Part 2

827 Words
Tidak layak disebut panti asuhan, meski pemiliknya dulu menyebutnya demikian, hanyalah sebuah rumah tua yang diisi tiga anak jalanan yang diltelantarkan orang tuanya dan Alina sendiri. Bu Yani, pemilik rumah berbaik hati menampung mereka. Kala Bu Yani masih muda, ia yang membiayai kebutuhan hidup anak-anak malang yang berjumlah tiga orang. Namun, sejak sakit-sakitan fisiknya tidak kuat lagi untuk bekerja, sehingga kondisi anak-anak cukup memprihatinkan. Tujuh tahun rumah tua itu menjadi tempat tinggal Alina sejak ibunya meninggal dunia dan ia diusir oleh kakak-kakak tirinya. Ibunya menikahi seorang duda beranak tiga, semuanya perempuan. Tak satu pun dari mereka menyukai ibu Alina, menganggap Ibu numpang hidup pada keluarga mereka. Kelahiran Alina semakin menambah kebencian mereka, sebab khawatir akan membuat posisi mereka sebagai pewaris keluarga, terancam. Sejak kecil Alina sudah sering mendapat ketidakadilan di rumah mereka. Ia harus selalu mengalah kepada kakak-kakaknya, kerap kali dibully, dan diperlakukan tidak baik. Padahal mereka adalah orang-orang dewasa, perbedaan usianya cukup jauh, tetapi tidak pernah ngemong atau memberinya sedikit saja kasih sayang. Ibu memintanya untuk tidak pernah mengeluh, mengajarinya bersabar, dan berlapang d**a menerima semua perlakuan saudara-saudaranya. Namun, hal itu justru dianggap kelemahan oleh mereka, membuatnya semakin diperlakukan semena-mena. Terlebih kala Ayah berpulang, mereka berusaha mengusir Ibu dan Alina dari rumah. Tekanan demi tekanan diterima oleh mereka. Ibu jadi sakit-sakitan sejak kepergian Ayah. Tepat di ulang tahun Alina yang ke delapan belas, Ibu berpulang, menyusul Ayah hanya dalam kurun waktu tiga bulan. Kepergian kedua orang tuanya menjadi awal penderitaannya yang sesungguhnya. Tidak ada lagi yang melindunginya, saudara-saudaranya semakin memusuhinya dan melakukan beberapa kali percobaan untuk mencelakainya. Alina masih bertahan dalam neraka yang diciptakan mereka, hingga suatu hari sebuah peristiwa membuatnya tak sanggup lagi bertahan lebih lama. Suami kakak sulungnya mencoba memerkosanya. Pria itu memasuki kamarnya kala Alina tidur, tetapi kakak sulungnya justru menuduhnya sengaja menggodanya. Pertengkaran sengit tidak dapat dielakkan lagi. Alina menangis tersedu-sedu, memanggil-manggil ayah dan ibunya. Ia tidak sanggup lagi hidup dalam tekanan keluarganya sendiri, sehingga pada akhirnya Alina membat keputusan besar di usianya yang masih sangat muda. Keuar dari rumah tersebut. Luntang-lantung tanpa memiliki arah tujuan. Tidak memiliki tempat tinggal dan pekeraan. Dalam beberapa hari ia tinggal di jalan, sebelum kemudian nasib mempertemukannya dengan Bu Yani. Perempuan baik hati itu mengajaknya ke rumah, memberinya tempat berteduh. Ternyata di sana tidak hanya ia, ada beberapa anak yang masih sangat kecil, kisaran usia lima tahunan. Alina turut prihatin dengan nasib malang mereka. Di usia yang masih sangat kecil, sudah ditinggal oleh orang tua. Di tengah keterpurukannya, Alina masih bisa bersyukur. Pulang, Alina melihat Bu Yani terbujur di atas tempat tidur. Penyakit berbahaya yang menggerogotinya membuat tubuhnya begitu lemah dan sangat kurus. Kanker serviks, penyakit yang tidak main-main mempermainkan nasib mereka yang sudah malang. Dokter menganjurkannya untuk kemoterapi atau operasi, tetapi biayanya jelas tidak ringan. Sedangkan seluruh penghuni rumah yang jumlahnya kini ada lima orang, semuanya harus diberi makan dan pakaian yang layak. Hingga frustasi, Alina tidak mampu memikirkan jalan keluar. Gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan mereka berlima, itu pun masih harus mencari pekerjaan sampingan agar dapat bertahan hingga gajian berikutnya. Untuk seorang yang hanya tamatan SMA, Alina tidak berharap dapat pekerjaan dengan gaji besar. Ia hanya diterima bekerja sebagai pelayan toko. “Maafkan Alin, Bu,” bisiknya sedih, melihat kotak obat milik Bu Yani telah kosong. Selama ini, Alina hanya bisa menebus obat yang diresepkan oleh dokter. Itu pun hanya separuh yang dapat ditebusnya. Ia tidak kuasa melakukan apa-apa melihat perempuan yang telah berjasa besar padanya itu merasakan kesakitan. “Andai Alin banyak uang, Alin akan bawa Ibu berobat agar tidak lagi kesakitan seperti ini.” Dito, Rani, dan Damar hanya menatap mereka dengan kesedihan yang sama dalamnya. Mereka anak-anak yang dirawat Bu Yani, dan sama tidak berdayanya dengan Alina. Hanya Rani yang paling besar dan sudah dapat diajak membantu bekerja. Dito dan Damar masih sepuluh tahun, hanya bisa menunggui Bu Yani. Mereka akan datang mencari Alina dan Rani kalau Bu Yani kesakitan. Damat dan Dito datang ke tempat kerjanya, tidak tahu harus melakukan apa melihat ibu mereka kesakitan sementara obat telah habis. Tak kuasa menahan, air matanya merebak di pelupuk, lantas turun menganak sungai di kedua pipinya. Hatinya sungguh sedih, lebih sedih lagi sebab ia tak berdaya. “Kalian tungguin Ibu sebentar, ya. Kak Alin mau beli obat untuk Ibu.” Alina beranjak, ia mengeluarkan dompet kecilnya yang begitu tipis. Hanya ada beberapa lembar sepuluh ribuan yang ia irit-irit agar cukup hingga gajian yang akan datang. Matanya menangkap sebuah kartu nama atas nama Pramudya, terselip di antara lembaran kumal uang yang ia lipat menjadi dua bagian. Ia teringat akan pria itu. Pramudya menawarkan warisan dalam jumlah yang tidak masuk akal. Dalam keadaan kepepet seperti ini, Alina menaruh harapan besar pada sesuatu yang tidak pasti. Tidak ada salahnya ia mendatangi alamat Pramudya, S. H., LL.M., M.Hum. yang tercantum dalam kartu nama. Mungkin, jika pria itu tidak sedang berusaha menipunya, Alina bisa mendapatkankan biaya pengobatan untuk Bu Yani. Menghela napas, ia mencoba memantapkan hatinya. Semoga warisan itu bukan sekedar omong kosong. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD