Chapter 16 : Penyihir Woperlan

1255 Words
Sania tersenyum memandang kami yang sedang bercanda dan tertawa, kemudian dia bersuara membuat keheningan muncul secara mendadak, semua mata menoleh padanya. "Maaf, tapi aku harus mengatakannya pada kalian," Aku penasaran dengan sesuatu yang akan diungkapkan olehnya, kuharap tidak terlalu serius, karena aku lelah jika harus berurusan dengan hal-hal yang menurutku menjengkelkan. "Sebenarnya, Rio juga memerintahkanku untuk mengajak kalian bergabung." "Bergabung?" Lavender mengernyitkan dahinya heran, dia masih belum paham dengan ucapan Sania. "Katakan dengan jelas, Sania." Sania mencoba mengatur nafas dan mulai berbicara. "Rio memintaku untuk mengajak kalian bergabung ke sebuah Guild. Guild sendiri merupakan tempat berkumpulnya para penyihir, di Pandora terdapat ribuan Guild, namun hanya lima yang paling dikenal yaitu : Woperlan, Sazaro, Cavanta, Emigori, dan yang terakhir sekaligus rumahku Farles. Kalian tidak perlu takut atau aneh mendengar kata penyihir, disini kami tidak saling membunuh atau apapun, kami hanya bekerja, penyihir adalah salah satu profesi yang sangat diinginkan semua orang, namun hanya segelintir saja yang dapat memenuhi kriteria seorang penyihir sejati." Aku, Lavender, Bella dan Diana sangat terkejut dengan penjelasan dari Sania, merasa belum jelas, Ferli menambahkan dengan sedikit bentakkan. "Kalian harus bekerja! Apakah kalian hanya akan menjadi gelandangan disini? Bukankah kalian juga harus makan, minum, belanja, atau apapun itu! Dan itu semua membutuhkan uang! Apakah kalian hanya ingin menyusahkan Sania? Aku membenci seorang benalu! Mandirilah!" Tunggu, aku merasa ada yang janggal dengan hal ini, bukankah Pandora itu adalah Negeri yang penuh penderitaan, tangisan, dan hal-hal mengerikan lainnya, lalu kenapa disini kedengarannya damai-damai saja? "Lavender, bukankah kamu pernah mengatakan kalau Negeri dongeng itu--" Ferli langsung memotong perkataanku. "Negeri Dongeng memang masih seperti itu, karena itulah tujuan didirikannya Guild-guild adalah untuk menghapus kejahatan yang merajalela, walau tetap saja, itu tidak akan berpengaruh. Kejahatan pasti akan selalu muncul, dimanapun itu. Jadi langsung keintinya, apakah kalian mau ikut bergabung menjadi seperti kami?" "Jadi, kalian itu penyihir? Kenapa tidak bilang dari awal!" seru Bella dengan wajah sebal. "Kami tidak suka identitas kami disebarluaskan! Lagi pula, Rio dan keempat adiknya juga adalah seorang Penyihir, mereka adalah penyihir kelas atas." jawaban Ferli cukup membuatku ternganga lebih lebar, aku masih tidak tahu-menahu tentang hal ini, kenapa Lavender tidak menjelaskannya, menyebalkan. "Kami hanyalah Manusia biasa, sihir didunia kami masih dianggap tabu, karena itulah, menurutku, kami tidak akan--" "Buktinya kalian berhasil mengalahkan penyihir kelas atas? Jangan terlalu merendahkan diri!" ucapanku terpotong oleh Ferli, kami semua saling pandang, entah harus mengatakan apa, setuju ataupun tidak, itu semua membuatku tertekan. Keringat menetes disekujur tubuhku, suasana hening sesaat. Angin lembut menggelitik rambutku untuk terbang, raut wajahku masih menunjukkan ketidakpastian, apakah mereka juga memikirkan hal yang sama sepertiku, apakah mereka juga ingin menjadi seorang penyihir. Jujur saja, aku ingin menjadi seperti Rio, tapi aku sama sekali tidak memiliki secuil kekuatan. "Bagaimana caranya kami bisa melakukan sihir seperti kalian?" Sania tersenyum mendengar pertanyaan Diana, lalu dia melepaskan Ferli bebas, dan dalam waktu lima detik, kucing kecil itu berubah menjadi seorang remaja laki-laki yang mempunyai telinga besar seperti kucing, dan hidung kecil. "Kalian tidak perlu khawatir dengan hal itu, aku bisa memberikan kalian sesuatu yang dapat mengubah kalian menjadi seorang penyihir. Mari ikuti aku!" Ferli dengan wujud manusia setengah hewan itu beranjak pergi dan mencoba mengajakku dan yang lainnya untuk mengikuti langkahnya. Sementara Sania hanya duduk sendirian dengan senyuman terlukis diwajahnya. . . . . . . . Tidak butuh waktu lama aku dan teman-temanku sampai disebuah danau merah, airnya merah seperti darah. Ferli langsung bersuara. "Ini adalah danau Alawiyah, disini kalian harus menenggelamkan diri kalian untuk mencari sebuah batu hijau." Lavender tidak mengerti, dia langsung bertanya. "Memangnya apa kegunaan batu hijau itu sendiri? Apakah itu penting?" "JELAS SEKALI ITU PENTING! BATU ITU ADALAH ALAT AGAR KALIAN BISA MENDAPATKAN KEKUATAN SIHIR! JANGAN BANYAK TANYA! CEPAT MASUK KEDALAM AIR!" Tersontak, kami berempat langsung menceburkan diri kedalam danau, lalu dengan nafas yang tersengal-sengal aku mencoba meraba setiap tanah yang mungkin terdapat benda itu, tapi tidak ada apapun selain lumpur yang menyeruak, membuat air yang kurenangi keruh. Rambutku terombang-ambing terbawa air, pakaianku basah kuyup dan sesekali tanganku tergores sesuatu yang membuat darah keluar dari jemariku. Sungguh aku bingung harus mencari kemana lagi, penglihatanku kabur, seluruh air keruh dan sedikit kemerahan karena memang warnanya dan ditambah oleh darahku, sungguh s**l. Samar-samar aku dapat mendengar teriakan Ferli yang terus menyemangati kami, dua kali pinggulku tersenggol tubuh entah siapa yang pasti antara Lavender, Diana ataupun Bella. Satu persatu teman-temanku berhasil mendapatkan batu itu, dan kini hanya diriku yang masih menggeliat didalam air danau mencari benda menjengkelkan itu, oh ayolah, kumohon muncullah, aku malu jika diriku dianggap payah dalam hal mencari sesuatu. Ternyata benar, mereka semua sudah naik kedaratan dan bergembira karena mendapatkannya, kenapa hanya aku yang masih belum menemukannya. Aku terus mengoreh tanah dengan kesal, melemparkan batu-batu kecil yang menghalangi, dan akhirnya aku menemukan sesuatu yang hidup, tunggu, kenapa benda itu bergerak. Bukan, ini bukanlah batu, tapi seorang manusia yang tenggelam. Tanpa ada keputusan, aku langsung mengais tubuh itu dan berenang ketepian sambil membawanya. Uh, air ini sangat merah. . . . . . . "Lihatlah! Aku menemukan sesuatu!" Kuangkat tubuh itu dengan susah payah dan aku tahu, mereka semua terkejut. "ASTAGA! SIAPA YANG KAU BAWA! BIOLA! KATAKAN!" Lavender menjerit ketakutan, dia langsung menjauhiku. Aku mengangkat bahu dan menatap seorang wanita yang ternyata sangat cantik, dia memakai gaun biru, rambutnya cokelat bergelombang, kulitnya pucat. Apakah dia masih hidup. "Ferli, coba kau periksa?" Ferli langsung menyentuh tubuh wanita itu mendengar perintah dariku. Bella dan Diana fokus menatap wajahnya, sementara Lavender bersembunyi dari balik pohon, dasar penakut. "Dia masih hidup. Wanita ini bernama Tasya Evergreen, dia seorang penyihir dari Woperlan. Dia menenggelamkan dirinya sendiri karena masalah asmara, menurut data yang kuperoleh, dia memiliki sifat periang, dan cerewet, dia selalu menjadi bahan tertawaan teman sesama penyihir. Kenapa dia membunuh dirinya didanau ini, itu karena tempat ini adalah kali pertamanya bertemu dengan seseorang yang sangat dia cintai. Seperti itulah, sekarang bagaimana hasilnya Biola?" Ferli menatapku, aku menggaruk belakang kepalaku yang sama sekali tidak gatal dengan senyuman masam. "Ak-aku belum menemukannya, sebagai gantinya aku menemukan Wanita ini." . . . . . . . . . . . . . "Dasar payah!" Perkataan Ferli cukup membuatku kesal sekaligus malu. "Ferli, sebenarnya aku menemukan dua batu hijau, bagaimana jika kuberikan saja pada Biola?" Tanya Diana dengan raut wajah cemas. Ferli langsung mengangguk setuju, akhirnya Diana memberikanku batu itu. "Terima kasih Diana." Dia hanya tersenyum mendengar suaraku. Bella berlutut menatap Tasya dengan mantap. "Kurasa sebaiknya kita bawa dia ketempat sebelumnya, ayo!" . . . . . . . . Sania langsung berdiri terkejut melihat kami bersama-sama datang dengan membawa seorang wanita asing. "Siapa yang kalian bawa?" tanya Sania dengan ekspresi cemas. "Tasya Evergreen, salah satu penyihir Woperlan." jawab Ferli dengan wajah galaknya. "Dia masih hidup, tolong Sania." Mendengarnya, Sania mengerti. Kemudian jemari Sania ditempelkan kedahi Tasya dengan lembut, muncullah semerbak cahaya putih berkilau, dan secara perlahan, seluruh tubuh Wanita asing itu dipenuhi oleh cahaya terang, dan kembali seperti semula. "Aku telah menyembuhkannya, sebentar lagi dia bangun." . . . . . . . . . Ternyata benar, Tasya mulai bergerak, perlahan-lahan kedua matanya terbuka lebar, menampilkan bola mata cokelat yang indah, dengan cepat, ia bangun terduduk. Ia menatap satu persatu dari kami dengan tatapan aneh. "Siapa kalian!" "Justru, seharusnya kami yang bertanya, siapa dirimu?" kata Lavender dengan sarkastis, Tasya terkejut mendengarnya. "Tentu saja, aku ini adalah seorang penyihir! Kenapa aku terbangun disini? Apakah kalian telah mengutukku?" Kami semua terkejut mendengarnya. "Mana ucapan terima kasihmu? Bukankah kami telah menolongmu dari danau Alawiyah? Biola yang menemukanmu!" Lavender kembali bersuara. "Aku tidak butuh bantuanmu!" DEG! . . . . . . . . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD