Episode 14 Intimidasi

1280 Words
“Ini mataku mata kiri mataku mata kanan mataku mata-mata,” lagi. Aswin dan Eki melakukan hal yang sama seperti kemarin. Kali ini ditambah dengan gerakan menepuk d**a kiri dan kanan. Sebelah tangan menepuk d**a dan sebelahnya menunjuk ke atas dengan mata ikut fokus melihat ke atas. Mereka lakukan beberapa kali ke arah atas kiri dan kanan. “Ini mataku mata kiri mataku mata kanan mataku mata-mata eeaa,” mereka pun tertawa begitu bahagianya. “Sebutkan dari regu mana dan gugus mana?” Sandi memberi intruksi. Aswin dan Eki pun langsung berbaris. Sedikit Manahan tawa masing-masing. “Siap, lapor.” Aswin memberi hormat pada Sandi, tepatnya pada kamera yang dipegang Sandi. “Lapor, kami dari regu Jurasic Cinangneng siap mengikuti jambore.” Eki yang berada di belakang Aswin tak tahan menahan tawa mendengar laporan Aswin. “Laporan diterima, laksanakan,” kata Sandi sama menahan tawa di balik kamera. “Siap laksanakan, balik kanan bubar jalan.” “Hahaha…” akhirnya tawa Eki pecah setelah balik kanan. Zhera yang masih belum selesai membereskan peralatannya ikut tertawa. Ia sangat terhibur dengan apa yang dilakukan oleh tim Yukaitukadieu.id tersebut. “Sekarang jam 08.38 ketinggian di 2100-an MDPL, Kita segera berangkat menuju Cikasur. Tapi masih belum tahu kita akan camp di Cikasur atau di Cisentor, karena rencananya kita berangkat jam tujuh pagi dan ternyata kita berangkat jam sekitar 8.45 mungkin Kita berangkatnya,” seperti biasa Aswin memberikan informasi pada mata kamera, dan sesekali melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. “Durasi tempuh target di enam jam, kalau kita berangkat sekitar jam Sembilan, berarti sampai di sana jam tiga sore, kemudian kalau lanjut lagi ke Cisentor itu akan tambah waktu lima jam lagi, yang artinya kalau lanjut kita akan sampai sekitar jam delapan malam di Cisentor...” Aswin menjeda laporannya. “Nah kita masih belum tahu cuaca, seharusnya kalau cuacanya begini terus, cerah dan enggak hujan gitu, harusnya kita bisa langsung ke Cisentor,” kepalanya menengok ke langit yang cerah. “Cuma karena kemarin itu hujan, jadi kedinginan segala macam, makanya Kita terpaksa nge-camp di sini. Semalam itu keputusan yang tepatlah ya kita nge-camp di sini karena udah kedinginan luar biasa dan karena basah sebenarnya, kalau kering sih enggak masalah,” ia menjeda lagi. “Cuman ini kita melihat ke langit…” ia melihat langit untuk kedua kalinya. “Langit, bisakah engkau turunkan hujan,” pinta Aswin pada langit. “Yah jangan donk hahaha…” sanggah Eki sambil tertawa. Ia tahu kalau Aswin hanya mengada-ngada meminta hujan turun kembali. “Kontingen dari Cinangneng siap jalan,” lagi, Aswin dan Eki melakukan hal yang sama dengan diakhiri yel-yel mataku. Langkah mereka disambut dengan pepohonan rindang, satu penanda tertancap di pohon, Cikasur 7,37 KM. jarak yang harus mereka tempuh siang ini. Zhera masih berjalan di belakang Sandi, tetap menghindar dari mata kamera. “Kenap Lo gak mau masuk dalam video?” tanya Sandi ketika sedang berjalan dan tidak mengambil gambar. “Belum siap, gak mau ketahuan orang-orang juga, gak mau terkenal, belum siap dengan stigma orang-orang, perempuan kok naik gunung sama laki-laki aja, gak ada perempuannya,” jawab Zhera mengalir seperti air. Sandi mengangguk mengerti. Perjalanan ini tidak berjalan mulus begitu saja, beberapa pohon tumbang menutupi ruas jalan yang sempit, pohonn itu menghalangi jalan mereka. Semacam rintangan yang harus mereka lewati, mereka menunduk atau melangkahi pohon-pohon tersebut. Pohon-pohon tumbang ini mengingatkan akan kekuatan tuhan yang maha menguasai hutan dan seisinya. Beberapa kali mereka berhenti untuk minum dan mengisi tenaga dengan cemilan kecil. “Tadi malam Lo kenapa?” tanya Sandi disela-sela istirahatnya. “Hah… biasa, inget masa lalu yang menjijikan,” dengan suara yang masih teregah-engah ia menjawab. “Menjijikan?” Sandi mengernyikan dahinya. “Hah… Iya…” jawab Zhera tiba-tiba berdiri. “Yu lanjut lagi…” ajaknya. Ketiga laki-laki yang belum puas beristirahat melotot menanggapi ajakan Zhera. “Gak salah Lo?” Aswin tidak percaya. “Gak.” Padahal masih terdengar jelas napas Zhera yang terengah-engah karena cape. Pertanyaan Sandi mengingatkan ia pada hal yang menjijikan dalam pikiran Zhera. Ketika pikiran itu muncul, ia merasa ingin terus berlari, berlari tanpa henti. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Benci dan menyesal mengapa ia melakukannya. “Tunggu, dikit lagi, minimal abisin kacang nih,” sanggah Aswin yang masih menikmati kacang ditangannya. “Yah… okelah…” Zhera kembali duduk lemas, meminum seteguk dua teguk air. “Gue curiga, hal yang menjijikan itu justru berkesan banget dalam pikiran Lo.” Aswin menatap dan senyum sinis. “Gue jadi penasaran. Apa sih yang pernah Lo lakukan dengan mantan Lo itu. Akh engga, pertanyaan Gue salah, apa yang pernah Lo kasih ke mantan Lo itu?” keduanya bertatapan tajam. “Penting pertanyaan Lo Gue jawab?” suasana menjadi tegang. Aswin mengangguk menjawab pertanyaan Zhera. “Aah…” Zhera berteriak melepaskan pikirannya. Salah satu cara membuang beban pikirannya adalah dengan berteriak. Ia sering melakukannya, dan bantal adalah yang paling sering jadi sasaran amarahnya. “Teriak aja, sampai Lo benar-benar puas. Kita dengerin semua teriakan Lo,” ucap Sandi menenangkan. Tidak lama mereka istirahat. Mereka melanjutkan kembali perjalanan. Masih dalam hutan, landai, menajak, menyempit karena semak terus mereka lewati, dan masih ada saja pohon tumbang menghalangi jalan mereka. Zhera masih dalam ingatan masa lalu, walau terus melangkah ke depan menuju puncak Argopuro, tapi hati dan pikirannya tertinggal di masa lalu. Mereka saling terdiam dan fokus pada langkah mereka masing-masing. Keril yang berat menambah lelah setiap langkahnya. Hari cukup terik sehingga rasa haus sering terasa. Bahkan Eki yang sejak kemarin kuat dengan kerilnya, beberapa kali menjatuhkan diri pada semak-semak, bersandar pada keril di belakangnya. Lalu berdiri dan melangkah kembali. Setelah perjuangan melalui hutan dengan pohon-pohon tumbang, akhirnya mereka melihat sebuah celah besar dengan cahaya luas dan pandangan tak terbatas. “Sabana Kecil, inti dari Mata Air Dua,” ucap Eki lirih. Ia mempercepat langkahnya menuju sabana kecil yang memesona. Pemandangan yang membentang di depannya menakjubkan, ladang hijau yang tak berujung dan langit biru yang luas. Zhera melompat-lompat dengan gembira, ekspresi wajahnya penuh dengan kebahagiaan yang tulus. Hatinya bergelora saat melihat pemandangan indah di hadapannya. Dia merasakan kekuatan alam yang luar biasa, dan tak bisa menahan diri untuk berlari melintasi sabana yang luas. Dengan setiap langkahnya, Zhera merasakan kelembutan rumput di kakinya. Tangannya terulur, seolah-olah dia ingin merangkul segala keindahan yang ada di sabana kecil ini. Bunga-bunga liar yang tumbuh dengan bebas menyambut kedatangan mereka. Bunga-bunga itu memberikan harum yang menyegarkan pada setiap napas yang di hirup. Zhera melanjutkan larinya, melintasi sabana yang menawan ini. Aswin, Sandi dan Eki tertinggal sedikit jauh, mereka ikut bahagia melihat keceriaan yang Zhera tampakkan. Dia benar-benar menikmati setiap garis keindahan di tempat ini. “Aaakkhh…” ia berteriak lagi, melepas semua beban pikirannya. Akhirnya, Zhera sampai di sebuah pohon yang berada tepat di tengah sabana. Dia berhenti di bawah naungan pohon, menjatuhkan kerilnya yang masih sama beratnya meski beberapa isinya sudah dikeluarkan. Zhera menghirup udara dalam-dalam, merasa seakan dunia berhenti sejenak untuk memberinya kesempatan menikmati kedamaian dan keindahan sekelilingnya. Aswin, Sandi dan Eki bergabung dengannya. Mereka menghela nafas lega setelah perjalanan yang melelahkan, tetapi senyum di wajah mereka tak pernah pudar. Mereka merasakan kedamaian dan ketenangan yang sama di tempat ini, dan itu membuat mereka semakin dekat sebagai teman seperjalanan. Mereka tidak beristirahat lama di sabana kecil, cukup dengan berfoto ria dan Sandi mengambil gambar dengan drone. Pemandangan dari atas terlihat lebih indah, dan mereka terlihat lebih kecil, bahkan tak terlihat sama sekali. terakhir satu dua teguk air meluncur di tenggorokan, lalu melanjutkan kembali mamasuki hutan menuju Cikasur. “Cantik banget Lo tadi pas lari-lari,” puji Sandi. “Gombal Lo,” balas Zhera yang tersenyum simpul. Aswin yang mendengar pernyataan Sandi pun tersenyum sinis. “Jadi pernah ngasih apa aja Lo sama si mantan Lo itu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD