Chapter 02: Ketemu Sean
....
Hazel melihat penampilannya sekali lagi. "Gimana Kur? Udah oke belum?" tanyanya sembari memutarkan badan.
Sakura yang masih ngunyah combro ngacungin jempolnya. "Oke sekali! Lo keliatan kek guru primagama!"
"Anjer," Hazel mengumpat lalu ketawa kecil. Emang sih karena Hazel pake celana bahan hitam dan pake outer batik yang menutupi kaos hitamnya Hazel makin keliatan kek guru. Apalagi rambutnya di ikat kuda gini.
"Yaudah berangkat sono, lima belas menit lagi jam 4," titah Sakura yang padahal mau menjajah kasur Hazel.
"Yaudah gua nitip kosan ya."
"Iya anjir, orang gua sekosan sama elo."
"Ehehe."
"Pokoknya gua tunggu kabar baiknya Zel! Sukses ya!"
"Siap Kur!!"
Hazel pun berangkat ke cafe Dalla dengan ojol, soalnya cukup jauh dari kosannya Hazel, semiskin-miskinnya Hazel ogah kalo harus jalan kaki.
Pas sampai, Hazel sebenarnya agak sakit hati karena ternyata ada Yohan dan Hanin yang lagi suap-suapan disana. Lah kamvert, niat mau nyari cuan malah ketemu mantan, gini amat hidup
.
Tapi yaudah lah Hazel pura-pura enggak liat aja. Lagian ngapain ngeliatin mantan sama cewek barunya?
Hazel langsung nyari orang yang disebut sebagai Bapaknya Deon. Katanya sih dia duduk di kursi nomer 12, pake baju merah.
Ah ketemu.
Hazel lantas menghampiri bangku bernomer 12 itu. "Permisi, ini bener Bapaknya Deon?" tanya Hazel dengan sopan.
Lelaki yang semua memundukan kepalanya itu lantas mengangkat kepalanya. Lalu mengumbar senyum. "Iya. Silahkan duduk Bu Guru."
Hazel shock untuk beberapa saat, sumpah ini orang bapak Deon? 'Kok ganteng?' demi apa gitu loh? Hazel kira orang yang bakal dia temui tuh bapak-bapak kolot kacamataan.
Ternyata enggak! Lelaki itu emang keliatan lebih tua darinya, namun dia tetep ganteng. Model rambutnya trendy kaya actor korea, kulitnya putih bersih, oh jangan lupakan hidungnya yang mancung dan terlihat seperti perosotan.
"Saya tau, saya ganteng, ga usah sampe cengo gitu."
Mendengar hal itu Hazel segera meminta maaf. Lalu lelaki yang sebenernya ga keliatan kaya bapak-bapak itu menyuruh Hazel duduk dihadapannya.
Jujur, Hazel malu berat, ketauan natap lelaki itu terlalu lama. Tapi serius, Hazel masih enggak percaya kalo orang ini adalah bapak dari anak smp.
GANTENG BANGET ABISNYA.
"Saya biasanya lebih percaya sama bimbel yang gurunya kuliah memang untuk menjadi guru, bukan mahasiswa seperti kamu," ucap lelaki itu yang membuat Hazel menelan ludahnya, takut. Dalam hati Hazel ngomel, kalo ga percaya kenapa sia manggil aing kesini anjirr?! "tapi karena Chaeryl bilang kamu sesepuh OSN matematika dan langganan 3 besar OSN matematika, saya memberikan kamu kesempatan."
Hazel bersyukur didalam hati, untung dulu semasa sekolah dulu dia mengikuti OSN dan mendapatkan juara, jadi pembimbing pula. Seengaknya dia enggak kalah kan sama orang yang emang kuliah untuk jadi pendidik?
"Iya Pak."
Lelaki itu lantas tersenyum melihat raut tegang Hazel berubah. "Yasudah sekarang santai saja, toh saya hanya mau mewawancarai kamu. Kamu juga sering mengikuti kepanitiaan kan? Berati enggak asing dengan wawancara seperti ini?"
Hazel menganggukkan kepalanya. Lagi-lagi mengatakan hal yang sama. "Iya Pak."
"Omong-omong nama saya Sean Fikri Pratama, kamu bisa panggil saya Sean, salam kenal ya."
"Saya Hazel Zhafran Bayanaka, mahasiswa sosiologi semester 5. Salam kenal juga pak," ucap Hazel berusaha untuk tidak kaku.
"Oh iya sebelumnya mau pesan sesuatu dulu? Em makanan atau apa gitu?"
Hazel jelas menolak tawaran Sean. Dia ga punya duit cuy, ya kali mau pesen makanan di cafe Dalla yang terkenal mahal ini? Mending ntar aja beli nasgor depan Indomart.
"Enggak pak makasih."
"Ya sudah," Sean hanya mengangguk. Padahal dia ngerasa enggak enak karena makan sendirian. Sedangkan Hazel cuman duduk manis saja. Tapi kalo itu maunya Hazel, Sean bisa apa?
"Hazel."
Aduh Hazel deg-degan pas mendengar Sean memanggil namanya. Padahal pas pacaran sama Yohan ga gini. Ini Hazel kenapa? Apa Hazel sakit jantung? "Y-ya Pak?"
"Chaeryl bilang sama saya, kamu orangnya jujur. Nah, coba jelaskan dengan jujur kenapa kamu ingin bekerja?"
Hazel menelan ludahnya. Sekarang Hazel harus jujur kan? Jadi Hazel menjawab dengan sejujur-jujurnya.
"Em saya ingin bekerja karena saya butuh uang. Saya anak rantau, orangtua saya hanya menjadi guru di Bandung. Saya enggak enak kalo terus-terusan minta sedangkan ini masih tengah bulan. Sebenarnya saya ga miskin-miskin amat, cuman yah kuliah di ibu kota ngebuat kebutuhan saya nambah. Apalagi perut saya lapar tiap dua jam sekali dan jajanan di Jakarta mahal-mahal."
Hazel lantas menundukan kepalanya. Gusti, dia malu sendiri ketika mengucapkannya meskipun yang terjadi memang itu. Dia mudah lapar, itu masalahnya. Uangnya sering dipake buat mesen makanan, apagi kalo ada promo, tau-taunya ludes. Haduh!
Sean terkekeh pelan setelah mendengarnya, apalagi ketika Hazel menyebutkan bahwa gadis itu lapar setiap dua jam sekali. Sean juga tidak melihat kebohongan dimata gadis itu.
Gimana mau bohong, Hazel malu gitu sampe nutupin muka.
"Ah oke," Sean mengangguk, gadis itu lantas menatapnya kembali. Sepertinya dia menunggu pertanyaan selanjutnya. "lalu kenapa kamu bisa ikut OSN matematika dari SMP sampai SMA tapi sekarang kuliah di jurusan Sosiologi?"
"Saya ikut osn ketika smp karena disuruh dan ingin mendapatkan ponsel, soalnya Ayah saya janji bakalan ngebeliin saya ponsel kalo menang juara tiga teratas di lomba OSN. Sebenarnya setelah mendapatkan ponsel karena dapat juara dua saya ga mau ikutan osn lagi pas kelas 8, tapi kepaksa ikutan karena ditarik guru."
Sean hanya menganggukan kepalanya mendengar penjelasan Hazel. "Kalau SMA? Disuruh juga?"
"Enggak sih, awalnya ga mau ikut osn lagi pas kelas sepuluh. Cuman kebetulan aja pas seleksi itu harinya sama kaya pas saya ditagih PR kimia. Karena saya ga ngerjain pR, saya nekat ikut seleksi awal walaupun tanpa persiapan."
"Tapi kamu dapet juara 1 kan akhirnya? Kok kaya mudah banget ya matematika buat kamu," Sean memangku wajahnya dengan satu tangan, menatap Hazel intens.
Yang ditatap cuman bisa nyengir malu, tapi lucu dimata Sean. "Enggak sih. Saya juga belajar mati-matian itu. Soalnya saat itu saya ada sedikit selek atau gelut lah sama kakel, karena kesel saya jadi berambisi ngalahin kakel sialan itu."
"Kalau kelas sebelas, kenapa kamu bisa jadi pembimbing Sekaligus menang osn juga? Meskipun juara tiga sih."
"Em mungkin karena saya terkenal diantara para guru dan udah ikut osn sejak smp, jadi saya dipercaya untuk jadi pembina dan membantu guru matematika yang saat itu lagi hamil. Sebenernya saat itu saya enggak nge-push diri sendiri, saya nge-push teman saya biar bisa memenangkan juara 1 dan alhamdulillah dapet ehehe."
Sean lagi-lagi tersenyum. Kalo yang ini sebenarnya dia tau dari Chaeryl. Orang dulu Chaeryl cerita sama dia kalo Chaeryl dibantu Hazel sampe menang OSN.
Selain jujur, Hazel juga baik rupanya. Sean suka perempuan seperti Hazel ini.
"Terus kamu masuk sosiologi karena apa?"
"Eum kaya jujur saya bosan di sains dan mau mencari suasana baru di soshum. Kebetulan, saya tertarik dengan sosiologi."
"Tapi kamu bisa mengajar kan? Maksudnya ga sibuk?"
"Bisa pak, sekarang saya enggak ikut kepanitiaan kok tahun ini, organisasi juga cuman UKM, itupun enggak jadi pengurus inti."
"Kamu bisanya hari apa?"
"Dari senin sampai kamis paling pak. Tiga hari sisanya biasanya saya mau pulkam, atau ga molor di kosan."
"Empat hari ngajar setelah isya ga apa-apa kan?" tanya Sean.
"Iya pak enggak apa-apa," balas Hazel girang.
"Baik lah, tunjukan performa mengajar yang baik untuk anak saya ya. Untuk gaji bulan ini kamu minta dikirimkan lebih awal kan? Kirimin aja no rekeningnya, nanti saya transfer."
"Siap pak, terimakasih."
.....
Tentu saja Hazel Senang, sangat Senang sampai-sampai dia mentaktir Sakura nasi goreng untuk makan malem—Setelah mengambil uang tentunya.
"Gila jadi guru doang gajinya tiga juta?" tanya Sakura pas Hazel selesai cerita.
"Iya, mungkin karena gua bilang gua miskin. Lagian ngajarnya empat hari, meskipun malem sih," jelas Hazel. "gua juga ga tau bakal dikirim segitu, padahal gua ga minta segitu. Sumpah dikasih sejuta juga udah bersyukur."
Sakura menganggukan kepalanya. Lalu lanjut makan. Sebelum dia sadar kalo ponsel Hazel menyala.
"Zel ada telpon tuh."
Hazel lantas mengangkat telpon itu, tanpa melihat namanya. Dia pikir yang menelpon itu Fajar, nanyain tugas kelompok.
"Halo."
"Hazel."
Hazel kaget sendiri ngedenger suara Yohan di telpon, pas diliat ternyata emang Yohan yang nelpon. 'Ah sial, tau gitu ga usah diangkat.'
"Apa?" tanya Hazel ketus. Sakura udah nebak, yang nelpon pasti Yohan. Soalnya cuman Yohan yang bisa bikin Hazel ngomong ketus, dan Hanin mungkin.
"Gua mau bicara sama elo beso—"
"Enggak bisa. Gua sibuk Maymunah. Ngomong aja sama pacar elo sana." setelah itu Hazel lantas mematikan telpon secara sepihak.
Sakura ngacungin jempolnya. "Mantap mamank!"
"Iya dong."
Bodo amat lah Yohan mau bilang apa, Hazel ga mau berurusan sama orang yang bikin dia nangis malem-malem. Cukup, Hazel sama Yohan ga ada urusan apa-apa lagi.
"Lo kenapa ga blokir aja si Yohan sih? Atau hapus kontaknya?" tanya Sakura jengah. Sebagai manusia yang tau kisah cinta Hazel, Sakura ini ga suka banget sama Yohan. Apalagi Yohan selingkuh sama Hanin, temen Hazel sendiri.
"Enggak Kur, gua ga mau dianggap childish dan menyedihkan karena ngeblokir mantan," balas Hazel. "jadi cukup mute aja."
"Boleh juga idenya. Tapi omong-omong ngapain Yohan nelpon?"
"Entah. Ngapain gua mikirin itu, mendingan makan."
"Iya sih."
.....