Chapter 01
Gadis yang masih berumur 13 tahun melipat kedua tangannya dengan raut wajah penuh kekesalan. Kedua mata nya tertuju ke arah orang-orang yang sedang tertawa bersama yang diakibatkan oleh anak kecil yang memiliki umur tiga tahun kurang.
"Kakak, sini. Ngapain di situ sendirian."
"Biarin aja, biar dimakan sama hantu."
"PAPI!" Nia menghentakkan kakinya seraya berjalan dari tangga ke arah ruang tamu.
Nia berdiri di dekat sofa dengan raut wajah yang masih terlihat kesal. Kepalanya tertunduk ketika merasakan kaki nya dipeluk.
"Kak Ia," sapa anak perempuan tersenyum lebar hingga memperlihatkan gigi nya.
Nia tetap menunjukkan wajah cemberutnya.
"Kakak kok gitu sama adeknya."
"Nia udah bilang gak mau punya adek!" Seru Nia hingga menggema di ruang tamu.
"Tapi ternyata kakak punya."
Nia menatap Ayahnya yang sedang menggendong adik perempuannya sambil menggelitiki d**a adiknya dengan dagu.
"Udah tua juga." Celetuk Nia.
"Eh, Papi masih muda lho, banyak orang-orang diluar sana mikirnya umur papi 30an." Nevan tidak terima dibilang tua.
"Yaelah, udah hampir tiga taon masih aja lu bilang gak mau. Kan Chasya lucu yakan yakan." Kata Fazra sambil menciumi pipi adiknya yang paling kecil.
Anak Nevan dan Reya bertambah satu dan sekarang mereka memiliki empat orang anak.
Dua laki-laki dan dua perempuan.
Anak mereka yang paling kecil bernama Chasya Queensha. Chasya yang biasa dipanggil Aya dimana panggilan itu dibuat oleh Chasya sendiri yang suka menyebut dirinya dengan sebutan Aya. Aya lebih suka bersama Abangnya yang paling sulung karena ia merasa benar-benar diperlakukan seperti seorang putri.
"Kakak gak boleh lho ngomong kayak gitu."
Nia beralih duduk di dekat Reya dan memeluk pinggang Reya.
"Semenjak ada Aya Mami sama Papi udah gak sayang sama Nia!" Nia bukan tidak menyukai Aya apalagi membenci adiknya, hanya saja kadang Nia merindukan ketika dirinya dimanja, sebelum ada Aya Nia lah yang selalu diperhatikan apalagi ia anak perempuan satu-satunya. Tapi setelah ada Aya perhatian Nevan dan Reya terbagi pada Aya. Walaupun begitu Nia masih mau bermain bersama Aya, makan bersama, biar bagaimanapun Nia tahu bagaimana tugas seorang kakak untuk adiknya, menemani dan bermain bersama, bukan membenci apalagi memusuhinya.
"Sayang kok."
Nia menggeleng.
"Perasaan kakak aja itu." Celetuk Nevan.
"Abang!!!" Pekik Aya saat ia melihat keberadaan Abang sulung nya yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Aya turun dari pangkuan Nevan berlari kencang ke arah Zio yang sudah merentangkan kedua tangannya dengan lebar siap menyambut Aya dalam pelukannya.
"Haaap!" Zio menangkap tubuh mungil Aya dan mengayunkannya sebentar sebelum ia menciumi pipi adiknya.
"Geli!" Pekik Aya sambil tertawa.
Zio tersenyum dan berjalan ke arah orang tua dan adik-adiknya.
"Abang udah makan, bang?" Tanya Reya.
"Udah, Mi. Di rumah Irfan tadi."
"Aya kangen Abang." Kata Aya sambil menangkup pipi Zio.
"Aya kangen Abang?"
Aya mengangguk dengan senyum yang tersungging.
"Abang juga kangen."
Aya tersenyum malu seraya menatap Ayah dan Ibunya.
Nia yang sedang menyisir rambut melihat ke arah pintunya yang memang sengaja tidak ia tutup ketika hendak pergi ke sekolah melalui cermin saat mendapati adiknya masuk dengan hanya memakai popok dengan rambut yang acak-acakan.
"Bukannya pake baju." Kata Nia dengan menundukkan kepala karena sekarang Aya sudah berdiri di depannya sambil memegang tepi meja rias Nia dengan kedua tangan mungilnya.
"Ih jangan diambil!" Nia menghentakkan tangannya saat melihat Aya mengambil jepit rambutnya yang berbentuk pita berwarna merah.
"Gak boleh, itu punya kakak." Nia menunjuk jepit rambutnya yang ada di tangan Aya.
Aya memperhatikan Nia lalu menatap jepit rambut milik kakaknya.
"Aya pinjem lho..."
"Gak mau!"
Bibir Aya sedikit mengerucut lalu ia berikan jepitan rambut yang ia pegang kepada kakaknya.
"Punya Aya lebih banyak daripada punya kakak, pake punya Aya sana." Nia mengibaskan tangannya yang sedang memegang sisir.
"Aya,"
"Tuh, Abang Aya dateng." Kata Nia dengan pelan.
"Pake bajunya dulu."
Aya mendekati Zio yang datang ke kamar Nia dengan sudah memakai seragam sekolahnya.
"Belum cuci muka, belum gosok gigi udah kabur aja." Kata Zio yang tengah memakaikan Aya baju.
"Aya mau cekolah."
Zio tertawa, "bentar lagi Aya sekolah ya." Zio mencium pipi Aya dengan gemas.
"Nia udah selesai? Biar kita sarapan."
"Ih belom, Nia juga belom nyusun buku!" Nia terlihat sibuk jalan kesana-kemari sambil mencari sesuatu.
Zio berjalan ke arah meja belajar Nia untuk menyusun roster Nia. Menyusun roster Nia merupakan sebuah kebiasaan pagi yang sering dilakukan oleh Zio.
"Turun,"
"Lagi!"
Zio tertawa melihat Aya merendahkan tubuhnya dan memeluk bagian tangki motornya yang besar.
"Sekali lagi ya, abis itu Abang mau pergi sekolah."
Aya mengangguk menaikkan badannya.
Setiap pagi sebelum pergi sekolah jika Aya bangun pagi Zio akan membawa Aya dari garasi yang berada di samping ruang hingga ke depan rumah lalu kembali lagi ke garasi. Jarak antara garasi dan bagian depan rumah juga lumayan jauh jadi Zio pikir dengan berkeliling di sekitar rumah saja sudah cukup.
"Bang, Aya nya bawa ke sini." Reya berdiri di depan pintu utama rumah mereka memanggil Zio saat Zio tengah mengelilingi kolam ikan berbentuk lingkaran dengan hiasan air pancur yang ada di depan rumah mereka.
"Aya turun ya." Kata Zio setelah berhenti di depan rumah.
Aya mengangguk.
Sebelum benar-benar turun saat Zio mengangkat tubuhnya Aya mencium Zio.
"Abang hati-hati." Kata Reya.
Zio mengangguk melambaikan tangannya pada Aya.
"Abang pergi, Mi."
Gantian Reya yang mengangguk.
"Abang take cale." Aya melambaikan tangan mungilnya.
Zio tertawa.
"Abang pergi ya Aya."
Aya mengangguk.
Zio memakai helm full face nya lalu menstater motornya, saat motor Zio mulai melaju tiba-tiba saja terdengar teriakan dari dalam rumah mereka.
"ABANG TUNGGU!!!"
Nia berlari dari dalam rumah sambil menenteng tas nya.
"Mami Nia pergi." Kata Nia pada Reya sambil mengikat rambutnya yang tergerai karena ia akan pergi ke sekolah naik motor bersama Abangnya.
"Gue pergi ya, bocil." Pamit Nia pada Aya.
"Nia..." Tegur Reya.
"Kakak pergi ya, adikku sayang." Nia mencubit pipi Aya sebelum ia naik ke atas motor besar Zio.
"Nia kok gak sama Papi Fazra?"
"Lama! Nia udah telat, belom lagi di jalan macet. Nasib tinggal di endonesiah." Balas Nia sambil membenarkan rok nya agar paha nya tidak terlihat walaupun ia memakai hot pants.
"DAAAAA!!!" Seru Nia dengan suara yang membahana melambaikan tangannya pada ibu dan juga adiknya.
Fazra yang sedang asyik bermain PS terdiam dengan mata yang tidak kunjung kedip saat layar televisi nya yang berukuran besar padam secara tiba-tiba.
Atau lebih tepatnya sengaja dimatikan.
"Ayo, mau nonton apa?"
Fazra menatap dua adiknya yang tengah berdiri di depan layar televisi dengan Nia memegang remote.
"Flozen!" Pekik Aya sambil melompat.
Nia mengangguk segera menghidupkan televisi untuk mencari-cari film yang ingin ditonton oleh Aya.
"Nah, beneran ada. Duduk sana." Ujar Nia.
Aya mengangguk berlari menghampiri Fazra dan duduk di sebelah Abangnya.
"Maksud Lo apa?"
Nia yang sudah berbalik menaikkan alisnya.
"Gue lagi maen PS oncom!" Fazra mengepalkan kedua tangannya.
"Lah, PS di kamar Lo kan ada. Ngapa maen di sini, ya salah Lo!"
Fazra bangkit berdiri.
"Lo tau gak dikit lagi gue ampir menang, dikit lagi NIA! Tapi malah Lo matiin!"
"Ngajak ribut Lo?!" Nia mengangkat tinggi wajahnya.
"Lo yang ngajak ribut!"
"Lo!"
"Lo!"
"ELO!"
"LO!"
"A-"
"STOP IT!!!!!"
Fazra dan Nia yang sedang adu pandang menoleh ke arah Aya yang tengah berdiri di sofa menatap penuh kemarahan ke arah mereka, bukannya takut justru ekspresi Aya terlihat sangat menggemaskan.
"Gak boleh belantem!"
Fazra dan Nia diam.
"Aya bilang Papi Abang Mami."
"Jangan belantem." Lanjut Aya seperti menasihati Abang dan kakaknya.
"Sono lu." Nia menyenggol kaki Fazra dengan kakinya.
"Awas lu ya." Kata Fazra sambil pergi dan Nia balas dengan menjulurkan lidahnya.
"My power flurries through the air into the ground, my soul is spiraling in frozen fractals all around. And one thought crystallizes like an icy blast. I'm never going back, the past is in the past..."
"Let it go... Let it go... And I'll lise like the bleak of dawn. Let it go... Let it go... That pelfect gill is gone, hele I stand in the light of day. Let the stolm lage OOONNN...... The cold nevel botheled me anyway."
Nia tertawa keras setelah melihat adiknya bernyanyi dengan penuh semangat. Suara cempreng milik Aya terdengar menggema di dalam rumah, apalagi mereka berdua bernyanyi menggunakan alat pengeras suara.
"Wah wah wah... Yang abis nyanyi."
"Aaaaa Papi!" Begitu melihat Nevan pulang Aya langsung berlari menghampiri Ayahnya.
"Aya udah mamam?"
"Udah." Ayah mengangguk dengan semangat.
"Kalo kakak udah mamam?" Nevan merangkul Nia mereka bersama-sama berjalan menuju tangga.
"Udah. Papi gak ada bawa apa-apa?" Tanya Nia berharap Ayahnya membawa sesuatu.
"Gak ada, kakak gak ada nitip ke Papi tadi."
"Padahal Nia lagi pengen martabak!"
"Abang belom pulang, telfon Abang aja minta beliin."
"Oh iya." Nia berjalan terlebih dahulu meninggalkan Nevan dan ayah yang masih berjalan dibagian bawah tangga sedangkan Nia sudah berada di paling atas.
"Nambah satu lagi ya."
"Ih awas."
Nevan tidak kunjung melepaskan pelukannya dari belakang.
"Anak kita udah empat, nambah satu lagi biar apa coba?"
"Biar rumah kita rame. Liat sekarang, Zio udah besar udah SMA, bentar lagi kuliah abis itu kerja terus nikah. Gak terasa banget lho, Fazra sama Nia udah SMP kelas dua, bentar lagi SMA, abis itu Aya masuk sekolah. Yang nemenin kita di rumah gak ada lho kalo mereka udah mulai sibuk sendiri."
"Udah tua ah, malu kalo punya anak lagi."
"Ya ampun kenapa malu? Ayo lah."
Reya berdecak kecil ketika krim yang hendak ia taruh di hidung meleset ke bagian atas bibirnya karena akibat Nevan menggoyangkan tubuhnya.
"Mami Papi."
Dengan masih memeluk Reya Nevan menatap Aya yang baru masuk ke dalam kamar sambil memegang makanan yang tak lain adalah martabak manis yang dibelikan oleh Zio.
"Aya mau cepeda."
"Aya mau sepeda?" Beo Nevan dan langsung dibalas anggukan oleh Aya.
"Kok tumben nih minta dibeliin sepeda?" Reya melepaskan tangan Nevan yang melingkar di perutnya berlutut di depan Aya untuk membersihkan mulut serta tangan Aya yang terkena cokelat.
"Memei punya cepeda."
Memei adalah anak tetangga sekaligus teman bermain Aya.
"Jadi Aya mau sepeda juga?"
"He'em."
"Ya udah besok Papi beliin ya."
Aya tersenyum kemudian berlari keluar kamar.
"Aya mau kemana, tidur udah malem." Kata Reya sambil berjalan keluar untuk melihat Aya.
"Aya bobok cama Abang Io!" Seru Aya hilang dari balik pintu yang merupakan pintu kamar Zio yang memang sengaja terbuka.
"Aya tidur sama Zio?"
Reya mengangguk sambil menutup pintu kamar.
Reya mengerenyit saat mendapatkan sebuah tatapan penuh arti dan isyarat dari suaminya.
Nevan tersenyum seraya menurun naikkan alisnya.
"Apa sih? Udah tidur-tidur."
"Yah kok..."
Reya membekap mulut Nevan lalu menyumpalnya dengan tisu.