Episode 12 Angker

1504 Words
“Hahaha…” ketiga laki-laki di hadapan Zhera tertawa lagi. “Yu lanjut yu.” “Kalian bercanda woy?” Zhera belum puas. “Hahaha jangan serius-serius Nyonyah di gunung,” ucap Aswin cengengesan. “Justru kalian jangan sesumbar dan bercanda kaya tadi di gunung,” Zhera memperingatkan. Zhera meyakini jika di gunung atau laut tidak boleh berbicara sembarangan, sesumbar, atau merasa sombong, ia percaya kalau melakukan hal seperti itu akan terjadi sesuatu yang merugikan pelakunya. “Hahaha…” malah dibalas ketawa oleh Aswin, sedang kedua temannya hanya tersenyum. “Yu akh lanjut,” Sandi mengaktifkan lagi kamera, Zhera bergegas ke belakang Sandi. Kini Aswin dan Eki paling belakang, mulai di rekam oleh Sandi dengan berjalan mundur. Jalan agak menanjak, namun tidak terjal. “Mana matamu…” kata Awin tiba-tiba sedikit berteriak. “Ini mataku mata kiri mataku mata kanan mataku mata-mata.” Aswin dan Eki menyanyikan sebuah yel-yel yang pernah viral di sosial media. mereka mengulanginya beberapa kali. Seharusnya ini lucu, tapi Zhera masih dengan ketakutannya berdiri di belakang Sandi. Tak lama hujan mulai manjatuhkan rintiknya satu persatu. Payung mereka buka, tidak perlu memakai jas hujan, payung cukup untuk melindungi mereka dari basah. Pepohonan yang tinggi cukup melindungi mereka dari deras air hujan yang jatuh. Namun tetap basah jika tidak memakai payung. “Biasanya kalau basah kita akan lebih cape, karena jalan akan terasa licin dan tanah menempel disepatu. Apalagi kalau keril dan barang-barnag kita ikut menjadi basah, tambah berat lagi,” ucap Aswin didepan kamera, lalu melanjutkan lagi perjalanan. Setiap kali sandi mengaktifkan kamera, Zhera selalu bergegas ke belakang Sandi, ia benar-benar menghindar dari mata kamera. Walaupun sudah begitu, tetap saja Sandi masih bisa mengambil gambarnya pada sudut pandang yang berbeda. Bagian itu ia serahkan pada editor Aswin, semoga tidak ada satu batang hidung pun Zhera dalam vidionya. Mereka berjalan di bawah hujan, kembali fokus pada langkah mereka yang akan terasa lebih berat karena hujan. Beberapa kali berhenti sejenak saat hujan menghentikan rintikannya. Lalu mengisi tenaga dengan beberapa cemilan manis. Biscuit ataupun coklat. Stik coklat memang paling manjur jika perjalanan panjang nan melelahkan, tapi jika tidak ada coklat bisa diganti dengan gula merah. Saat pendakian, mengkonsumsi gula merah atau coklat juga bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Kandungan glukosa, karbohidrat, potassium, magnesium, dan sodium dapat mengembalikan kadar elektrolit yang hilang dalam tubuh melalui keringat atau urin ketika berjalan teru tanpa henti di pendakian. Tanpa terasa gula merah atau coklat sedikit demi sedikit dikonsumsi saat pendakian akan menambah tenaga ketika mulai merasa lemas dan capek, karena gula mengandung banyak karbohidrat dan glukosa yang merupakan sumber energi bagi tubuh. “Sampai juga di Mata Air Dua teman-teman,” ucap Aswin pada mata kamera. “Dari portal tadi itu total durasi tempuhnya ada di dua jam 20 menit. Menurut warga, tadi di dua jam saja waktu tempuh ke sini. Ya… karena hujan mungkin ya jadi kita jalannya lambat. Total jarak dari Mata Air Satu ke sini itu 2,6 kilo, ternyata sesuai dengan papan yang ada di depan di pos satu, sampai pos dua yaitu di 2,5 sekian kilo, 2,56 kilo kalau enggak salah, nah di GPS Gue dicatat di 2,6 kilo dan di Mata Air Dua ini ketinggiannya 2.160 MDPL.” Aswin menerangkan informasi yang ia dapat di depan kameranya. “Di sini juga ada tempat yang pas buat ngecamp,” ucap Aswin masih pada mata kameranya, sambil menunjuk tanah datar disebelah kanannya. Di belakangnya satu pohon tinggi menjulang, sedangkan disekitarnya lebih banyak semak-semak tinggi melindungi tenda dari angin jika terjadi angin besar. “Tapi di sekitar sini gak ada air, kayanya kita harus turun ke bawah, yang entah berapa jauh dan berapa lama jaraknya ke sumber air, tapi kata Eki sih ringang, jadi memang diantara kita kebetulan ada Eki sahabat kita yang paling kuat.” Sandi mengalihkan kamera ke arah Eki yang sedang bergaya bak pemain MMA, menunjukkan otot-otot kuatnya. Padahal sebenarnya badan Eki paling kecil jika dibandingkan dengan Aswin dan Sandi. Badan Aswin cenderung tinggi berisi, dengan rambut sebahu dan kulit berwarna super sawo matang. Sedangkan Sandi tinggi, namun porsi ototnya lebih sedikit daripada Aswin. Dan Eki sendiri adalah yang paling kecil, paling ringan badannya jika ditimbang. “Kita belum tahu akan nge-camp di sini apa enggak, kayaknya kemungkinan besar enggak, kita akan jalan terus, cuman ini masih harus didiskusikan begitu.” Aswin menjeda. “Soalnya, kalau misalnya kita nge-camp di sini kemungkinan besar nambah satu hari, atau kalau mau tetap di empat hari, berarti besok kita harus jalan dari jam tujuh, paling lambat kita harus bangun jam enam, bahkan sebelumnya kita harus masak-masak segala macam dan berangkat dari jam tujuh.” Aswin melanjutkan laporan informasinya pada mata kamera. Sedang Zhera hanya memerhatikan dari jauh, ia mulai merasakan kedinginan akibat hujan. “Perjalanan dari sini sampai ke Cisentor yang berarti ngelewatin Cikasur, kemudian Cisentor itu berarti sekitar 10 sampai 11 jam, kalau mau malam ini nge-camp di sini pun, berarti malam ini kita tidur maksimal di jam sembilan malam begitu, tapi kita masih belum tahu, mungkin kita istirahat sambil mikir-mikir gimana nih selanjutnya,” pungkas Aswin membeberkan beberapa kemungkinan dan rencana untuk esok hari. Eki mulai turun mencari air bersama Sandi. Membawa beberapa kantong plastik khusus air untuk persediaan. Kantong plastik ini unik, karena ada lubang seperti tutup botol, lalu nanti setelah airnya habis bisa di gulung kembali dan dipakai kembali. Simpel dan tidak memakan banyak tempat. Aswin melihat hal aneh yang dilakukan Zhera. Ia terlihat semakin menggigil memeluk dirinya sendiri. “Zher, Zhera… Lo kenapa?” Aswin mengguncang badan Zhera. “Di… dingin…” ucapnya lirih, matanya tertutup. Aswin memeriksa keadaannya, belum sampai pada gejala hipotermia, hanya kedinginan karena hujan. Ia bergegas melepas keril Zhera dan jaketnya yang basah, lalu langsung memeluknya erat. Meniup ubun-ubunnya dalam sampai Zhera merasa lebih tenang. “Woy bang…” tiba-tiba Eki dan Sandi muncul langsung mengintrupsi Aswin dan Zhera. “Kita lelah-lelah turun cari air, Lo enak peluk-pelukan sama cewek,” cecar Eki sewot. “Hus…” Aswin meredakan dan membela diri, “Sedikit lagi hipotermia bahaya onyon,” ucap Aswin masih memeluk Zhera, namun eratannya berkurang. Sandi yang muncul belakangan pun kaget melihat hal yang dilakukan oleh Aswin, mengapa bukan dengan dirinya yang berada diposisi Aswin. Di pojok hatinya seperti ada goresan jarum, lembut namun terasa perih. “Tapi lo gak apa-apa Zher?” tanya Sandi mengondisikan emosinya anehnya. “Sekarang udah baikan kok,” jawab Zhera. “Kalau begitu hari ini kita camp di sini saja. Jangan paksakan kalau memang ada yang sakit atau cape, sekarang kita bikin tenda.” Aswin mengambil keputusan. Target yang sebelumnya mereka harus camp di Cikasur, akhinya mereka putuskan di Mata Air Dua karena memang kondisi Zhera yang menggigil, diikuti oleh Aswin dan Sandi merasakan hal yang sama dengan Zhera. Hanya Eki yang daya tahan tubuhnya kuat. “Guide Yukaitukadieu.id memang top, nah Zher, Eki ini guide utama Yukaitukadieu.id,” kata Aswin, yang langsung dibalas Eki. “Saya orangnya,” kata Eki pada mata kamera. Selain bercerita pada Zhera, Aswin pun selalu sigap menerangkan semua keadaan pada kamera. Sandi pun tak kalah sigap, kamera cepat sekali on di tangan Sandi. Dua tenda berdekatan sudah berdiri. Tenda untuk Zhera terlihat lebih mungil dibanding dengan tenda sebelahnya karena untuk tiga orang dan barang-barang bawaan yang harus di amankan. Sementara Aswin dan Sandi menyelesaikan tenda, Eki bergegas memasang gas dan memasak air hangat dan tambahan makanan untuk makan malam. Zhera masih istirahat di dalam tenda. Berganti pakaian dengan pakaian kering sehingga nyaman untuk istirahat. “Zhera… Zher makan dulu.” Sandi mengambil kesempatan membangunkan Zhera yang sudah meringkuk memeluk tubuhnya di dalam sleeping bag. “Iya…” suaranya serak. “Kita makan harus dipaksain makan, karena ini salah satu cara untuk menghangatkan tubuh. Jangan sampai lapar.” Sandi memperingati. “Jadi, tadi kita sempat mendapatkan serangan-serangan gitu, kayak ada yang ngikutin kita, atau membisikan dan menghembuskan bisikan ke telinga kita, itu memang kayaknya kita kedinginan, kedinginan tuh kayak kesambet makanya harus makan sehingga perasaan-perasaan itu gak dateng, begitu kira-kira, dan kita masih makan sisa makanan yang tadi siang, sepertinya masih bisa di makan untuk besok pagi. Mantap,” pungkas Aswin pada mata kamera yang dipasang dengan tripod. “Gue mau air anget lagi donk,” pinta Zhera, Sandi dengan telaten mengambilkan untuk Zhera. “Mau pakai gula atau teh atau kopi?” hanya di jawab dengan gelengan kepala Zhera, tanda tidak mau. Zhera menghirup dalam-dalam uap yang keluar dari air putih di gelasnya lalu meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa hangat terus menjalar pada tubuhnya, mengembalikan stamina yang sempat menurun. “Kalian setiap naik gunung selalu bikin vlog ya?” tanya Zhera. “Ya pastinya donk, demi adsense kita harus tetap membuat video hahaha, demi ongkos, demi subscriber, karena kita apa?” tanya Aswin sedikit berteriak. “Pengangguran, hahaha” jawab Eki dan sandi bersamaan. Zhera ikut tersenyum. Mereka menikmati malam tanpa api unggun, setelah makan semuanya memasukan tubuh pada sleeping bag masing-masing. Mulai menutup mata berharap esok hari cerah ceria. “Bang…” panggil Eki, sedikit berbisik. “Gimana rasanya pelukan sama cewek di gunung kaya tadi?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD