Episode 10 Wawancara

1660 Words
Menuju mata air satu dengan menggunakan ojek. Aswin memimpin paling depan, kemudian di ikuti oleh Eki lalu Sandi dan terakhir Zhera sesuai intruksi Aswin. Perjalanan dibuka dengan jalan aspal yang tidak seluruhnya rata, sudah terdapat beberapa jalan yang rusak dan belum diperbaiki. Tak lama kemudian jalan berubah tanah dan bebatuan, mobil masih bisa melewati jalanan ini. Terlihat beberapa truk sedang terparkir hendak menaikan hasil alam di daerah Baderan. Kentang, kubis, wortel dan hasil pertanian lainnya yang sedang di panen. Zhera takjub melihatnya, ini pertama kalinya lagi ia melihat proses memanen sayuran, walaupun hanya sekedar lewat saja. Memasuki jalan kecil, pegangan Zhera semakin semakin erat pada jaket yang dipakai supir ojek yang membawanya, bahkan beberapa kali rantai pada roda tersangkut diakar, sehingga harus turun dulu dari ojek dan berjalan beberapa langkah. Goncangan akibat jalan yang tidak rata, membuat badan Zhera serasa remuk. Bahkan pada pertengahan jalan ditemui pohon tumbang. Kerennya lagi dilewati oleh ojek-ojek itu dengan mengangkat motornya, saling bahu membahu mengangkat motor teman-temannya. Zhera melotot, geleng-geleng kepala, bisa-bisanya pohon tumbang dan super besar itu lalu di gilas dengan motor. “Teman-teman jadi si jalannya ini dari awal sampai sekitar beberapa menit kita jalan, itu jalannya langsung hancur,” ucap Aswin pada mata kamera. “Kabayang kalau hujan, ini jalannya akan sangat licin sekali, karena jalur motor ini akan menjadi jalur air. Enggak hujan saja kita masih harus naik turun dari ojeknya, apalagi kalau hujan. Tapi mau hujan ataupun tidak, gue rekomendasiin naik ojek karena perjalanan dari basecamp Banderan itu ketinggiannya di 580 MDPL dan ini kita belum sampai di Mata Air Satu yang ketinggiannya udah di 1326 MDPL, jadi menurut gua oke banget sih naik ojek begitu kira-kira.” Aswin bicara lagi di depan kamera pada saat turun dari ojek. “Bener ga Bang yang dibilang orang itu?” Zhera bertanya pada supir ojek yang membawanya. “Betul mbak, dan perjalanan akan lebih lama, lebih capek,” jawabnya. “Ini kita masih jauh?” “Enggak, sedikit lagi sampai di Mata Air Satu.” “Kalau Mata Air Dua bisa pakai motor juga?” “Bisa, tapi nambah ongkosnya lagi.” Zhera hanya manggut-manggut. Kemudian fokus kembali pada pegangan kang ojek. “Akhirnya sampai di Mata Air Satu.” Suara Aswin sudah terdengar di atas sana, Zhera paling terakhir, terlihat kamera Sandi menyambut kedatangannya. “Woy, kan gue bilang jangan rekam gue.” Turun dari motor Zhera langsung protes. “Rekam doang, gak apa-apa kali, gue ga masukin youtube, buat dokumentasi pribadi aja, gak boleh emang?” Sandi membela diri. “Tapi lain kali ijin dulu.” Zhera mencebik. “Mana mau ijin, lo masih di bawah, kamera udah on dari tadi nyonyah,” bela Sandi, suasana agak menegang melihat persilatan lidah Sandi dan Zhera. “Gak apa-apa kali kita rekam, entar juga lo dapet vidionya, ga bakalan rugi, gratis kita rekamin, rekam loh, bukan cuma foto, jadi video yang bisa lo nikmatin lagi kapanpun kalo kangen kita hahaha.” Eki menambahkan lengkap dengan guyonnya. Zhera hanya menghela napas. Pasrah. Dipikir lagi memang tidak ada salahnya jika ia ada dalam rekaman mereka, yang penting tidak ada dalam vido yang akan di upload nantinya. “Nah dari sini kita jalan sampai ke Cikasur” Aswin bicara pada kamaera, “Katanya kalau sampai Cikasur, kata si abang ojek, sekitar delapan jam, itu juga belum dipotong istirahat, mau makan siang sambil istirahat bisa, kita juga tadi tanya apakah boleh jalan malam apa enggak, dan ada binatang atau engga. Nah katanya binatang ada, paling babi hutan, terus gue tanya lagi kan, ‘ada macan kumbang gak?’, gak ada katanya, paling adanya kumbang-kumbang di taman jangan kau merayu.” “Hahaha…” Zhera spontan terwa mendengar Aswin bilang kumbang-kumbang di taman sambil berjoget. “Kok bisa nyambung ke situ, hahaha macan kumbang dan kumbang di taman. Haha.” Zhera melepas tawanya. Suaranya cukup keras untuk tawa seorang perempuan yang baru mereka kenal. Refleks ke tiga laki-laki itu memandang Zhera yang sedang tertawa, “Kenapa memang? lucu kan?” “Hahahaha…” semuanya tertawa. Lalu kembali pada kesibukan masing-masing. Seteguk, dua teguk air meluncur di tenggorokan. Meski menggunakan ojek, rasa lelah tetap mengikuti mereka. “Dari sini perjalanan sesungguhnya di mulai, selama empat hari ke depan kita akan terus berjalan, semoga tidak turun hujan sama sekali. Yu berangkat,” ucap Aswin sambi melihat kondisi langit yang terpantau cerah, langit biru disertai awan putih menjadi garis keindahan perjalanan ini, awan-awan putih itu sesekali menaungi mereka kala di perjalanan. Mereka bedoa kembali, dan mulai melangkah. Pepohonan tinggi sudah mulai terlihat sejak tadi, semak-semak rimbun menjelma bak lorong dibelantara hutan dan menuupi jalan, rasanya tidak akan terlalu panas meski matahari terik menyorot di atas sana. Jalan pun mulai menanjak. “Zhera,” panggi Sandi, pada Zhera yang ada di depannya. “Iya,” jawabnya, ia fokus melihat langkahnya ke bawah. “Kenapa alasan lo naik gunung patah hati?” “Karena gue emang patah hati.” Zhera menjadwab pembukaan wawancara dari Sandi, tepatnya Sandi penasaran dengan alasan Zhera ikut dalam trip ini. “Lo patah hati kenapa? Putus cinta atau berantem sama temen?” tanya Sandi lagi. “Cowok gue nikah sama orang lain, sama temen gue sih, tapi bukan temen deket banget.” “Ini, dia, nikahnya, statusnya masih pacar lo maksudnya?” tanyanya lagi, ragu-ragu. “Iya,” Zhera ngos-ngosan, menjawab dengan terbata-bata. “Ini, kita, masih jauh gak?” “Hahaha.” Aswin tiba-tiba tertawa. “Heh Nyonyah, kita baru jalan tiga puluh menit, dan kita akan berjalan tiga hari, udah nanya jalan masih jauh, hahaha.” Tawa Aswin terdengar sangat puas. “Bang… woy…” terdengar suara eki dari jauh berteriak, ia jalan lebih dulu dari yang lainnya. “Ya Ki, apaan?” sahut Aswin dengan berteriak juga. “Itirahat dulu, ada pos nih, gue lapar juga.” “Nha tuh kita istirahat di sana Nyonyah.” Mereka kemudian sedikit lebih cepat jalan dari sebelumnya karena ingin segera beristirahat di pos yang dimaksud Eki. Sejak mereka mengetahui segala hal pertama kali untuk Zhera, kini ia terus-menerus di pangil ‘Nyonyah’ dengan penekanan huruf H di akhirnya. Bak nyonya dari kerajaan, Zhera sangat minim sekali pengetahuan tentang pegunungan. Mereka beristirahat di sebuah pos portal Mata Air Satu untuk makan siang dan menyesap satu batang rokok. “Bisa sih kita dua batang tiga batang, tapi bekalnya cuma sampai tengah, eh sisanya tahan lapar, mending kalau bisa kalau meninggal? Hahaha…” kata Aswin pada kamera, dengan wajah lucunya membuat Zhera senyum-senyum sendiri memerhatikan Aswin. “Jadi kita habiskan makan dulu, lalu satu batang dan lanjutkan perjalanan.” Pungkasnya pada kamera. “Nikmat banget ya makan di kala sedang cape-capenya dan lapar-laparnya gini,” ucap Zhera saat menjilati jari-jarinya seusai menghabiskan makan siang yang ia bekal dari basecamp Baderan. Lalu mencuci dengan air botol yang dibekalnya pula. Menjilati jari seusai makan sudah menjadi kebiasaan Zhera dan keluarganya, secara sains itu akan membantu mempercepat proses mencerna makanan pada tubuh. Dan secara agama, itu adalah sunah yang Rasulullah ajarkan. Dapat kenyang, dapat pahala juga. “Yu lanjut.” Aswin sudah berdiri. “Ayo.” Semangat Zhera kembali setelah menghabiskan makannya. Dan mengangkat kerilnya lagi. Berat. Ia teringat pesan ayahnya untuk menyewa porter, sebagai salah satu sayarat ikut pendakian ini, tapi tidak sepenuhnya ia lakukan. Ia memilih membawa barang-barangnya sendiri. Sebelumnya ia bilang ke admin, entah Eki, Sandi atau Aswin yang menerima dan membalas pesannya, yang pasti ia katakan ia tidak bisa membawa sepenuhnya alat pendakian, yang ia bisa bawa alat pribadi, dan selebihnya memilih membayar beban yang akan di bawakan oleh admin. “Oh iya…” dengan suara ngos-ngosan Zhera berucap, entah pada siapa. Di depannya kini Aswin dan Eki karena Sandi melangkah lebih cepat untuk mengambil sudut pandang lain dari kameranya. Kedua orang di depannya tidak menyahut. “Tim Yukaitukadieu.id ini hanya kalian bertiga?” “Hmm,” jawab Aswin singkat. “Beneran? Jadi gue panggil kalian waktu itu mbak-mbak salah panggil donk?” masih dengan nada ngos-ngosan dan sedikit tawa ia akhiri ucapannya. “Iya, aneh gue rasanya di panggil embak haha,” sahut Eki. “Lo juga balas mba lagi ke gue,” balas Zhera, “Kenapa gak bilang kalau kalian cowo semua?” “Takutnya lo gak jadi ikut hahaha,” ungkap Eki jujur. Tepatnya ia tidak ingin kehilangan keuntungan dari hasil pembayaran Zhera kala itu. “Gue bertekad, dengan siapapun nanti berangkat gue bakalan tetap ikut hah…” Zhera mengambil nafas cape. Langkahnya tak berhenti, ia terus menunduk fokus pada langkah kakinya. Tiba-tiba tangan Aswin terulur. Zhera yang bingung menatap Aswin, seakan bertanya, ‘ada apa?’ “Bisa gak lo naik sini? Nunduk terus sih lo, gak tahu ya jalan di depan kayan gimana?” kata Aswin sembari memerlihatkan jalan di depannya yang sedikit terjal dan sempit sehingga butuh pegangan. “Oh hah…” Zhera membalas uluran tangan Aswin dan memegangnya dengan erat, penuh dengan tenaga. “Makasih.” Jalan yang mereka lalui cenderung landai, namun mereka juga beberapa kali menemukan jalan terjal bahkan pohon tumbang tepat di tengah jalan yang mereka lalui. “Jadi gimana cerita lo patah hati?” Sandi kini berada di belakang Zhera, masih ingin mendengarkan cerita Zhera. Zhera menatap Sandi dengan letih. Lain dengan Zhera, Sandi terlihat sama sekali belum terlihat kelelahan, malah tersenyum dilirik Zhera. “Cowok gue hamilin selingkuhannya dan bentar lagi mereka mau nikah hah…” Zhera menjawab dengan napas terengah-engah. “Atau jangan-jangan lo sebenarnya selingkuhannya,” ucap Aswin sekenanya mendengar percakapan dua orang di belakangnya. “Akh gue mau duduk dulu cape,” ucap Zhera belum menanggapi Aswin. Ia melihat sekeliling, mencari tempat aman dan nyaman untuk sekedar menyenderkan punggung. “Wah di depan ada batu, gue duluan duduk.” Zhera melewati Aswin dan Eki di depannya lalu menjatuhkan keril di rerumputan, dan mendaratkan pantatnya di batu, diikuti oleh yang lainnya. “Oke, sebatang dulu kita di sini,” kata Aswin. “Harus ya kalian ngerokok?” Pertanyaan Zhera memancing mata sinis dari laki-laki yang ada di depannya, kira-kira reaksi apa yang akan mereka tampakkan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD