Part 3

728 Words
Takdir kadang begitu kejam, nasib baik enggan berpihak kepadanya. Entah, apa rencana Tuhan di masa yang akan datang dengan menghadirkan cobaan kesulitan dalam tujuh tahun hidupnya. Namun, benar nasehat-nasehat yang pernah didengarnya, bahwa Tuhan tidak akan membebankan cobaan melebihi batas yang dapat ditanggungnya. Rencana Tuhan selalu yang terbaik. Selalu ada hikmah di balik setiap musibah, ia merasakannya hari itu. Usai menghabiskan seluruh isi dompetnya tanpa menyisakan sepeser pun, berjalan kaki Alina pulang membawa separuh obat yang ia tebus untuk Bu Yani. Pikirannya melayang, mengingat lembut senyuman sang ibu. “Jangan bersedih,” katanya setiap kali Alina menangis dirundung oleh kakak-kakaknya. “Doakan mereka, meminta Tuhan untuk melembutkan hati kakak-kakakmu agar berubah menyayangimu.” Betapa Alina merindukannya, merindukan nasehat lembutnya sekedar untuk menenangkan batinnya yang dilanda kegundahan. Sekarang, ia adalah yang paling dewasa, yang bertanggung jawab terhadap Rani, Dito, dan Damar. Terlebih sejak Bu Yani mengalami sakit, seluruh tanggung jawab dipikul oleh Alina. Ia merasa tidak berdaya melakukan sesuatu untuk kesembuhan Bu Yani, usaha maksimal yang dapat dilakukannya hanya menebus obat untuknya dengan menyisikan gajinya yang sudah sangat pas-pasan. Terbayang kembali kartu nama Pramudya, satu-satunya benda yang kini menghuni dompetnya. Alina ingin mencoba. Tuhan memberikan jalan melalui berbagai cara, mungkin saja Pramudya adalah sosok yang digerakkan Tuhan untuk menolongnya. Memang, terdengar tidak masuk akal. Siapa orang misterius yang bersedia memberinya warisan dalam angka yang sangat gila, sedangkan Alina bukan siapa-siapanya? Ia tidak memiliki saudara lain selain kakak-kakak tirinya yang jahat. Ayahnya hanyalah seorang purnawirawan, tidak memiliki banyak harta melimpah, apa lagi hingga miliaran. Jadi, sangat konyol jika ia percaya ada seseorang yang memberinya warisan sebesar itu. Namun, meski konyol Alina tetap percaya. Dalam keadaan terdesak dan buntu, tidak dapat lagi berpikir untuk mencari solusi, ia bersedia menggantungkan harapan pada hal-hal yang tak pasti. Setelah ini ia akan mendatangi alamat Pramudya. Berjalan dalam lamunan akan harapan yang kian membubung tinggi, Alina tidak melihat sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Masih untung, ia sempat menghindar kala mendengar klakson panjangnya yang mengagetkan. Mundur selangkah ternyata mampu menyelamatkan nyawanya. Alih-alih tertabrak, Alina hanya terserempet. Tubuhnya terpental ke belakang dan menghantam aspal. Plasti obat yang ditentengnya terpental dan jatuh entah di mana. Orang-orang datang mengerumuninya. Beberapa pengemudi berhenti untuk melihat keadaannya. Ada yang membantu, ada pula yang mengomelinya sebab berjalan sambil melamun. Meringis, Alina merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Perih dan berdenyut hebat. Namun, masih bersyukur ia selamat. Kakinya berdenyut hebat, lututnya lecet dan mengeluarkan banyak darah. Lukanya cukup dalam. Alina bangkit dibantu seseorang. “Ke rumah sakit, ya, Dik,” ujar sosok tersebut. Namun, Alina menggelengkan kepala. Pengemudi mobil yang menyerempetnya kabur, Alina tidak akan sanggup membayar tagihan rumah sakit. Akan lebih baik ia pulang dan mengobati dirinya di rumah. “Tidak usah, Pak. Terima kasih, aku mau pulang saja.” Matanya mengedar ke sekeliling, mencari kresek putih keci berisi obat untuk Bu Yani. Teronggok menyedihkan di atas aspal. Susah payah ia berjalan terpincang-pincang untuk meraih benda tersebut. Pria yang membantunya menahan tubuhnya, memintanya untuk tidak bergerak. Ia yang mengambilkannya untuk Alina. “Kamu terluka di banyak tempat. Sebaiknya ke rumah sakit, khawatir kalau ada cidera patah tulang. Sebaiknya diperika.” “Aku harus pulang—” Pria itu menggeleng keras kepala, seolah mengerti alasan penolakan Alina. “Jangan khawatir, aku akan membantumu memburu pemilik mobil yang menabrakmu. Dia harus bertanggung jawab, kebetulan aku tahu pemiliknya. Ayo!” Tertatih-tatih, Alina dipapahnya masuk ke dalam mobilnya. Pria baik hati itu membawanya ke rumah sakit, bahkan Alina mendengarnya melaporkannya pada seseorang. Musibah membawa berkah, demikian ia menyebutnya. Pemilik mobil ternyata seorang gadis baik hati yang sangat ramah. Ia datang keesokan harinya sambil meminta maaf dan siap bertanggung jawab untuk kesembuhannya. Namanya Amira, gadis manis itu tidak hanya bertanggung jawab menanggung seluruh biaya pengobatan di rumah sakit, tetapi ia juga mengenalkan Alina pada asisten ayahnya. Dari situlah Alina mengenal Daniel, pria matang yang baik hati dan selalu menolongnya. Alina tahu, kebaikan Daniel tidak lebih dari sekedar kewajibannya dalam menjalankan tugas dari Amira. Namun, Alina tersentuh oleh sikap tangan kanan ayah Amira tersebut. Selain ayahnya, dalam 25 tahun hidupnya belum pernah sekali pun ada pria yang begitu memperhatikannya hingga hal-hal kecil. Daniel menjamin seluruh kebutuhannya, mendatanginya setiap saat dan menanyakan keperluan Alina. Pria itu bahkan bersedia menggantikan Alina menengok keluarga angkatnya, membantu mengawasi kondisi Bu Yani selama Alina dirawat. Alina tersentuh, hatinya berbunga setiap kali melihat pria itu. Bahkan diam-diam selalu mengharapkan kedatangannya. Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD