Bolehkah aku bersandar padamu?

718 Words
Aku tertegun melihat betapa indahnya bangunan hotel ini, begitu mewah dan megah, Teddy memimpin berjalan di depan dengan langkah cepat dan aku mengimbanginya untuk memastikan kami bisa tiba lebih dulu sebelum klien kami. Dewi fortuna sedang berpihak pada kami, ternyata kami tiba lebih dulu. Akupun mendekati seorang pelayan kemudian memberitahukan agar dapat disiapkan meja yang agak besar untuk dapat menampung 5 atau 6 orang karena biasanya PLO tidak pernah sendiri ketika mendampingi kliennya, mereka akan menurunkan minimal 2 orang hanya untuk mendampingi seorang klien.   Aku dan Teddy telah duduk manis kemudian muncul beberapa pengacara dari PLO tepatnya 3 orang pengacara yang kesemuanya telah kami kenal dengan baik karena kami memang teman kuliah dan bahkan kami berlima ini satu angkatan saat kuliah. Tentu saja kami memberikan sambutan hangat pada mereka, aku memberikan pelukan singkat pada satu-satunya pengacara wanita disana, Hena. Acara sambutannya kami hentikan dan mempersilakan mereka duduk namun belum sempat kami duduk, ternyata Mr. Bert telah muncul di hadapan kami semua membawa seorang wanita manis nan imut yang dikenalkan sebagai calon istrinya. Mereka akan segera menikah, karena itulah Mr. Bert minta dbuatkan prenuptial agreement (perjanjian pra nikah).   Meeting sekaligus makan siang itu berlangsung sampai 2 jam dan kini baik Mr. Bert maupun kuasa hukumnya telah sepakat dengan draft yang telah aku berikan dan dari draft ini akan segera kami sempurnakan setelah Ibu Nuri kembali ke kantor. Aku memanggil pelayan dan hendak membayar pesanan kami namun dihentikan oleh Mr. Bert. “The bill is on me. I really appreciate for your time. All of you. Thank you for your help”, ucap Mr. Bert yang membuat kami hanya bisa membalas dengan senyum dan anggukan. Setelah pembayaran selesai, kami juga kembali pada kendaraan kami masing-masing.   “Kamu memang luar biasa, ini bahkan baru meeting pertama tapi kamu bahkan sudah menyelesaikan draftnya, itu artinya kita gak ada kerjaan di kantor”, puji Teddy padaku. “Ya kalo bisa sekarang kenapa harus nanti”, jawabku sekenanya karena aku sedang fokus untuk mengambil beberapa foto pemandangan di hotel mewah ini. “Kamu mau nginep disini?” tanya Teddy menggodaku. “Buang-buang duit”, jawabku asal namun membuat Teddy tergelak kemudian meraih lenganku dan memaksaku untuk berjalan dengan benar menuju mobil kami terparkir.   Kami sudah keluar dari wilayah hotel yang sangat luas tersebut namun arah mobil bukan kearah kantor. “Apa ada agenda lain lagi?”, tanyaku pada Teddy. “Kita ngopi dulu ya, kepalaku butuh kafein sekarang”, ucap Teddy santai tanpa menunggu persetujuan dariku. Kami pun telah tiba di pelataran parkir sebuah coffee shop bernama Starland. Kami turun dari mobil dan memasuki tempat tersebut dengan santai, mengarahkan pandangan kami hingga pilihan duduk kami jatuh pada sebuah meja di teras belakang cafe yang bertuliskan Kawasan Merokok. Teddy memang perokok yang sangat aktif dan aku yakin dia sangat tersiksa karena sudah menahan keinginan merokoknya sedari kita meeting dengan Mr. Bert karena di hotel itu tidak ada kawasan merokok.   Setelah memesan, aku sibuk dengan ponselku begitupun Teddy yang juga serius membaca sesuatu dari ponselnya sambil menghembuskan asap rokoknya. Kegiatan kami kemudian teralih ketika pesanan telah tiba, masing-masing meletakkan ponselnya dan kini fokus pada kopi diatas meja dan beberapa cookies lezat. Kami telah larut dengan makanan dan minuman yang ada diatas meja sampai.... “Bisa kita bicara?”, ucapan Teddy memecah keheningan kami. “Iya bisa. Apa yang ingin kamu bicarakan Ted?”, tanyaku. “Ceritakan semuanya padaku sekarang”, ucapan tegas Teddy membuatku menelan salivaku. Ternyata dia sengaja mengajakku kemari agar kami memiliki waktu yang lebih banyak untuk bicara tanpa gangguan.   Akupun menceritakan semuanya pada Teddy dan dia mengerutkan dahinya sesaat. Pandangannya tertuju padaku dan menatap manik mataku dalam-dalam. “Apa kamu mempercayaiku?”, aku mejawab dengan anggukan. Setelah itu suasana kembali hening dan kami menghabiskan minuman kami dengan tenang. Aku beranjak ke kasir dan Teddy menyodorkan dompetnya padaku agar aku membayar menggunakan uangnya. Tentu saja aku tidak akan membantah kecuali jika aku ingin mendapat tatapan mengerikan dari seorang Teddy.   Setelah selesai membayar, kamipun bergegas menuju tempat parkir dan masuk ke dalam mobil. Teddy kemudian meraih tanganku ke dalam genggamannya, dia mencium punggung tanganku lalu melepaskan genggamannya lagi. Aku masih mencerna yang baru saja terjadi saat Teddy telah kembali melajukan mobilnya. Entah bisikan apa yang aku dengar, tiba-tiba aku sangat membutuhkan sandaran sekarang, bukan sandaran jok mobil, tapi sandaran hati. Aku merebahkan kepalaku di pundak kiri Teddy dan berkata, “Bolehkah aku bersandar padamu?”, tanyaku penuh harap. “Tentu saja”, jawab Teddy lembut sambil membelai wajahku dengan pandangan tetap fokus ke depan. * * * 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD