Episode 13 Bayangan Masa Lalu

1358 Words
Tenda kecil Zhera terletak tepat sebelah pohon tinggi di sisi kanannya, dan sisi kirinya tenda Aswin dengan yang lainnya. Ia rebahkan tubuhnya yang telah dibalut sleeping bag, membuat hawa dingin terhalang oleh hangatnya sarung tidur itu. Hampir tidak ada cahaya masuk ke dalam tenda, hanya lampu yang ia nyalakan. Tak ada bintang malam ini, sejak sore langit menyembunyikan cerianya. Ia menatap langit-langit tenda dengan pandangan kosong. Namun masih sadar mendengar suara-suara halus pada tenda sebelah, tidak jelas namun cukup berisik. Suara angin berdesir lembut, menggetarkan kain tipis tenda yang dihuninya. Suara itu menjadi teman setianya malam itu, memberikan sedikit kenyamanan dalam kesunyian yang sedikit pahit. Saat Zhera memandang langit-langit tenda, kilasan kenangan tiba-tiba melintas begitu saja dalam pikirannya. Dia mulai membayangkan wajah Farel, mantan kekasihnya. Zhera teringat saat-saat indah bersamanya di kampus, ketika mereka berdua saling menemani mengerjakan tugas walaupun memiliki jurusan yang berbeda. Mereka berdua seringkali larut dalam diskusi dan tawa yang tak terlupakan. Namun, bayangan itu juga membawanya ke momen pahit. Memori tentang Farel berselingkuh. Rasa sakit dari pengkhianatan yang dahulu terluka kembali terasa, membuatnya merasa seperti ditusuk-tusuk di dalam hatinya. Dia bisa merasakan kemarahan dan kekecewaan yang meluap dalam dirinya. “Akh…” Zhera berteriak, tangannya mengepal, matanya terbuka lebar, napasnya memburu. Memori itu muncul, Zhera tidak dapat menahan emosinya. Dia melampiaskan kekesalannya dengan berteriak di dalam tendanya yang sunyi. Suaranya yang kesal dan putus asa terdengar samar-samar di antara gemuruh angin malam. Zhera membiarkan air matanya mengalir, merelakan emosinya melepaskan beban dalam keheningan malam itu. Suara angin terus mengalun, menyampaikan kehadirannya yang menghibur di tengah kesendirian Zhera. Sementara itu di tenda sebelah… “Gimana rasanya pelukan sama cewek di gunung kaya tadi Bang?” tanya Eki. Mata Eki belum terpejam, ia sulit tidur mengingat adegan Zhera dan Aswin. “Hus, apaan sih Lo nanya gitu.” Aswin berusaha menghindari pertanyaan Eki. Sejak tadi ia berusaha terpejam, namun masih gagal. Pikirannya ada di tenda sebelah. “Akh…” terdengar suara Zhera berteriak. “Tuh kan, dia denger,” Aswin menakuti Eki dengan sedikit berbisik. “Gak mungkin kedengeran Bang.” Eki berbisik, “Terus kenapa dia teriak?” tanya Aswin. Matanya kini terjaga. “Kayanya malam ini kita di suruh begadang Bang, bahaya nih cewek sebelah kalo sampe jerit-jerit tengah malam.” Eki menerka. “Biar Gue cek kondisinya, kali aja digigit kalajengking.” Sandi bergegas bangun dari tidurnya dan membuka tenda. Angin malam menguar masuk ke dalam tenda, Sandi sudah lolos keluar dan menuju tenda sebelah. “Lo kenapa? Gak apa-apa Zher?” tanya Sandi. Di dalam tendanya, nafas Zhera masih tak beraturan mengatur emosinya. “Gue gak apa-apa,” jawab Zhera, menyembunyikan perasaannya. “Lo harus paksain istirahat buat besok, kalau ada apa-apa teriak lagi aja panggil gue atau yang lain.” Sandi memberi perhatian. “Iya, gue ngerti,” jawabnya singkat. Sandi kembali ke tenda. Padahal tanpa ia keluar dari tenda pun akan terdengar jika ingin bertanya apapun pada tenda sebelah. Bahkan jika hanya sekedar mengobrol saja bisa. Memang alasan Sandi aja yang ingin mendekati Zhera, atau berharap bisa masuk ke dalam menemaninya atau bahkan memeluknya. Pipi Aswin menghangat membayangkan Sandi benar-benar dipersilakan masuk ke dalam tenda Zhera. Ia buang napas kasar. Ada apa dengan Aswin. Lambat laun malam semakin larut, tidak ada tanda-tanda buruk dari tenda Zhera. Ketiga pria yang terjaga akhirnya mendengkur menikmati malamnya. Hanya terdengar angin yang berhembus bercengkrama dengan pepohonan dan semak-semak di Mata Air Dua, tidak ada rintik hujan seperti sore tadi, malam ini hujan menahan rintiknya, memberikan kesempatan nyenyak pada penghuninya. --- Matahari terbit dengan gemilang di langit Mata Air Dua. Suara riang burung-burung berkumandang di antara pepohonan, menyambut kedatangan pagi yang baru. Hawa udara segar, harum tanah dan dedaunan memenuhi udara sekitarnya, mengembuskan semangat dan kehidupan. Zhera terbangun lebih awal dari pada yang lainnya, Aswin, Sandi, dan Eki. Dia menggeliat perlahan dan merasakan kehangatan sinar matahari yang masuk melalui celah-celah semak dan rimbunnya pepohonan. Dengan langkah hati-hati, dia beranjak keluar dari tenda dan menyapu pandangannya ke sekeliling. Zhera menghirup udara dalam-dalamn menikmati oksigen super bersih dari alam pegunungan. Ia tersenyum menikmati setiap hembusan napasnya. Pemandangan yang menakjubkan masih sembunyi tertutup semak yang tinggi di hadapannya. Zhera merasa seakan-akan dunia ini miliknya, di sini dia merasa bebas dan tenang. Tidak ingin mengganggu tidur teman-temannya, Zhera dengan hati-hati mengambil peralatan di tenda sebelah, ia hendak memasak untuk sarapa. Lalu mengambil beberapa perbekalan dari tasnya yang belum sempat ia keluarkan. Ia mulai menyalakan api kecil di atas kompor portable. Ada dua kompor portable yang mereka bawa. Ia mulai memasak air hangat untuk membuat teh atau kopi yang akan menghangatkan badannya. Sedangkan tungku sebelahnya ia siapkan memasak. Beberapa makanan yang ia bawa seperti chiken nugget, sosis, bakso, dan beberapa frozen food ia masak secukupnya untuk sarapan mereka pagi ini. Aroma penggorengan yang harum mulai tercium di udara membangunkan Sandi dari lelapnya. “Wah nyonya sudah bangun?” suaranya masih Serak. “Hai, San, mau gue bikinin kopi?” tawar Zhera menyambut Sandi. “Boleh.” Sandi keluar dari tenda, menggeliat, melalukan hal yang sama dengan Zhera, menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Ibadah dulu San,” ucap Zhera. Sandi yang sedang menikmati udaranya langsung menghadap Zhera. “Lo sendiri udah?” “Udah dari tadi donk,” jawab Zhera sambil fokus membuat kopi. “Oke,” ia pun melaksanakan kewajibannya. Sambil menunggu makanannya matang, Zhera melihat ke sekitarnya. Dia melihat burung-burung yang bermain di langit, saling berkejaran dan bersahutan dengan riang. Mereka menciptakan simfoni alam yang menenangkan dan mempesona. Zhera tersenyum, merasakan kehadiran mereka, dan ia sangat menikmatinya. “Wah wangi kopi,” sekarang giliran Eki yang berkomentar. “Mau donk nyonya cantik Aku dibuatkan.” Eki merayu, seolah ia meminta pada ibunya. Kemudian Zhera pun membuatkan. Tiga cangkir sekaligus, buat Aswin sekalian. Ia hirup aroma kopi, tak kalah segar dengan udara pagi itu. Dia mengambil roti dari dalam tasnya dan meletakkannya didekat cangkir kopi dan teh, ia kembali menikmati kegiatan memasaknya, dia merasa bahagia bisa nyuguhkan sarapan sederhana pagi ini. “Sarapan mewah, kopi dengan roti, ada chiken nugget, sosis dan bakso, mantap sekali…” Eki berkomentar lagi. Sampai sarapan selesai disiapkan Aswin masih terlelap, maklum, ia paling terakhir memejamkan mata. Ia awas dengan kejadian singkat semalam, khawatir Zhera berteriak aneh lagi. Karena takut kopi dan sarapannya mulai dingin Eki membangunkan Aswin. Dengan malas, akhirnya ia pun bangun. “Bang… ayo bang… mau lanjut gak kita nih.” Eki menggoyangkan badan Aswin yang masih terbungkus sleeping bag. Sandi juga ikut merekam sang bintang utama yang masih meringkuk. “Bang… ayo…” Aswin bangun dan melihat ke sumber suara. “Aw…” dengan suara kemayu melihat kamera, “Aw Aku malu…” masih dengan suara kemayunya. “Aku malu… Aku malu… jam berapa ini?” kemudian menutup wajahnya pura-pura malu. “Setengah enam…” jawab Eki. “Hah…” ia menghembuskan napas kasar, “Iya, gue bangun…” suara aslinya keluar, berubah kepribadian secepat kilat. Sama dengan Sandi, sebelum sarapan Eki dan Aswin berdiri memenuhi kewajibannya terlebih dahulu. “Wah sudah ada kopi dan roti,” mata Aswin berbinar melihat sarapan yang sudah siap santap. “Ya teman-teman, seperti bangun pagi biasanya di gunung.” Aswin bicara pada mata kameranya, “Kalau di gunung, bangun pagi adalah hal yang fana…” dengan nada cengengesaannya sambil menghirup kopi, “Biasanya kita bangun agak siang, ya jam Sembilan atau sepuluh,” ucap Aswin sambil menikmati kopi dan rotinya. “Tapi apa daya di pagi ini, godaan pembuat kopi ini membuat sayah harus terbangun lebih pagi ini hahaha…” lanjutnya. Ketiganya ikut tertawa. Sandi tak pernah melewatkan setiap moment untuk diabadikan, sekalipun itu kicauan burung dan gemercik air pada sumbernya. “Sarapan special pagi ini dengan nasi sisa kemarin masih bagus dan ada chiken nuget, wah mewah sekali teman-teman,” ia melahap sarapannya, “Mantap,” ucapnya lagi. Mereka sarapan dengan khidmat, tertawa riang tak kalah dengan burung di pagi ini. Mentari menyoroti tubuh mereka yang semalam kedinginan. Cahaya hangat masuk memberi tenaga baru untuk hari ini. Selesai sarapan mereka segera bergegas membereskan tenda, menjemur pakaian, rain cover bag, dan beberapa pakaian basah. Langkah mereka berlanjut menuju Cisentor. “Siap grak, balik kanan bubar jalan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD