentang nasihat yang baru saja dikatakannya. Tidak mungkin jika tidak ada apa-apa sang mama mengatakan hal itu. Bu Tini paham dengan pandangan mata sang putra. "Hen ... sejauh yang Mama tahu, Arini pernah memiliki seorang anak dari mantan tunangannya. Anak itu ada di salah satu panti asuhan yang ada di Kota Semarang. Mantan tunangan Arini pergi meninggalkannya begitu saja dan memilih untuk menikah dengan kekasihnya. Mama bisa paham bagaimana rasanya jika menjadi Arini saat itu. Mungkin, kedua orang tuanya pun tidak tahu." Bu Tini berhenti sejenak dan menoleh, lalu mencoba menjelaskan dengan sabar apa yang diketahuinya. Bukan tanpa sebab, beliau tidak ingin ada masalah dalam rumah tangga putra kesayangannya itu. Bagi Arini mungkin memang sulit jika harus menceritakan masa lalunya yang menyakitkan. Bu Tini masih bisa menghargai sosok calon menantunya itu dengan tidak menggugurkan darah dagingnya. "Henri memang pernah dengar hal itu. Tapi, Arini tidak pernah bercerita tentang hal itu. Justru Henri tahu dari Mama." Henri mengatakannya dengan jujur. Memang selama mengenal Arini, tak pernah sekali pun Henri bertanya perihal masa lalu sosok wanita tinggi semampai yang membuatnya jatuh hati. Masalahnya, ia menunggu hingga Arini sendiri yang mengatakannya. Henri pun tidak curiga dengan kesediaan Arini menjadi istrinya. Sementara itu, di kampus Reza tampak sangat fokus dengan pengajuan proposal untuk tugas akhirnya. Ia tidak mau lagi memikirkan hal-hal yang tidak penting sama sekali. Cukup sudah mengejar Arini. Sosok yang dipujanya selama ini bukanlah sosok yang baik dan bisa menjaga dirinya dengan baik. Apa yang ia lihat tidak bisa lagi dipungkiri. Wanita itu menginap di sebuah apartemen bersama seorang laki-laki. Jika memang wanita baik-baik, pasti akan menjaga hingga halal. Akan tetapi, tidak dengan sosok yang pernah mencuri hatinya. "Za ...." Marisa yang entah sejak kapan datang mengejutkan lamunannya. Terpaksa harus merespons sebentar. "Ya?" "Kamu mikirin apa? Kok sepertinya sangat serius. Apa pengajuan proposalmu di tolak?" "Bukan, Mar. Hanya ingin secepatnya menyelesaikan kuliah. Rasanya tidak nyaman jika terus menerus berada di kampus ini. Bekerja dan mengabdi pada negara sepertinya sangat menyenangkan." Setelah mengatakan hal itu, Reza pergi meninggalkan Marisa. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan gadis itu. Tak hanya Marisa, pun dengan gadis lain. Reza serasa menutup hati untuk lawan jenisnya. Sakit hatinya belum benar-benar sembuh. Sulit, bahkan jika mengingat sosok itu tak jarang dadanya berdenyut nyeri. Reza memilih untuk ke perpustakaan kampus. Membaca beberapa buku pendukung untuk menuliskan proposalnya. Dalam dua minggu terakhir, bab satu yang ia kerjakan tidak ada masalah. Hari ini bimbingan bab dua. Jika lancar semuanya, dalam waktu dua bulan sudah selesai dan bisa ujian proposal. Harus lebih fokus saat mengerjakannya. Nasihat dari kakak perempuannya akan selalu diingatnya. Lebih mengutamakan kuliah, karena tujuan akhir dari seorang mahasiswa adalah tugas akhir yang mengantarkannya menjadi seorang sarjana. Setelahnya, mengabdikan ilmunya demi kecerdasan generasi penerus bangsa. Kasak-kusuk pun beredar. Sang idola tengah patah hati. Arini lebih memilih sosok seorang pengusaha. Jauh, sangat jauh jika dibandingkan dengan sosok Reza yang notabene seorang mahasiswa tingkat akhir. Reza memilih mengabaikan setiap kasak kusuk yang sedang beredar di kampus. Sejak kejadian itu, Reza memilih menghapus semua kontak Arini. Tujuannya agar tidak ada lagi keinginan untuk menghubunginya. Baik berkirim pesan maupun meneleponnya. Hal ini dilakukan Reza untuk menyembuhkan hatinya yang terluka. Waktu bimbingan proposal tepat pukul dua siang. Profesor Ariyanto, sosok yang diinginkan Reza untuk menjadi pembimbingnya kelak. Beliau dosen yang sangat baik. Menjelaskan sesuatu dengan cara yang sederhana. Membuat mahasiswa tidak takut untuk berbicara atau berdiskusi dengan beliau. Topik yang Reza angkat sebagai judul tugas akhir adalah tentang metode pembelajaran yang tepat untuk siswa SMA. Banyak anak-anak baik dari SD hingga SMA sangat membenci pelajaran Matematika. Padahal, jika dipelajari dengan benar, Matematika itu mudah. Bukan menjadi mati-matian. Metode yang dipilih Reza adalah drill dan latihan soal. Artinya, soal yang nanti dibuat untuk uji coba berdasarkan kemampuan berpikir setiap soal. Kelemahan dari metode ini harus membuat banyak jenis soal. Mulai dari mudah, sedang, dan sulit. Belum lagi mengoreksi lembar kerja milik siswa nanti. Profesor Ariyanto seolah mempermudah apa yang dikerjakan oleh Reza. Bukan karena ada nepotisme, tetapi memang karena kecerdasan sosok mahasiswa yang menjadi idola di kampus itu. Ide yang dituangkan oleh Reza dalam proposal itu sangat bagus. Menarik bagi Profesor Ariyanto. Tak lantas menjadikan sombong, Reza tetap masih belajar dan rendah hati. Setiap harinya, laki-laki idola di kampus ini menggunakan waktunya untuk belajar di perpustakaan. Membaca beberapa buku penunjang untuk menulis proposal tugas akhirnya. Selain itu, jika waktunya tidak memungkinkan, ia akan meminjam buku itu dan dibawanya pulang ke tempat indekosnya. Berita mengenai pernikahan Arini pun mengusik konsentrasi pikirannya. Kasak-kusuk yang beredar di kampusnya sangatlah cepat. Pun dengan namanya yang dikait-kaitkan dengan berita itu. Reza tidak menanggapinya, tetapi cukup membuat hatinya berdenyut nyeri. Nama wanita yang pernah mengisi hatinya kembali terdengar oleh telinganya. Kali ini bukan berita yang menggembirakan seperti dulu. Jika dulu selalu mendengar berita prestasi wanita tinggi semampai itu, kini adalah berita pernikahan dari sosok yang pernah mencuri hatinya. Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk melupakan seseorang. Butuh perjuangan dan tekad yang kuat. Kenyataannya segala kesibukan yang dilakukan Reza baik membantu mengurus travel milik papanya dan mengerjakan proposal kuliah tidak banyak membantunya. Mata elang laki-laki idola mahasiswi di kampus ini masih sering melihat sosok wanita tinggi semampai itu. Siang ini, Reza harus bimbingan dengan Profesor Ariyanto. Beliau seorang ahli di bidang metode pembelajaran. Jadwal bimbingan bab dua. Bab 1 telah selesai satu hari yang lalu tanpa revisi seperti teman-temannya. Hanya sedikit yang mau bimbingan pada sosok Profesor Ariyanto. Mereka salah, sebenarnya beliau sosok yang sangat baik. Kebanyakan dari mahasiswa dan mahasiswi takut jika bimbingan pada beliau akan mendapatkan kesulitan. Justru sebaliknya, beliau memberikan keringanan dan sangat menyenangkan ketika berdiskusi. Terlebih ketika membahas metode pembelajaran yang tepat untuk pelajaran Matematika. Hanya ada enam mahasiswa yang berani meminta bimbingan pada beliau. "Kak Reza ... bimbingan, ya?" tanya salah satu adik angkatan Reza. Reza menoleh dan tersenyum ramah. Ia mengangguk. Seingatnya gadis itu bernama Sarah. Salah satu penggemarnya di kampus ini. Sarah masih semester empat. Salah satu mahasiswi yang cerdas. Bertahan dengan IPK 3.92 setiap semesternya. Bukan nilai yang mudah diraihnya. "Keren Kak Reza bimbingan sama Prof. Ari. Aku malah takut kalo pas ikut mata kuliah beliau semester lalu. Tapi ternyata justru saat menjelaskan itu enak di pahaminya pun mudah," kata Sarah sambil melancarkan aksi pedekate-nya pada sosok Reza. Reza tidak menanggapi sosok gadis yang ada di dekatnya. Justru ia risih karena harus duduk berdua dengan Sarah kali ini. Teman-temannya belum datang atau bahkan tidak ada jadwal bimbingan proposal. Sebab, sudah hampir satu jam tidak tampak batang hidung mereka. "Cie ... yang pedekate sama Reza. Udah nangkring aja di depan ruang Prof. Ari," goda beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang kebetulan lewat di depan ruangan itu. Reza menghela napas panjang dan membuangnya secara kasar. Bukan tidak suka, tetapi risih ketika ada perempuan yang agresif dan mengejar laki-laki. Kodratnya laki-lakilah yang mengejar perempuan. Belum ada sejarahnya perempuan yang mengejar laki-laki. Entah karena perubahan zaman atau dirinya yang terlalu kekunoan. "Za! Dicariin di tempat indekos ternyata ada di sini!" Suara ketus Marisa membuat kepala Reza berdenyut sakit. "Iya, aku ada jadwal bimbingan hari ini," kata Reza tidak nyaman. Sarah terdiam saat ada Marisa. Jangan ditanya kenapa, Marisa tidak akan segan mengatakan hal yang menyakitkan hati. Bukan rahasia umum lagi, jika sosok gadis yang berdiri di depan Reza itu pun salah satu yang tergila-gila pada pesona Reza. Bahkan dengan terang-terangan menyatakan perasaannya meskipun berulang kali ditolak. "Oh ... kamu belum dengar? Pak Ari ada keluar kota selama seminggu ke depan." Marisa menunjuk ke arah papan pengumuman. Reza hanya melongo. Tidak sejak tadi membaca pengumuman terbaru. Justru asyik duduk dan melamun tidak jelas. Lamunan yang tidak berguna dan membuang waktu. Beruntung ada Marisa yang memberitahukan perihal ini. "Makasih, ya. Kalo gitu aku permisi. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Reza berpamitan kepada dua orang gadis yang ada di depannya. Jujur, Reza memang tidak nyaman ketika banyak gadis di kampus yang mengejarnya. Harus selalu menjawab sapaan mereka agar tidak dikira sombong dan lain sebagainya. Sekarang, ada untungnya patah hati. Laki-laki yang menjadi idola itu bisa bersikap dingin kepada setiap gadis. Tampak jelas dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Reza saat ini. Kali ini pun sebaiknya segera pergi ke tempat travel. Setidaknya bisa tenang di dalam ruangannya atau membantu pekerjaan karyawan sang papa. Bisa juga mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Toh, ada komputer di tempat itu. Reza melangkah menuju parkiran kendaraan beroda dua. Tidak lagi melewati gedung kantor Arini. Jurusan PKn yang dulu selalu dilewati tanpa berpikir terlebih dahulu. Benar, jika lewat kantor Arini menuju parkiran lebih dekat. Sayangnya, Reza saat ini lebih baik melewati kantor rektorat. "Za, mau kemana?" suara seseorang yang tidak ingin ditemuinya saat ini. Reza hanya berhenti sesaat dan tidak mau menoleh ke belakang. Wajah wanita tinggi semampai itu bisa mengacaukan niatnya untuk melupakan sosok itu. Reza melanjutkan perjalanannya menuju ke parkiran. "Hmm ... kenapa tidak peduli lagi denganku?" Arini mengejar Reza dan menggandeng tangan mahasiswa itu. Reza melepaskan gandengan tangan milik mantan wanita yang pernah mencuri hatinya itu. Ada rasa sesak yang menjalari hatinya. Sakit dan tidak bisa untuk berdekatan lebih lama dengan sosok Arini. Tampaknya Arini mempunyai niat yang tidak baik pada Reza. "Saya harus kerja." Reza menjawab dengan dingin semua perkataan Arini. "Baguslah. Tapi berapa lama pun kamu kerja tidak akan bisa mengejar kekayaan seperti Henri calon suamiku." Arini sengaja membuat Reza agar jatuh terpuruk. Tidak disangka, Arini berjinjit dan mengecup bibir Reza. Kecupan yang membuat sang pemilik bibir terkejut sekaligus membangkitkan hasrat kelelakiannya. Arini yang menyadari hal itu langsung melepaskan pagutan bibirnya.Seolah tidak terjadi apa pun. Kebetulan lorong ini dalam keadaan sepi. Itu sebabnya wanita tinggi semampai itu berani melakukan tindakan itu. Arini meninggalkan Reza yang masih terkejut dengan apa yang baru saja dialaminya. Wanita itu menerima panggilan telepon sambil berjalan menjauhi Reza. Kaki Reza lemas karena baru saja menerima ciuman dari wanita yang membuatnya jungkir balik karena mencintainya. Arini sudah tidak ada di lorong yang sama dengan Reza. Kejadian yang baru saja dialaminya membuatnya benar-benar syok. Dia wanita yang akan menikah dalam waktu dekat. Akan tetapi, mencium laki-laki yang bukan calon pasangannya. Tujuannya apa? Reza yang telah tersadar akhirnya bergegas menuju ke tempat parkiran. Bayangan Arini mencium bibirnya masih saja terekam jelas di otaknya. Dulu pun ia pernah mencuri ciuman dari bibir milik wanita itu. Sayangnya berakhir dengan tamparan keras yang diberikan oleh wanita itu. Reza tidak fokus mengendarai motornya dan memilih berhenti sejenak. Ia berhenti di sebuah warung kopi. Memesan segelas kopi hitam tanpa gula. Ia sangat menyukai kopi hitam tanpa gula. Pahitnya akan membuatnya tenang sesaat. Menikmati secangkir kopi sambil memerhatikan lalu lalang muda dan mudi. Mungkin mereka baru saja selesai kuliah atau bekerja. Tak terasa kopi miliknya pun tandas hanya menyisakan ampas. Reza pun segera membayar dan meninggalkan warung kopi itu. Kali ini tidak jadi ke tempat usaha travel milik sang papa. Ia memilih pulang ke tempat indekos dan tidur. Semoga saja bayangan tentang Arini segera hilang setelah bangun tidur nanti. Ada waktu satu minggu untuk mengistirahatkan otaknya dengan tidak datang ke kampus. [Pasti sedang memegang bibir. Ciumanku enak kan?] Satu pesan masuk ke ponsel Reza saat baru saja sampai di tempat indekosnya. Dengan cepat laki-laki idola kaum hawa itu membacanya. Tanpa nama hanya nomor saja, tetapi Reza paham siapa yang mengirimkannya. Reza segera menuju ke kamarnya dan menuju kamar mandi. Ia membasuh bibirnya berulangkali dengan menggunakan air. Tujuannya agar tidak lagi merasakan bibir wanita itu. Reza lupa tidak memblokir nomor milik Arini. Ia hanya menghapus pesan dan nomor kontak wanita tinggi semampai itu. Reza, dengan cepat memblokir jomor itu. Ia bahkan masih hafal di luar kepala setiap digit nomor milik Arini. Semoga saja apa yang dilakukannya itu berhasil membuatnya benar-benar melupakan sosok Arini. Sudah saatnya untuk fokus pada masa depan. Bukan lagi memikirkan sosok wanita yang tidak jelas itu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD