Beberapa waktu ini, Arini tidak bertemu dengan Henri. Sudah hampir satu minggu sejak lamaran di rumah kedua orang tuanya mereka tidak bertemu lagi. Henri sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Pun dengan Arini yang harus menerima bimbingan semua mahasiswa dan mahasiswinya. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan dan telepon. Layaknya pasangan yang berbeda kota. Sejatinya mereka berada di kota yang sama. Kesibukan yang membuatnya terpisah.
Henri mengajak bertemu Arini kali ini laki-laki kaya raya itu hendak memundurkan jadwal pernikahannya. Banyak pekerjaan yang harus ditanganinya. Alasan lain, Henri ingin Arini jujur perihal masa lalunya meskipun dirinya dan keluarganya sudah tahu terlebih dahulu.
"Sayang, udah lama nunggu?" tanya Arini saat melihat sang calon suami berada di depan kantornya.
Henri sengaja datang ke kampus Arini. Setelah sebelumnya membuat janji untuk bertemu. Bak remaja yang kasmaran, Arini sangat bahagia sore ini. Akan tetapi, Henri tampak biasa saja. Seolah tidak ada rindu dalam hati untuk sang kekasih yang sudah dilamarnya itu.
Mereka janjian untuk menghabiskan waktu bersama sore ini. Besok pagi rencananya Henri akan pergi ke Singapura selama dua minggu. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Arini bahagia, ia bertemu dengan sosok yang akan membantunya membalas dendam pada Hadi.
"Ya," hanya itu yang keluar dari mulut Henri. Ia bersikap dingin pada calon istrinya.
Rasanya ingin marah saat orang-orang kepercayaannya menceritakan tentang aksi Arini yang mencium salah satu mahasiswanya kala itu. Cemburu. Mungkin itu yang dirasakan oleh laki-laki dengan badan kekar itu. Henri hilang akal ketika jatuh cinta pada sosok yang sedang tersenyum manja ke arahnya.
"Yang, ga kebayang gimana kalo kita nikah entar. Yang pasti, aku bahagia banget." Arini masih saja berceloteh manja, tanpa menyadari kesalahan yang dibuatnya.
Henri segera bangkit dari duduk dan berjalan tanpa menggandeng tangan Arini seperti biasanya. Sosok wanita tinggi semampai itu tertegun, menyadari sikap dingin sang calon suami. Perlahan, ia mensejajari langkah Henri. Laki-laki di sampingnya tampak menatap lurus jalan yang ada di depannya.
Hati Arini tercubit, tidak biasanya sikap Henri seperti ini. Jika ada masalah pasti akan dikomunikasikan, dibicarakan layaknya orang dewasa pada umumnya. Kali ini, sosok laki-laki yang akan memuluskan tujuan balas dendamnya mendadak diam. Rasa takut mulai menggelanyuti benak wanita tinggi semampai itu.
Arini memilih untuk diam hingga mereka sampai di parkiran kendaraan beroda empat. Tidak jauh, Henri kebetulan memarkiran mobilnya dekat dengan kantor Arini. Satpam kampus mengizinkan untuk membawa masuk mobilnya jika hanya sebentar dan dengan keperluan menemui salah satu dosen yang mengajar di kampus ini. Henri membuka pintu mobilnya dan langsung masuk ke dalam. Ia duduk di kursi kemudi tanpa membukakan pintu untuk Arini.
"Masuk!" Arini terjengit kaget saat mendengar suara tinggi dari dalam mobil.
Wanita tinggi semampai itu memasuki mobil milik calon suaminya dengan perasaan tak menentu. Henri tak sedikit pun menatap ke arah Arini. Ingin membuka obrolan dengan calon suami, tetapi segera ia urungkan. Mendadak hilang kata-kata yang biasanya meluncur dengan indah. Setiap obrolan yang keluar dari mulutnya akan ditanggapi hangat oleh sosok yang sedang menyalakan mesin mobil.
Henri mengemudikan mobilnya membelah jalanan Kota Yogyakarta sore hari. Berulang kali laki-laki kaya raya itu memukulkan tangannya pada setir kemudi. Arini sering kali terjengit kaget dengan apa yang dilakukan oleh Henri. Laki-laki di sampingnya tampak sedang menahan emosi.
"Ada apa?" tanya Arini selembut mungkin.
Arini merasa was-was dengan sikap yang ditunjukkan oleh Henri. Laki-laki itu mendadak menunjukkan taringnya. Emosinya tidak stabil saat ini. Rasanya ingin pergi menjauh darinya. Sayangnya terlambat. Mereka sudah berada di dalam mobil yang sama.
"Nanti kita bicarakan." Dingin. Jawaban yang keluar dari mulut Henri membuat wajah Arini pias.
Takut jika tujuannya menerima lamaran dari Henri terbongkar. Hanya itu yang ada di kepala Arini saat ini. Wanita tinggi semampai itu meramas ujung baju batik yang ia gunakan saat ini. Gugup bercampur takut dengan apa yang akan dibicarakan oleh sosok yang ada di sampingnya. Wajar, ketika menyembunyikan sesuatu yang tidak mendadak merasa was-was.
Mobil yang dikemudikan Henri berhenti di sebuah kafe. Kafe dengan gaya konvensional pedesaan. Arini keluar dari mobil dan mengikuti langkah Henri. Sepertinya Henri sering datang ke tempat ini. Banyak pelayan yang memandang ke arah mereka berdua. Saat ini lebih tepatnya, tuan muda sedang bersama dengan pembantunya.
Henri terus berjalan menuju tempat yang mungkin sudah dipesannya. Ternyata, kursi nomor tiga puluh tiga yang diinginkan laki-laki bertubuh kekar itu. Arini hanya bisa mengekor dibelakangnya. Jalannya terhenti ketika mendadak Henri berhenti dan menghadap ke arah sosok wanit tinggi semampi.
"Duduklah!" titahnya tanpa bisa dibantah lagi.
Arini menuruti perintah calon suaminya. Henri duduk tepat di sebelah kiri wanita tinggi semampai itu. Emosinya siap meledak kapan pun. Ia menoleh dan menatap tajam ke arah Arini yang sedang menunduk. Seperti terdakwa sebuah kasus di pengadilan.
"Sepertinya enak ya mencicipi bibir mahasiswamu itu!" Henri membentak Arini tanpa basa-basi membuat wanita tinggi semampai itu tekejut."Katakan ada apa sebenarnya di antara kalian berdua?!" lanjutnya penuh emosi.
"A-aku bisa jelaskan. Tidak seperti yang kamu pikirkan. A-aku hanya ingin membuatnya mundur agar tidak mengejarku lagi. Dia mahasiswa yang pantang menyerah. Aku pun memberitahukan banyak hal, jika kita hendak menikah bulan depan." Arini mengatakannya dengan gugup dan ketakutan. Kemarahan calon suaminya sangat menakutkan.
Arini tidak bisa tenang kali ini. Sosok yang biasanya sangat memujanya kini sedang marah. Arini sungguh tidak bisa melakukan apa pun. Ia takut jika Henri membatalkan rencana pernikahan mereka.
Jika batal, akan sulit untuk membalas perbuatan Hadi. Arini tidak ingin hal itu terjadi. Seperti apa pun sulitnya, akan ia lakukan demi ambisinya. Tidak peduli, jika akhirnya pernikahannya nanti akan kandas di tengah jalan.
Henri menghela napas kasar. Tidak begitu saja percaya dengan ucapan wanita yang menghuni hatinya saat ini. Otak play boy-nya mendadak bodoh dan tidak ada keinginan untuk melepas sosok wanita tinggi semampai itu. Semarah apa pun entah mengapa hatinya tetap luluh. Akan tetapi, ia tetap berniat mengundur rencana pernikahan mereka.
"Aku ingin jadwal pernikahan diundur!" Henri masih saja terbawa emosi meskipun nada bicaranya sudah turun satu oktaf.
Henri tidak bisa menerima jawaban yang diucapkan oleh Arini. Cemburu? Pasti, pria mana yang tidak cemburu ketika calon istrinya mencium pria lain. Rasanya perlu dipertanyakan tentang kejujuran dari Arini saat ini juga.
"A-apa?" Arini sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh calon suaminya.
Henri tidak main-main dengan ucapannya kali ini. Ia sudah memikirkan matang-matang. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan dan ketidakjujuran Arini. Henri geram dengan ulah calon istrinya itu.
Pelayan datang memberikan buku menu kepada mereka berdua. Otomatis perdebatan mereka harus berhenti sesaat. Henri tampak malas memilih makanan dalam daftar menu. Ia menyamakan menunya dengan milik Arini. Tidak ada rasa lapar karena emosi. Sejak siang pun, Henri tidak makan apa pun.
"Alasannya apa mengulur pernikahan?" tanya Arini lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari calon suaminya.
Arini memberanikan diri untuk bertanya pada Henri yang sedang marah.
"Cobalah koreksi dirimu sendiri." Henri menatap lurus pemandangan di depannya. Sedetik kemudian ia pindah, duduk tepat di depan Arini.
Wajah cantik Arini pias. Riasan itu tak bisa menutupi wajahnya yang mendadak pucat. Takut. Apa yang ia kawatirkan akan terjadi. Niatnya balas dendam pada Hadi tidak terlaksana jika Henri membatalkan pernikahan ini. Ternyata apa yang dipikirkan tidak mudah, tidak terjadi. Justru sebaliknya, Henri bukan tipikal laki-laki yang mudah percaya padanya.
"Tolong katakan apa salah dan kurangku," kata Arini dengan nada memelas dan meminta jawaban dari Henri.
"Jujurlah tentang dirimu." Sengaja laki-laki berbadan kekar itu memberikan sedikit clue agar sosok wanita tinggi semampai itu menyadari kesalahannya.
Arini tetaplah Arini dengan segela rahasia yang ditutupinya. Ia tidak menyadari jika sosok yang ada di depannya sudah mengetahui masa lalunya. Bungkam seribus bahasa, biasa Arini lakukan. Tujuannya agar sang lawan bicara mengatakan apa kesalahan dan kekurangannya.
Sepuluh menit Henri diam. Tidak mengatakan sepatah kata pun pada wanita tinggi semampai itu. Mereka saling diam satu sama lain. Sibuk berkelana dengan pikiran masing-masing. Arini tidak berniat membuka obrolan hingga pelayan kafe datang membawa pesanan mereka.
Mereka berdua makan dalam hening. Tidak ada obrolan hangat seperti biasanya. Henri mendadak kehilangan selera makannya. Menunggu kejujuran keluar dari mulut Arini ternyata melelahkan. Menambah tingkat emosi yang sedari tadi dipendamnya agar tidak meledak.
"Kamu sadar jika aku sudah tahu tentang masa lalu kamu? Bahkan pernah memiliki anak di luar nikah. Aku sengaja menunggumu agar mengatakan hal ini dengan jujur." Henri tidak tahan dengan kebungkaman Arini. "Kenapa tidak pernah jujur? Bahkan menipuku saat di apartemen," lanjutnya dengan nada dingin.
Sendok yang dipegang Arini seketika jatuh mengenai piring. Bunyi yang ditimbulkan lumayan keras. Beruntung kafe dalam keadaan sepi sehingga tidak memancing pelanggan lainnya. Terkejut, Arini tidak menyangka jika Henri mengetahuinya. Mungkinkah Reza memberitahunya? Rasanya tidak mungkin. Ah ... banyak kemungkinan yang terjadi.
"Tidak usah menuduh siapa pun dalam masalah ini. Mama bahkan sudah tahu lebih dulu dariku." Henri mengeluarkan isi hatinya yang sudah dipendamnya sejak beberapa hari yang lalu.
"A-aku ...." Arini tidak melanjutkan ucapannya. Dengan cepat ia meraih gelas air minum. Meminum isinya hingga tandas. Mendadak dadanya sesak.
Henri menatap Arini dengan tajam. Menunggu penjelasan keluar dari mulut Arini. Memang wanita yang membuatnya jatuh cinta ini sangat penuh dengan rahasia. Ya ... bahkan kedua calon mertuanya tidak tahu menahu jika sang putri pernah hamil dan melahirkan anak di luar nikah.
"Ada yang ingin kamu katakan?" Henri sengaja bertanya pada sosok wanita yang ada di depannya.
"Aku bisa jelaskan semuanya, tapi tidak sekarang." Arini mencoba menetralkan debaran dadanya yang tidak menentu.
Rasa takutnya kian besar ketika sosok Henri yang biasanya romantis mendadak berubah. Ia tahu kesalahannya sangat banyak dengan menipu Henri saat di apartemennya waktu itu. Tipuannya mungkin berhasil, tetapi setelahnya membuatnya tidak berkutik. Otak cerdasnya mendadak tidak mampu untuk berpikir dan mencari alasan.
"Kapan dan di mana aku bisa mendengar penjelasanmu?" tanya Henri dengan nada dingin.
Marah, kecewa, dan kesal menjadi satu. Akan tetapi tidak bisa diungkapkan dan dilampiaskan pada sosok wanita tinggi semampai itu. Belum lagi, setelahnya mendapatkan laporan jika calon istrinya mencium salah satu mahasiswa di kampus tempatnya mengajar. Terlebih mahasiswa itu pernah memiliki rasa terhadap sosok yang ada di depannya.
"Kamu tidak akan bisa menjawab dan menjelaskan. Aku tahu, sebab masih banyak lagi rahasia dalam dirimu." Henri segera meninggalkan Arini seorang diri di kafe.
Laki-laki bertubuh kekar itu menuju kasir dan membayar semua tagihan makan mereka berdua. Setelahnya menuju mobil dan melajukannya tanpa menunggu Arini. Wanita tinggi semampai itu menundukkan wajahnya. Air matanya mengalir dengan deras. Bodoh, untuk kesekian kalinya harus meneteskan air mata karena laki-laki.
Henri pun tidak tenang. Berulang kali hampir saja menabrak pengguna jalan yang ada di depannya. Fokusnya masih ada pada sosok Arini. Tidak menyangka cinta membuatnya bodoh. Jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 18.30 WIB. Masih terlalu sore untuk pergi ke sebuah club malam langganannya.
Henri enggan untuk pulang ke apartemennya. Ia memilih melajukan mobilnya menuju ke suatu tempat yang tidak jelas. Ponselnya terus berdering, panggilan dari Arini. Laki-laki berbadan kekar itu tidak mempunyai niat untuk menerima panggilan itu. Suara Arini akan memengaruhinya.
Arini menunggu selama satu jam di dalam kafe. Berharap Henri kembali dan menjemputnya. Kenyataan tidak seindah apa yang ada dipikirannya. Laki-laki yang akan dimanfaatkannya itu benar-benar pergi meninggalkannya di kafe ini. Arini segera bangkit dan meninggalkan kafe.
Gegas ia pulang ke rumahnya. Sebenarnya sore ini ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang hendak bimbingan. Dengan cepat ia membatalkan jadwal itu, karena akan bertemu dengan Henri. Tidak menyangka jika pertemuannya dengan calon suaminya itu membawanya dalam masalah besar yang entah kapan akan selesai. Laki-laki kaya raya itu pasti akan marah jika tahu tujuan sebenarnya dari Arini.
Arini terpaksa mencari taksi untuk mengantarkannya pulang ke rumah. Badannya kali ini terasa sangat lelah. Banyaknya pikiran yang membuat badan wanita tinggi semampai itu mudah lelah. Banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan, tetapi justru dipikirkan dengan sangat serius.
Sementara itu, mobil yang dikendarai oleh Henri berhenti di sebuah rumah sederhana bergaya klasik khas Yogyakarta. Rumah Joglo yang tampak asri jika dilihat dari luar. Rumah milik kedua òrang tua Arini yang belum lama didatanginya. Henri menatap rumah itu dari dalam mobilnya.
Rumah itu menjadi saksi bisu lamaran untuk Arini. Embusan napas kasar keluar dari mulut Henri. Ia segera melepas sabuk pengaman dan bersiap turun. Menemui kedua calon mertuanya. Entah apa yang akan dibicarakannya nanti.
Sebelum turun, terlebih dahulu Henri mematikan ponsel miliknya, tidak ingin ada gangguan apa pun dan dari siapa pun. Kali ini ingin menenangkan pikiran dan hati. Mendekati kedua calon mertuanya adalah cara yang terbaik yang terlintas dipikiran Henri saat ini.
Mungkin jika membicarakannya secara baik-baik akan menemukan sebuah jalan keluar. Baik untuk dirinya maupun Arini. Wanita itu ťidak akan memberitahukan apa yang menjadi rahasia besarnya. Lebih baik menyimpannya sendirian dalam diam.
Henri membuka pintu mobilnya dan menguncinya. Rumah Arini tampak sepi, hanya lampu teras saja yang menyala. Henri membuka pintu pagar halaman rumah milik kedua orang tua wanita yang telah membuatnya jatuh cinta. Berjalan menuju teras dan duduk di kursi yang terbuat dari bambu.
Laki-laki yang memiliki gelar play boy itu duduk sendiri. Lampu teras di rumah milik calon mertuanya hanya remang-remang, tidak seterang di rumah kedua orang tuanya. Suasananya pun sangat sunyi, layaknya pedesaan. Nyaman, satu kata yang menggambarkan tempat kelahiran Arini.
Memikirkan sosok Arini yang sangat tertutup dengan segala rahasia yang dimilikinya membuat dadanya sesak. Memang bukan pertama kali merasakan jatuh cinta, tetapi sosok wanita tinggi semampai itu membuat Henri benar-benar bertekuk lutut. Tidak berdaya dengan semua pesona dan kecerdasan Arini. Ya ... wanita itu memiliki semuanya untuk menjerat lawan jenisnya.
Jam di pergelangan tangan Henri menunjukkan pukul delapan malam. Artinya ia telah duduk selama setengah jam di teras rumah Arini. Tidak ada tanda-tanda orang di dalam rumah. Henri bangkit dan hendak menuju ke mobilnya. Sayangnya justru ia bertemu dengan Pak Seno.
"Lho? Nak Henri?" Kerutan di dahi Pak Seno membuat Henri kikuk dan bingung.
Pak Seno tidak menyangka jika ada Henri yang sedang duduk di teras rumahnya. Entah sejak kapan dan rasanya sangat aneh, Henri datang seorang diri. Pak Seno tidak berani bertanya panjang lebar. Takut jika menyinggung perasaan calon menantunya itu.
"Iya, Pak." Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Henri saat ini.
Bersambung