[TSP] benalu dalam rumah

1248 Words
Hari Minggu. Geya kembali ke rumah pagi harinya setelah pergi selama dua hari semenjak pertengkaran mereka terakhir kali. Kali ini, dirinya akan menuntaskan kewajiban. Kewajiban yang menjadi alasan kenapa dia bisa terjebak di dalam pernikahan pelik yang selalu menguras emosinya. Geya sempat terpanjat kala sebuah tangan yang besar dan hangat melingkar pada pinggangnya. Saat dia menoleh, didapatinya Dharma tengah menatap lurus seorang perawat yang tengah menjelaskan jadwal kunjungan. “Karena kesehatan pasien sudah membaik, Bapak dan Ibu kami berikan waktu tiga puluh menit untuk mengunjungi pasien. Mohon jangan membahas apapun yang dapat memicu emosi pasien.” Dharma mengangguk singkat, lalu berjalan menuju ruang kunjungan. Ruang kunjungan itu tak terlalu luas, diisi oleh belasan meja melingkar dan tanaman asri. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni dan lampu kuning yang menyorot hangat seisi ruangan. Disana, satu-satunya orang dengan setelan piyama duduk di salah satu meja, menatap kosong bunga di hadapannya. “Tolong jangan buat kesalahan.” Dharma memperingati. Tentu saja Geya tidak akan membuat kesalahan. Dia telah memerankan peran ini puluhan kali. "Mama!" Geya berteriak penuh semangat, berlari kecil menghampiri wanita paruh baya dengan setelan piyama diikuti oleh Dharma yang melangkah dengan tenang. Rosnida tak menjawab, terus mengamati bunga palsu tanpa sedikit pun menoleh. “Mama, Geya sapa gitu kok diam aja.” Dharma angkat bicara, tangannya bergerak memindahkan bunga itu ke meja lain. Meski begitu, senyum Geya tak sedikit pun pudar, “Mama apa kabar? Sekarang tambah berisi aja. Makin cantik!” Mata senja itu menatap Geya selama beberapa saat dan kemudian tersenyum—senyuman sendu yang telah dilihatnya selama dua tahun ini. “Baik.” “Oh iya, Ma. Sebentar lagi aku bakal pindah ke stase bedah, Di sana, ada konsulen yang terkenal galakkkkk banget. Tadi pagi aku sempat tanya-tanya ke Mas Dharma, katanya aku kemungkinan besar dapat konsulen galak.” Geya bercerita dengan semangat menggebu meski tak dapat balasan apapun dari Rosnida. Geya sama sekali tak merasa terganggu, Toh, lagian ini adalah perannya—berbicara pada Rosnida dengan penuh semangat seperti anak kecil. “Dharma cuma bilang kemungkinan yang akan terjadi.” Pria itu mengoreksi. “Oh iya! Karena Mama makin sehat aja, aku sama Mas Dharma bakal kasih hadiah. Mama mau hadiah apa? Pasti bakal kami kabulkan.” Matanya menatap Rosnida penuh harap agar pancingannya kali ini berhasil. “Anak.” Rosnida berbicara dengan suara jernih, matanya kini beralih pada Dharma. “Mama mau kamu punya anak, Dharma.” *** Rasa canggung perjalanan mereka pulang dari rumah sakit jiwa hingga mobil hitam yang mereka tumpaki terparkir di garasi. Tanpa berbicara, Dharma langsung keluar dari mobil, membuat Geya ikut buru-buru keluar sebelum mobil itu dikunci oleh Dharma. “Bapak, ada tamu. Sudah setengah jam saya suruh nunggu di taman depan sampai Bapak datang.” Siti datang dengan wajah panik. “Sudah saya bilang, saya tidak menerima tamu hari Minggu.” Mendengar suara bernada sinis itu, Siti semakin panik saja. “Saya sudah bilang seperti itu, Pak. Tapi tamunya tetap memaksa takut. Katanya Bapak tidak mungkin menolak kehadirannya bahkan di hari Minggu sekalipun.” Dharma mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya pergi begitu saja dengan wajah kusut. “Siapa?” tanya Geya, tak kuasa menahan rasa penasarannya. Siti menggeleng lemah. “Saya nggak tahu, Bu. Tapi tamunya perempuan, seusia Bapak.” Jawaban itu turut membuat Geya mengernyit dalam. Seingatnya, Dharma hanya mengizinkan teman-teman dekatnya datang ke rumah dan di antaranya tidak ada wanita. Geya masuk ke dalam rumah, menatapi dua bilang pintu dari kayu jati itu sudah terbuka lebar, pertanda Dharma telah mempersilakan tamunya masuk. “Kamu kok makin kurus aja sih, Mas?” “Nggaklah. Kamu yang kurusan. Badan saya memang dari dulu kayak gini.” Seiring langkahnya mendekat, Geya bisa mendengar dengan jelas kedua insan sedang bercakap-cakap dengan akrab. Bahkan beberapa kali Geya melihat wanita asing itu menyentuh Dharma dengan gerakan ringan, seakan dia sudah biasa melakukannya. “Halo, Mbak! Temannya Mas Dharma, ya?” Geya bertanya ramah, menampilkan senyum termanisnya saat dia ikut bergabung duduk di atas sofa. Tak seperti dugaan, wanita itu menatap Geya dengan aneh, bahkan sama sekali tidak melirik uluran tangannya. “Nggak perlu. Gamala tahu semuanya.” “Ah ….” Dengan gerakan cepat, Geya langsung menarik tangannya. Secepat itu pula, wanita bernama Gamala itu menutup mulutnya, tampak sekali sedang berusaha menahan tawa. “Aku nggak nyangka kamu masih main rumah-rumahan, Mas,” komentarnya diiringi dengan kekehan geli. Dharma mengedikkan bahu. “Kamu tahu saya nggak punya pilihan lain.” Gamala menggeleng pelan, lalu ia menatap Geya beberapa saat. “Bisa buatin aku minum? Aku haus banget habis disuruh nunggu di luar. Kamu sih, Mas! Masa nggak bilang sama pembantu kamu kalau aku itu pengecualian.” “Maaf, saya lupa. Saya kira kamu masih di luar negeri.” “Loh, Geya kok masih di sini?” Gamala menatapnya heran. “Mas, aku nggak boleh nyuruh dia buat air minum, ya?” Perkataan itu seakan menampar Geya keras-keras. “Sebentar aku buatkan, Mbak.” Beberapa menit kemudian, Geya kembali dengan sirup merah yang dicampur biji selasih serta beberapa potong semangka di dalamnya. Matanya sempat memicing begitu tiba di ruang tamu, mendapati keduanya kini tengah duduk bersandar di sofa. Lengan Gamala melingkar di lengan Dharma, sementara kepalanya bersandar pada pundak lebar pria itu. Keduanya asik tertawa, sampai-sampai tidak sadar akan kehadiran Geya. “Eghm … Mbak. Ini minumnya.” Gamala melirik sejenak. “Oh, makasih,” ucapnya tanpa berniat beranjak dari sisi Dharma. Geya menghela napas. Tak ingin ikut campur dengan urusan keduanya yang terlihat sangat “penting”. Oleh karena itu, dia lantas bergegas naik ke kamar setelah mengingatkan Siti untuk memberitahunya jika Gamala sudah pulang. “Seorang pria 50 tahun datang dengan keluhan sesak napas bila berjalan dan membaik jika istirahat. Pasien tidak memiliki alergi, tidak demam, dan tidak pernah terbentur. Pasien tidak mengeluh gangguan kemih ….” Di meja belajarnya, Geya tengah fokus membaca bocoran soal tes dari temannya yang sudah melewati tes penyakit dalam dengan serius sebelum suara ketukan menghancurkan fokusnya. “Masuk!” Tak lama, kepala Siti muncul dari balik pintu. “Anu Bu, temannya Bapak sudah pulang.” “Dari tadi?” “Barusan, Bu.” Geya mengangguk. Dia lantas berdiri. “Bapak ke mana?” “Bapak masih nonton TV di sofa.” Setelah Geya mempersilakan Siti pergi, langkahnya langsung menuju tangga, menuruni setiap anakannya dengan sedikit terburu-buru. “Kamu bilang nggak ada yang boleh tahu hubungan asli kita selain kita berdua.” Geya membuka pembicaraan dengan nada kesal, menatap Dharma dengan penuh tuntutan. Saat perjanjian awal, Geya ingat sekali Dharma pernah mewanti-wantinya untuk tidak membeberkan bagaimana pernikahan mereka sebenarnya. Bahkan saat acara pernikahan, hanya keluarga Dharma dan tiga orang temannya yang datang, sedangkan dari sisi Geya, perempuan itu hanya diperbolehkan mengundang satu tamu. Sekarang, mengetahui fakta kalau wanita antah-berantah bernama Gamala mengetahui faktanya membuat Geya merasa terkhianati. Dharma menoleh malas. “Gamala itu pengecualian,” jawabnya enteng. Geya berdecih. “Karena dia pacar kamu? Kamu nggak mau dia salah paham, begitu?” Dharma tak menjawab. Sebagai gantinya, dia menaikkan tombol volume. “Dengar ya, Mas. Pacar kamu itu bisa saja membocorkan semuanya. Kamu mau mengambil resiko? Seberapa lama sih kamu kenal dia sampai bisa-bisanya percaya gitu? Atau jangan-jangan …. Jauh sebelum kita menikah kamu sudah berhubungan dengan dia?” Hujaman pertanyaan itu berhasil mengusik emosi Dharma. Dengan pandangan yang menggelap, pria itu berbalik menatap Geya dengan tajam. “Apapun keputusan saya itu sudah saya pertimbangkan dengan hati-hati. Hubungan saya dan Gamala itu urusan pribadi saya dan kamu, kamu tidak punya hak untuk mengusik kehidupan pribadi saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD