Part 1
“60 miliar!” pekik Hesti, matanya yang sudah belo semakin melebar. “Busyet! Itu duit kalau dicairin, seberapa banyak? Jiwa missqueen-ku meronta-ronta hanya dengan mendengar nominal yang kamu sebutkan!”
“Entahlah, aku juga tidak dapat membayangkannya.”
“Terima, Lin, terima! Bodoh kalau sampai kamu menolaknya!” Hesti begitu bersemangat, sejenak meninggalkan pekerjaannya. ”Mendadak kaya raya kamu, jadi sultan, gak perlu jadi kacung perempuan galak itu lagi. Habis itu jangan lupa angkut aku jadi babu atau tukang kosek jamban, yang penting kasih aku gaji yang gede. Daripada kerja begini terus. Udah makan ati tiap hari, ditambah gajinya bikin napas kempas-kempis, mau makan nasi padang sebulan sekali saja, mesti mikir berkali-kali.”
“Saratnya serem banget. Aku parno dan curiga, jangan-jangan dikasih warisan sebanyak itu untuk dijadikan tumbal pesugihan,” canda Alina sembari pura-pura begidik ngeri.
“Halah! Jaman udah serba maju masih aja percaya sama pesugihan. Di mana-mana, orang kalau mau kaya, ya, kerja keras. Udah gak jamannya main pesugihan. Setan udah gak laku di jaman serba canggih gini! Paling-paling, kamu diminta nikah sama simbah-simbah tua yang udah renta buat rawat dia, sebagai imbalan kamu dikasih warisan gede.”
“Kerja yang benar! Jangan merumpi terus!”
Hesti buru-buru ngacir mendengar teriakan galak yang sudah menjadi makanan telinga sehari-hari mereka, menyudahi pembahasan warisan konyol yang sangat tidak masuk akal.
Alina hanya menganggapnya orang iseng yang sedang berusaha mengerjainya, kala kedatangan seorang pria paruh baya yang memperkenalkan diri bernama Pramudya, pengacara yang diutus seseorang untuk mengurus warisan besar yang berhak diterima oleh Alina.
Siapa orang yang begitu dermawan memberikan warisan dengan angka sangat besar kepada seorang gadis yang bukan siapa-siapanya?
60 Miliar, demi Tuhan! Otak sederhananya tidak dapat membayangkan seberapa besar jumlah tersebut.
Hingga 25 tahun usianya, belum pernah ia memegang uang dalam nominal besar. Gajinya sebagai karyawan di toko bunga boleh dibilang kecil, sama sekali tidak dapat menutupi kebutuhan sehari-harinya selama sebulan. Alina harus mencari tambahan dengan mengambil beberapa pekerjaan di luar toko bunga.
Alina tahu jelas siapa keluarganya, bukan orang yang bergelimang harta. Ia anak kandung dari orang tua yang dikenalnya, tidak seperti dalam cerita-cerita di aplikasi gratis yang kerap dibacanya. Anak teraniaya yang ternyata dari keluarga kaya raya, lantas ditemukan keluarganya dan berhak mendapatkan warisan yang begitu besar.
Alina suka membaca cerita, tetapi sama sekali tidak berharap keindahan dalam novel akan terjadi dalam hidupnya. Alina realistis, baginya cerita hanyalah hiburan untuk mengisi kejenuhan, tidak sampai terbawa dalam kehidupan nyata. Hidupnya keras, tidak kerja maka siap-siap tidak makan. Tidak ada waktu untuk berandai-andai menjadi tokoh-tokoh dalam cerita yang dibacanya.
Kala tiba-tiba seseorang datang dengan membawa angin surga yang terdengar begitu menggiurkan sekaligus konyol, tentu saja Alina tidak akan mempercayainya. Bisa jadi, pria itu adalah penipu.
“Anda berhak menerima warisan jika memenuhi syarat untuk menikah dengan pria yang telah ditentukan,” kata Pramudya, sikapnya terlihat sangat yakin, sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap yang ditunjukkan oleh Alina.
“Bapak mungkin salah orang,” balasnya. Meski merasa aneh, tetapi sebisa mungkin ia tetap berusaha bersikap sopan pada pria itu. “Aku tidak memiliki keluarga kaya raya yang akan memberikan warisan padaku.”
“Di sini tertulis jelas nama Anda, Nona,” jelasnya, terus berusaha meyakinkan sembari menunjukkan beberapa dokumen yang tidak dipahami olehnya. “Surat-surat ini resmi. Anda bisa mengecek kantor saya jika meragukannya.”
“Terima kasih, Pak, tapi aku tidak bisa menerimanya,” tolaknya halus.
Pramudya tersenyum profesional, pria itu merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya, mengambil benda kecil dan memberikannya kepada Alina. Sebuah kartu nama. “Mungkin ini terlalu mengejutkan untuk Anda, Nona. Saya dapat memakluminya. Saya akan memberi Anda waktu, jika berubah pikiran harap hubungi saya.”
Hingga seminggu berlalu, Alina sama sekali tidak berubah pikiran. Ia justru menganggapnya konyol dan menjadikannya bahan lelucon bersama Hesti.
“Alin!” seru Lenna, orang kepercayaan pemilik toko yang tingkahnya sudah mengalahkan bos. Judes, suka memaki-maki karyawan seperti Alina dan Hesti, sok ngatur dan mencari-cari kesalahannya, merasa paling benar dan berkuasa.
Lenna mendatanginya dengan wajah keruh dan judes seperti biasa. “Kalau kamu ijin-ijin terus, mendingan keluar saja! Masih banyak orang yang butuh kerjaan!”
“Apa, Len?”
Lenna menyilangkan kedua tangan ke d**a, lagaknya seperti bos yang sedang memarahi karyawan. Sorot matanya menatap sinis menyebalkan. “Aku tidak peduli kamu punya orang tua sakit-sakitan. Kalau waktunya kerja, ya, kerja! Tidak ada ijin-ijin pulang dengan alasan memiliki orang sakit!”
Alina menoleh ke luar toko, mengikuti sinis pandangan Lenna. Sari balik kaca ia melihat dua orang bocah memelas menatapnya.
Menghela napas, ia tahu Bu Yani kembali kumat sakitnya. Dua bocah itu menyusul untuk memintanya pulang. Ini bukan kali pertamanya.
Bersambung …