Adimas Raharjda, pria muda dengan status duda yang kini melekat pada dirinya. Dirinya menikah muda dengan perempuan seusianya, dan istrinya, Kanaya Sukmawati meninggal saat melahirkan anak pertama mereka. Anya Sukmawati Rahardja, putrinya yang kini berusia 3,5 tahun memiliki wajah yang begitu mirip dengan ibunya. Kalau ditanya Adimas kebagian apa di Anya, maka jawabannya adalah hikmahnya. Anya benar-benar plek ketiplek ibunya banget.
"Ayah,"
"Iya, sayang." sahut Adimas, tangannya tak lepas mengusap lembut puncak kepala putrinya. Kebiasaan sebelum tidur, selalu ditemani sambil dibacakan dongeng dan diusap rambutnya.
"Ibu lagi apa sekarang?"
Usapan tangan Adimas terhenti seketika, dirinya tersenyum tipis. "Ibu lagi istirahat, kan seharian ini abis jaga anak ayah ini." jawab Adimas, dia mengusap-usap puncak hidung Anya.
Anya terkekeh pelan, melepaskan tangan ayahnya dari puncak hidungnya. Kemudian, dia mengerucutkan bibirnya, terlihat gemas sekali wajahnya kini. "Ibu selalu jagain aku, tapi gak pernah samperin aku. Padahal kan Aya mau juga ketemu sama ibu."
"Jadi, Aya mau tinggalin ayah gitu maksudnya?"
"Memangnya kalau ketemu ibu, berarti tinggalin ayah?" tanya Anya dengan polosnya. "Kenapa kita gak sama-sama ketemu ibu aja? Aya kangen tahu sama ibu."
Adimas terdiam.
"Kalau main, Syasya selalu ditemenin Mamanya, Fatur juga ditemenin bundanya. Anya doang yang kalau main ditemenin mbak atau nenek. Huft, sebal!"
"Anya gak senang ditemenin mbak sama nenek? Wah, pasti mbak sama nenek sedih tahu kalau Anya gak senang ditemenin mereka."
Anya menggeleng cepat, "Bukan ayah, bukan begitu. Tapi, kan Aya juga mau ditemenin ibu. Jadi, nanti kalau Syasya sama Fatur nakal atau iseng sama aku, aku lari ke ibu, bilang kalau mereka nakal, biar mereka diomelin." jawab Anya, dia tertawa membayangkan itu semua.
Lagi-lagi Adimas terdiam, keheningan tiba-tiba tercipta.
"Ayah, mau ketemu ibu..." rengek Anya, dia menatap lekat ayahnya, memohon begitu dalam.
Ditatap demikian membuat Adimas tanpa sadar mengerjapkan matanya yang terasa panas. "Aya mau ketemu ibu?" tanya Adimas yang diangguki putrinya itu.
"Yaudah, besok ayah ajak Aya ke ibu, ya."
Dan, seperti apa yang sudah dijanjikan Adimas pada Anya, dia benar-benar membawa putrinya itu pergi menemui ibunya, dia membawa Anya menuju makam ibunya.
"Kita kenapa kesini, ayah?" tanya Anya, gadis kecil itu tak mau melepaskan pelukannya pada Ayahnya yang kini menggendongnya.
Adimas menatap putrinya yang nampak bingung. "Ketemu ibu," jawab Adimas, dia tersenyum tipis dan berniat menurunkan Anya. Namun, Anya tak mau, justru semakin mengeratkan pelukannya.
"Gak mau, takut. Ini kan tempat orang meninggal. Ayah, Aya gak mau disini, takut."
"Tapi, ibu Aya disini sayang."
"Bohong!" pekik Anya, dia justru menangis kini, menangis karena takut lebih tepatnya. "Ayo ayah, kita pergi, Aya gak mau disini. Ayo, ayah."
"Aya, sayang. Tapi, —"
"Ayah..."
Tangisan Anya semakin menjadi-jadi, membuat Adimas mau tak mau melangkah pergi. Bahkan, mereka belum menyapa nisan Kanaya.
"Ayah jahat, ayah bawa Aya ke tempat seram. Ayah jahat."
"Aya, ayah gak bawa ke tempat seram, sayang. Di sana emang ada makamnya Ibu Aya, Ibu Kanaya. Kan, Aya sendiri yang bilang mau ketemu ibu." jelas Adimas, dia mencoba memberikan pengertian pada putrinya, sekaligus menenangkan tangisnya yang tak kunjung reda.
"Enggak... Ibu gak mungkin di sana. Ayah jahat, ayah bohong."
"Anya."
"Dimas?"
Adimas berbalik, menemukan Anye disini yang datang dengan hijab yang menutup sebagian rambutnya, menenteng wadah yang berisikan bunga tabur. Anye menghampiri mereka, menatap cemas Anya dalam gendongan Adimas yang tengah menangis tak henti. "Anya kenapa, Dim?" tanya Anye, dia menatap cemas Anya.
"Gue mau bawa Anya ke makam ibunya karena sejak semalam dia yang minta ketemu. Tapi, setelah gue kasih tahu dimana ibunya, dia gak terima dan justru nangis kayak sekarang."
"Ayah jahat, tante..."
Anye menyimpan wadah bunga taburnya, kemudian mencoba meraih Anya. "Anya, cantik."
"Tante baik, ayah jahat." keluh Anya, masih dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.
Anye tersenyum tipis, "Mau tante gendong?"
Tak disangka, padahal ini pertemuan kedua mereka, namun Anya bisa langsung mengangguk saat ditawari demikian oleh Anye.
"Aya berat, Nye."
"Enggak kok," Anye menggeleng, dia mengusap lembut rambut panjang Anya yang terurai. "Anya gak berat, buktinya tante bisa gendong Anya. Iya, kan, sayang?"
"Ayah aku jahat, tante baik."
Anye mengerutkan keningnya, "Jahat?" tanya Anye, dia pura-pura terkejut dan penasaran.
"Iya. Ayah bawa aku ke tempat seram ini. Ayah—"
"Tante gak ngerti kamu ngomong apa, coba stop dulu nangisnya. Baru abis itu jelasin ada apa." ucap Anye sambil menghapus air mata Anya. Perlahan namun pasti, tangis Anya mereda dan hal itu membuat Adimas terkejut melihatnya.
Anye hanya tersenyum tipis pada Adimas saat Anya berhenti menangis.
"Oke, jadi gimana?"
"Aya cuma mau ketemu ibu. Tapi, ayah malah bawa Aya ke tempat seram ini. Ayah jahat, tante." ucap Anya dengan suara gemasnya.
"Tempat seram apa, Anya? Ini bukan tempat seram, ini pemakaman tempat orang-orang baik yang udah lebih dulu dipanggil sama Allah."
"Tapi, ini tempat seram tante. Aya pernah lihat di handphonenya Syasya, banyak hantu di tempat ini."
Anye terkekeh pelan, "Enggak, sayang, gak ada yang kayak begitu. Coba deh, Anya lihat. Benar, gak tempatnya seram sama banyak hantunya?"
Anya mengikuti apa yang diperintah Anye, dia mengedarkan atensinya dan tak melihat apa yang dirinya takutnya. Tempat ini terang, hijau dan cukup terawat jadi begitu sangat terbalik dengan apa yang ditakutkan Anya.
"Enggak, kan?" Anye tersenyum lebar.
Anya menggeleng pelan, "Enggak."
"Nah, jadi kenapa harus takut? Lagipula, ibu Anya kan orang baik, mana mungkin ditempatkan di tempat seram. Kasihan dong."
"Tapi, ayah gak kasih tahu dimana ibu."
Anye menatap Adimas yang dibalas gendikan bahu saja.
"Hm... Anya mau, gak ikut tante ketemu ibu tante?"
"Ibu tante baik?"
"Iya. Mau, gak?"
Anya tak langsung menjawab, dia justru melirik ayahnya terlebih dahulu.
"Gak jauh kok, tuh didepan sana. Ayah Anya juga diajak kok, boleh deh ikut." jelas Anye, dia menunjuk satu makam dengan dagu juga tatapan matanya yang tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.
"Mau..."
"Ayo!"
Anye melangkah menuju peristirahatan ibunya, Adimas yang di belakang mengikuti sambil membawa wadah bunga tabur yang dibawa sebelumnya oleh perempuan itu.
"Ini makan ibu, tante." ucap Anye, dia sudah berjongkok di makam kedua orangtuanya, khususnya makam ibunya.
"Ibu tante hantu?"
"Aya..." Adimas meringis pelan, otak putrinya benar-benar sudah dicuci oleh tayangan fiktif yang entah siapa yang menunjukkan, Syasya kalau tidak salah. Tck.
Anye terkekeh pelan, "Enggak, sayang, bukan. Ibu tante meninggal karena udah waktunya. Setiap manusia itu sudah pasti akan bertemu sama yang namanya ajal dan itu semua sudah ketetapan Allah. Allah lebih sayang sama ibunya tante, makanya dipanggil lebih dulu supaya bisa menghadap Allah."
"Gak jadi hantu?"
"Engga lah! Lagian, hantu itu gak ada. Apa yang Anya lihat itu semuanya bohong, hantunya itu hantu buatan. Gak ada sebenarnya hantu itu."
Anya dengan segala pertanyaannya dan Anye yang bisa menjawab apa saja yang dilontarkan Anya padanya. Sedangkan, Adimas hanya diam saja, melihat interaksi keduanya yang sadar atau tanpa sadar membuat bibirnya menyunggingkan senyum, entah apa artinya.
"... Pokoknya, nanti Anya bakalan ngerti apa yang tante bilang barusan kalau Anya udah...setinggi ini!" Anye menunjukkan tinggi Anya agar balita tersebut paham maksudnya. "Udah masuk SD! Pasti ngerti banget maksudnya."
Anya dengan polosnya mengangguk-angguk, "Jadi, Anya harus besar dulu supaya ngerti semuanya?"
"Ya?"
"Okey. Anya bakalan banyak makan supaya bisa tumbuh besar dengan cepat dan bisa ngerti apa yang tante baik bilang barusan."
Anye terkekeh, dia melirik Adimas yang tengah tersenyum lebar.
"Jadi, Anya mau kan ke makam ibunya Anya?"
"Mau."
Anye pun menatap Adimas, tersenyum bangga sebab dia berhasil menenangkan dan menyakinkan Anya. Adimas sendiri tahu jika Anye memang ahlinya dalam urusan anak kecil, tak mungkin ada satu anak kecil pun yang tak menurut pada Anye. Dia dan segala keajaibannya mampu memenangkan hati anak manapun, termasuk dirinya-maksudnya, putrinya.