Chapter 9

2134 Words
Tangis Elana pecah bersamaan dengan dirinya yang berlari dan menghentikan taksi untuk kembali pulang ke Rumahnya. Di dalam pikirannya saat ini tak ada orang- orang yang benar tulus akan menolongnya pasti semua membutuhkan sesuatu dari dirinya. Ia merasa lelah karena bukan sekali hal ini terjadi bahkan berkali- kali ia merasakannya. “Aku bodoh sekali,” batinnya sambil berusaha menghapus air matanya yang masih saja keluar tersebut. Kini Elana sedang berada di dalam taksi dan dalam perjalanan pulang. “Setelah ini, aku benar- benar tak boleh percaya dengan orang lain,” gumamnya sambil menatap ke luar jendela. Hatinya terasa sesak setiap kali mengingat apa yang sudah Attala lakukan kepadanya. Lima belas menit kemudian Elana sudah sampai di depan gerbang Rumahnya dan berusaha masuk ke dalam Rumahnya setelah membayar ongkos taksi. Bersamaan dengan itu Atalla baru saja tiba dan melihat Elana yang berusaha membuka pintu gerbangnya. Lelaki itu langsung turun dari mobilnya dan menahan tangan Elana untuk masuk ke dalam Rumahnya. “Lepas atau aku akan berteriak,” ancam Elana agar Attala melepaskannya namun sayang lelaki itu mengira Elana hanya menggertaknya saja. “Tunggu ijinkan aku bicara lebih dahulu dengan mu dan membuat kesepakatan untuk kita,” kata Attala yang tak di pedulikn oleh Elana karena ia merasa sudah sangat kecewa. “Tolong.. tolong..” teriak Elana yang membuatnya Attala panik dan melepaskan genggaman tangannya. Elana pun memanfaatkan kondisi tersebut untuk masuk ke dalam Rumahnya dan meninggalkan Attala yang tak bergeming karena takut di sangka Orang jahat saat ada yang melihat dirinya menahan Elana. Kini harapan Attala benarlah pupus karena apa yang di lakukannya tak semudah apa yang ia bayangkan. Attala sadar karena mungkin saat ini wanita itu sudah sangat kecewa dengan dirinya. Attala masuk ke dalam mobilnya dan menengelamkan wajahnya pada kedua tangannya yang bertumpu di atas setir. “Bodoh Ta, lo bodoh!!” sergahnya pada dirinya sendiri yang benar- benar merasa bingung harus melakukan apa setelah ini. tak lama ia menerima pesan dari rekan kerjanya di Kantor yang bernama Rudi. “Bagaimana Ta, apa lo sudah berhasil mewawancarai Elana? Kalau berhasil gue titip tanda tangan Elana ya.” Begitulah isi pesan Rudi yang membuat Attala sendiri membuang nafas kesal. Tapi beberapa saat Attala terpikir sesuatu yang mungkin Rudi pun  bisa membantunya. Hingga Attala memutuskan untuk menghubungi Rudi. “Halo Rud, gue bisa minta tolong sesuatu tentang Elana?” tanya Attala tanpa basa- basi saat Rudi sudah menjawab panggilan telefonnya. Rudi pun terkejut namun ia merasa senang jika bisa membantu Attala apa lagi berkaitan dengan idola yaitu Elana illiana. “Apa yang lo inginkan tentang Elana yang bisa membantu lo?” tanya Rudi yang terdengar sangat antusias dan di sambut baik oleh Attala sambil tersenyum. “Lo kan Fans sejatinya Elana pasti tahu kan hal apa saja yang di sukai dan tidak di sukai oleh Elana mulai dari makanan atau yang lainnya,” jelas Attala yang menurut Rudi sangatlah mudah untuk ia lakukan. “Pertama Elana suka es krim coklat dan makanan pedas, suka drama romantis- komedi, suka bunga mawar hitam dan..” “Tunggu mawar hitam? Gue beli di mana?” tanya Attala yang bingung karena ia tak pernah sekali pun melihat bunga tersebut atau pun membelinya. “Ya lo beli di toko bunga tapi menurut gue sih langka dan mahal banget, kalau pun mau beli harus di online dan itu pun waktunya lama,” jelas Rudi kepada Attala yang membuatnya tepok jidat. “Ah gue enggak mengerti hal begitu tapi mungkin sisanya bakalan gue coba kasih ke dia tapi thank ya sebelumnya,” seru Attala yang merasa salah satu yang di sukai Elana itu sangat sulit baginya. “Oke sama- sama Ta, tapi apa lo sesulit itu ya buat wawancarai Elana?” tanya Rudi penasaran karena temannya saja tak mampu membujuk Elana menurut penilaiannya. “Awalnya mudah tapi sepertinya dia salah paham dengan apa yang gue lakukan,” kata Attala yang berusaha menjelaskannya sesingkat mungkin. “Salah paham? Kenapa, Ta?” tanya Rudi yang semakin pensaran namun Attala tak berniat menjawabnya karena ia ingin segera memberikan apa yang Elana sukai saat ini. “Sorry nih Rud, bukannya gue enggak mau cerita tapi sekarang gue harus kembali membujuk Elana dengan apa yang di sukai olehnya,” jawab Attala yang menolak menjawab pertanyaan dari Rudi. Rudi pun mengerti dan memahami apa yang di maksud oleh Attala apalagi saat ini pekerjaan temannya tersebut menyangkut karirnya. “Baiklah pokoknya semangat dan jangan menyerah ya, kalau lo butuh bantuan gue hubungi kapan pun lo mau,” kata Rudi yang berusaha menyemangati Attala agar ia tak putus asa. “Terima kasih Rud, kalau begitu gue tutup telefonnya ya,” pamit Attala setelah itu ia mengakhiri obrolan mereka. Pertama Attala akan mulai membeli beberapa makanan lewat ojek online dan mengirimnya ke Rumah Elana lewat ponselnya. Tak lupa Attala membelinya untuk dirinya sendiri karena mulai detik ini Attala berniat kembali mengintai kegiatan Elana lagi. Kali ini ia akan berhati- hati agar tidak melakukan kesalahan lagi. Setelah makanan yang Attala pesan tiba, ia langsung menekan bel dan berharap Elana atau pun pembantunya membukakan pintu untuknya. Dan beberapa menit keluar seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pembantu yang bekerja di Rumah Elana. Attala pun meminta tolong untuk memberikan kepada Elana lalu beliau menurutinya. Selang beberapa menit sang pembantu keluar dengan membawa kembali makanan yang sempat Attala beli barusan. Attala pun keluar dari mobilnya dan menghampiri sang Bibi. “Maaf Den, Nona Elana tak mau menerimanya dan menyuruh anda untuk tidak menggangunya lagi,” seru sang Bibi yang membuat Attala berpikir kalau usahanya sia- sia. “Oh ya makanan ini saya di suruh mengembalikannya kepada Aden,” tambah sang Bibi. “Ah tidak usah buat Bibi saja kalau begitu,” kata Attala yang sedang mencari cara untuk kembali membujuk Elana. “Baiklah terima kasih, Aden,” seru sang Bibi sambil tersenyum senang namun beliau tak kembali masuk ke dalam melainkan ingin pulang ke rumahnya karena tugasnya sudah selesai. Ya sang Bibi hanya bekerja setengah hari di rumah Elana. “Loh Bibi mau ke mana?” tanya Attala bingung. “Pulang Den karena tugas saya sudah selesai di sini,” jawab sang Bibi sambil berbalik ke arah Attala. “Lalu Elana tinggal dengan siapa di rumah ini? dengan orang tuanya atau keluarganya?” tanya Attala yang mulai penasaran dengan sosok Elana yang membuat sang Bibi tersenyum karena Attala sangatlah perhatian pada sang majikan yang sudah di anggap anak olehnya. “Nona Elana tinggal di sini seorang diri sementara Mamanya tinggal di Bandung, Den,” jawab sang Bibi. “Tapi apakah tidak berbahaya jika tinggal seorang diri apalagi dia seorang wanita dan ada beberapa segelintir orang yang tidak menyukai dirinya,” tambah Attala yang khawatir dengan keadaan Elana mengingat kemarin malam wanita itu di serang oleh pria yang entah ia kenali atau tidak. “Nona Elana sudah terbiasa Den sama hal tersebut makanya kadang ia sering mendapatkan kiriman paket yang menyeramkan atau hubungnya yang tiba- tiba saja terluka,” jelas sang Bibi yang di dengarkan oleh Attala sampai lelaki itu merinding saat mendengarnya dan membayangkannya. “Ah ternyata kehidupan Elana cukup sulit,” gumam Attala. “Kalau boleh tahu Aden ini yang kemarin ingin mewawancarai Nona Elana, bukan?” tanya sang Bibi yang kembali mengingat sosok Attala yang semat singgah ke Rumah Elana. “Ah iya tapi Elana menolak saya karena dia menilai saya sama seperti Jurnalis lainnya yang akan merendahkan dirinya lewat artikel yang akan saya buat padahal walau saya sendiri tak percaya hal mistis saya tak ingin menganggapnya seperti itu,” jelas Attala yang masih memiliki sisi kemanusiaan dalam dirinya terlebih saat ia semakin mengenal Elana dua hari belakangan ini. “Kalau memang Aden tulus ingin menghilangkan citra buruk tentang Nona Elana, Aden sendiri harus lebih sabar ya karena sejak kejadian saat itu hidup Elana semakin sulit terlebih lagi sebelumnya ia sempat merasakan banyak komentar serta perlakuan negatif saat..” ucapan sang Bibi terputus saat beliau mendapatkan panggilan dari anaknya. “Sebentar Den..” pamit beliau yang kemudian menjawab panggilan telefon dari sang anak. Attala menggaruk kepalanya karena merasa ia akan semakin sulit mendekati Elana dengan kondisinya saat ini. “Den, Maaf saya harus segera pulang karena anak saya sudah menunggu di Rumah,” seru sang Bibi yang sudah selesai mengobrol dari ponselnya dan berpamitan dengan Attala. “Ah iya Bi, apa mau saya antarkan?” tawar Attala sebagai tanda terima kasihnya karena beliau sudah memberikannya informasi yang penting baginya. “Terima kasih Den, tapi tidak usah karena Rumah saya ada di dekat sini,” tolak sang Bibi dan Attala pun mengiyakannya lalu beliau pun pergi ke Rumahnya. Karena hari semakin sore Attala memutuskan untuk kembali ke Rumahnya untuk mandi dan bersiap kembali ke sini karena ia ingin mengintai Elana lagi siapa tahu ia bisa mendapatkan celah lagi. # # # Sementara itu Elana yang berada di dalam Rumah mengintip ke luar jendela di kamarnya untuk melihat mobil Attala apakah sudah pergi atau masih menunggu di luar sana. Dan ternyata mobil itu sudah pergi dari kediamannya. “Mengapa kau tidak menemuinya?” tanya Mira yang sejak pulang tadi sudah berada bersama Elana di dalam kamar dan menemaninya menangis. “Aku tak ingin menemuinya karena rasa kecewaku sudah teramat sakit,” jawab Elana menutup tirainya dan kembali duduk di karpet bulunya sambil menonton televisi. “Tapi sepertinya ia orang yang baik karena aura yang di pancarkannya dapat membuat mu tak bisa melihatku,” seru Mira yang beberapa kali tidak bisa berkomunikasi dengan Elana saat wanita itu sedang bersama Attala. “Kalau memang ia seseorang yang baik seharusnya tidak berpura- pura baik padaku demi memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dalam pekerjaannya, soal aura yang membuatku tak bisa berkomunikasi langsung dengan mu masih sedang aku selidiki tapi kita tak bisa menilai kalau dari aura yang di tunjukkan ia adalah orang yang baik,” jawab Elana yang merasa tidak yakin entah karena Attala sudah mengecewakannya atau tidak. “Hoamzz...” Elana menguap karena sudah merasa mengantuk sambil menarik kedua tangannya ke atas untuk meregangkan otot di tubuhnya. Wanita itu berusaha bangkit dan berjalan menuju tempat tidurnya untuk merebahkan tubuhnya. “Ah aku ingin tidur sejenak karena sudah terasa sangat kelelahan,” seru Elana yang berusaha memejamkan matanya dan Mira pun tak ingin mengganggu Elana. Namun baru berselang sekitar dua puluh menit, Elana harus terbangun karena ia mendengar sesuatu yang pecah di lantai bawah. Jujur saja jantung Elana saat ini berpacung sangat cepat, lalu ia berusaha bangkit dan mengambil tongkat pemukul base ball yang ada di kamarnya sebelum  ia keluar dari kamar. Elana berjalan diam- diam dan berusaha melirik ke bawah untuk melihat keadaan di bawah sana. Namun tak ada pergerakan apa pun hingga pelan- pelan ia berjalan menuruni anak tangga dan kembali terdengar sebuah pecahan kaca yang semakin membuat tubuhnya merinding serta semakin takut. “Elana..” Panggil Mira yang membuatnya terkejut bukan takut dengan sosok tersebut melainkan keadaan saat ini sangatlah genting dan arwah wanita itu muncul dengan tiba- tiba. Sejak Elana mengenal berbagai macam arwah mulai dari yang bertampang biasa hingga menyeramkan, kini ia sudah mulai terbiasa dan menganggap teman baginya. Namun kini hal yang lebih menakutkan baginya adalah sosok yang memiliki jiwa dan raga yang menyimpan sebuah emosi apalagi dendam yang dapat melukai serta mengakhiri hidupnya. “Kau mengagetkanku Mira, ada apa?” bisik Elana dengan wajah pucatnya. “Seseorang tengah melempar batu ke jendela rumah mu saat ini,” Kata Mira yang berusaha memberitahu Elana kalau saat ini Rumahnya sedang tidak baik- baik saja dan arwah tersebut sempat melihat sendiri apa yang terjadi. “Apa? Siapa dia?” tanya Elana yang tak habis pikir. “Entahlah ia menggunakan penutup wajah dan membawa motor tapi sepertinya motor itu tak asing untukku,” jelas Mira sambil berusaha mengingatnya. Elana merasa sangat kesal karena ada orang yang berani mengusik kehidupannya lagi. Dengan amarahnya Elana turun ke bawah dan menyalakan lampu ruang tamu dan melihat pecahan kaca yang sudah berantakan di lantai dengan dua buah batu besar. Elana juga sempat mendengar suara motor dengan knalpot bising menyala dan pergi menjauh dari Rumahnya. “Dasar manusia kurang ajar, mengapa ia melakukan hal ini padaku? Apakah ia punya masalah denganku?” tanya Elana yang begitu marah dan kini air matanya menetes karena hal ini bukan yang pertama untuknya. Elana pun memutuskan untuk mengambil gambar dan menghubungi pihak berwajib agar dapat memabntu dirinya menangkap orang yang telah mengusik hidupnya. Setelah menghubungi polisi Elana ke dapur untuk membuat kopi sambil menunggu polisi yang akan datang ke Rumahnya. Sungguh Elana tidak berani keluar Rumah sebelum polisi datang. Sudah berkali- kali rasanya Elana harus mengganti beberapa bagian rumahnya yang telah di rusak oleh orang- orang yang membenci dirinya. Mulai dari kaca yang di pecahkan dengan batu seperti malam ini, gerbang serta tembok rumahnya yang di coret- coret dengan kata- kata dan gambar yang tak jelas, dan masih banyak hal lagi yang membuatnya ingin marah, sedih hingga ingin berteriak meluapkan segala rasa kesalnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD