Part 1
PART 1
Ashilla POV
Bagaimana kalau kalian menjadi aku, disaat seharusnya kalian merasakan indahnya jatuh cinta, indahnya dicintai, indahnya bersama seorang yang kalian sukai, namun semuanya sirna karena perjodohan gila yang Mama dan Papa kalian rencanakan.
Dan bagaimana kalau ternyata kalian dijodohkan dengan seseorang yang sama muda nya?
Sama labilnya?
Bagaimana?
Apa yang akan kalian lakukan?
Apa yang akan kalian rasakan?
Apa sama gilanya seperti yang ku rasakan?
"Shilla, senyum dong sayang,"
Setelah mendengar itu lamunanku buyar, aku kembali memfokuskan tatapan ku kedepan dan...
KLIK
KLIK
Flash lampu kamera yang mengenai pupil mataku membuatku tersadar apa yang terjadi. I'm get married.
Ini bukanlah pernikahan yang sewajarnya, bukan pernikahan yang seperti orang lain atau aku bayangkan untuk terjadi. Ini hanya pernikahan bisnis yang orang tua ku rencanakan untuk menjaga nama baik dan martabat mereka di dunia perbisnisan yang aku tidak mengerti. Oh, atau lebih tepatnya ini adalah satu cara yang mereka lakukan agar warisan keluarga tidak jatuh ke tangan orang lain.
Aku dinikahkan dengan seorang pemuda seusia ku yang baru saja mengucapkan ijab qabul dihadapan semu orang, bernama Cakka Bhakti yang notabenenya adalah sepupu jauhku. Dia adalah anak dari Tante Amel dan Om Bhakti yang sebenarnya masih bersaudara dengan Papa.
"Ma ini kapan selesainya sih?" Keluh ku, aku sudah tak tahan dengan posisi seperti ini, heels dengan tinggi 10 senti, baju kebaya yang terasa sangat berat dan gatal dan make up di wajah yang terasa sangat tidak nyaman.
"Satu jam lagi selesai kok," ucap Mama, aku hanya bisa mendengus kesal, ini adalah hari terburuk yang pernah ku alami selama 17 tahun 3 bulan 10 hari hidup di dunia.
Jika orang-orang mengatakan ini adalah pernikahan terbodoh yang pernah terjadi maka ini penjelasan yang Mamaku berikan.
"Inget ya sayang, pernikahan ini terjadi agar masa depan kamu dan Cakka lebih baik, ini jaminan buat kamu untuk hidup enak kedepannya, untuk saat ini pernikahan ini terjadi sebagai ikatan dan janji kalau kamu dan Cakka akan bersama di kemudian hari. Kamu nggak usah khawatir kalau mikir besok nggak akan sama seperti semalam, kamu masih akan pergi sekolah dan pergi sama temen-temen kamu. Cuma bedanya kamu akan pulang sama Cakka, jangan bilang kamu nggak suka, pada akhirnya Mama yakin kamu akan jatuh cinta sama Cakka. Kalian akan saling jatuh cinta karena cinta akan datang karena terbiasa, Mama juga ngerasain dijodohin tapi akhirnya Mama dan Papa saling jatuh cinta dan hidup bahagia,"
Aku mengangguk tanda mengerti, selalu begitu, selalu saja setuju dengan apa yang Mama katakan meskipun terkadang tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan.
Tapi aku percaya, besok tetap saja akan berbeda.
New chapter of my lifes begin now.
*
Ku lirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 12 dini hari, sudah 14 jam yang lalu aku sah menjadi seorang istri dari pria, tidak, cowok bernama Cakka Bhakti. Saat ini aku dan Cakka baru saja selesai diberi wejangan oleh kedua orang tua kami masing-masing, tentang bagaimana hidup kami setelah pernikahan ini.
Hal yang ku simpulkan adalah :
1. Kami di beritahu bahwa pernikahan ini murni untuk mengikat antara dua keluarga.
2. Pernikahan ini sah secara agama dan hukum.
3. Pernikahan ini tidak akan membuat aku dan Cakka berhenti untuk sekolah ataupun berhenti untuk mengejar cita-cita kami.
4. Kami di ingatkan untuk mengenal satu sama lain dan diharapkan tidak bercerai di kemudian hari.
5. Tidak boleh pacaran dengan orang lain.
6. Tidak boleh satu kamar (untuk saat ini hingga lulus SMA).
6. Tidak boleh kebablasan.
7. Tidak boleh hamil sampai lulus S1.
Fix, 4 jam mendengar wejangan initinya adalah 2 point terbawah.
Tidak boleh hamil. Mama dan Tante Amel bahkan memberikan gambaran resiko jika aku hamil lebih cepat dari seharusnya.
Pertanyaannya, lalu kenapa aku harus dinikahkan secepat ini?
Aku masuk ke dalam kamar, diikuti dengan Cakka saat aku menatapnya sinis dia berucap, "gue mau bicara" karena sebenarnya kamarnya bukanlah disini tetapi kamar didepan kamarku.
"Apa?" tanya ku pada Cakka, memang sejauh ini kami belum berbicara apapun berdua. Jadi, ku pikir ada hal yang memang ingin ia katakan.
"Gue Cakka," ucapnya.
"Gue udah tau," balasku.
"Kedepannya pergi sekolah bareng gue,"
"Udah tau,"
"Mulai sekarang, lo adalah pacar gue di sekolah dan dirumah lo adalah istri gue,"
Pipiku entah mengapa bersemu sendiri, merasa malu mendengar ucapan Cakka barusan.
"Gue alergi kacang dan strawberry, gue benci mawar dan warna pink,"
"Apa?"
"Setidaknya lo harus tau sedikitnya tentang gue,"
Aku terpaku untuk beberapa detik, "harus banget ya?"
"Iya," ucapnya.
"Ah, ok," tak ingin berdebat akhirnya aku hanya meng-iya-kan saja.
"Apa hal yang lo suka dan enggak?"
Aku mengidikkan bahu ku, "pada akhirnya lo akan tau sendiri," ucapku. Tidak ingin menjadi konyol sepertinya.
Cakka hanya mengangguk, "okelah, good night," setelah itu dia berjalan keluar kamar.
Punggungnya yang menjauh masih kupandang. Setelah percakapan itu, ada dua hal yang dapat ku simpulkan, yang pertama aku tidak berbohong dia termasuk salah satu cowok ganteng yang pernah ku temui, kedua dia adalah tipe yang straight to point ketika berbicara.
*
Author POV
Shilla berjalan menuruni anak tangga dengan langkah tergesa-gesa. Pagi ini Shilla terlambat bangun dan sepertinya tidak ada seorang pun yang berniat membangunkannya.
"Aduh Ma... Kenapa nggak dibangunin sih? Telat nih," ucapnya mengeluh sambil menyambar selembar roti gandum dari piring Mama Anne -Mamanya Shilla-.
"Maaf deh Mama lupa, inget ya kamu sama Cakka satu meja,"
"Loh, bukannya Shilla di Nusa Bangsa, Cakka di Taruna ya?" tanyanya karena setaunya mereka hanya akan pergi sekolah bersama tapi tidak satu sekolah.
"Enggak, Mama udah urus surat pindah kamu sama Cakka di Nusa Bangsa,"
"WHAT!?!"
Cakka tampak melirik Shilla namun gadis itu pura-pura tidak lihat.
"Yaudah kalian berangkat gih," sambung Papa Reno -Papa Shilla- Shilla sambil melontarkan senyum kepada putri semata wayang dan menantunya itu.
Dengan wajah datar dan senyum palsu Cakka bergegas mengambil kunci mobilnya dan berjalan lebih dulu dari pada Shilla, Shilla hanya bisa mencibir dari balik badan Cakka.
Laki-laki ini bisa- bisanya bersikap cuek dan pergi begitu saja tanpa mengajaknya. Huh!
*
Ashilla POV
Sepertinya hari ini adalah hari sial ku.
Tadi pagi aku terlambat bangun dan Cakka tak membangunkan ku padahal dia lebih dulu bangun. Umm, aku juga sebenarnya tidak mengharapkan dibangunkan oleh nya, aku takut kalau-kalau dia masuk ke kamarku dan melihat ku sedang tidur yang mungkin rambutku saat itu seperti singa, cara tidurku yang aneh atau mungkin dengan mulut menganga sampai ileran? TIDAK!
Cakka pasti akan menertawaiku.
Masalah kedua, aku baru tau kami satu sekolah dan parahnya kami satu kelas, bagaimana jika ia tau bahwa aku sangat tidak pandai di Matematika, Kimia, Fisika, Bahasa Perancis, Penjaskes dan Seni Budaya, banyak sekali yang tidak aku kuasai dan membuatku nantinya hanya akan mempermalukan diri sendiri.
Masalah ketiga, aku satu meja dengannya. Tamatlah semua rasa sok jaim ku.
"Ashilla Kanaya, Alyssa Saufika, Alvin Jonathan, Angelia," saat mendengar namaku disebut-sebut aku langsung mendongkakkan kepalaku menghadap wanita paruh baya di depan kelas, Bu Ira.
"Kalian satu kelompok, kelompok ini membahas tentang 'sistem pernapasan manusia'," lanjut Bu Ira, guru Biologi.
Syukurlah kali ini aku tidak satu kelompok dengan suami tercintaku yang super cuek ini. Eh, eh, suami tercinta kataku? Bohong 100% bohong. Aku tidak mencintainya. Ingat dan garis bawahi.
"Alika Putri, Bastian Fernando, Bagas Ahmadi, Cakka Bhakti, membahas tentang 'sistem reproduksi pada wanita," setelah nama-nama anggota kelompokku di sebutkan selanjutnya adalah kelompok Cakka dan aku tak perduli dengan siapa-siapa dia satu kelompok.
"Daniel, ..." bla bla dan aku tidak mendengarkan nama nama kelompok lain.
"Minggu depan setiap kelompok akan persentasi kedepan dengan pembahasannya masing-masing, ada 3 bentuk tugas yang harus diselesaikan, makalah, mind mapping dan ppt, grup terbaik yang sesuai pembahasan dengan persentasi akan Ibu beri poin khusus," ucap Bu Ira yang dibalas anggukan murid-murid yang sudah mengerti.
*
Saat ini aku sedang berada di kantin dengan teman baru ku, Sivia, Ify, Rio, Alvin, Gabriel dan tentu saja Cakka. Dimana ada aku disitu ada Cakka. Sepertinya kami memang selalu bersama dan semua teman satu kelas ku sudah menebak kalau kami berpacaran padahal yang benar berpacaran saat ini adalah Rio dan Ify.
"Lo pesen apa biar gue pesenin?" Tanya Cakka, kelima teman ku yang berada didepan kami mulai melirik.
"Sama-an aja deh sama lo," jawabku sekenanya karena merasa agak risih dengan pertanyaannya yang terasa sok akrab.
Ngomong ngomong Cakka kok baik sih? Mungkin saja dia sedang akting di depan orang-orang agar banyak yang beranggapan kalau kami benar pacaran dan tak ada yang curiga dengan kedekatan kami.
Cakka beranjak dari kursinya, bisa kupastikan dia mau memasan pesanan ku dan pesanannya.
"Lo sama Cakka beneran pacaran nggak sih, Shill? Kok kedengeran lo canggung gitu?" Tanya Sivia melihat respon ku yang memang ku akui sangat canggung pada Cakka.
Aku tersnyum tipis, "ya gitu deh,"
"Dan 'loe-gue' kalian bener-bener keliatan fake," ucap Sivia lagi kali ini benar benar membuat ku spot jantung.
"Kenapa?"
Tatapannya mulai curiga, aku menatapnya dengan pandangan kosong, "berantem?" tanya Sivia yang membuatku dapat bernafas lega.
"Enggak kok hehe," ucapku, kali ini sedikit lebih santai.
"Biasanya gue sama Rio pake gue-loe kalau lagi berantem, kali aja lo sama Cakka lagi berantem," ucap Ify menimpali. Aku hanya menggeleng dan memberi pengertian bahwa aku dan Cakka memang sedang tidak bertengkar.
"Yakin?" Ify bertanya sekali lagi yang ku balas dengan anggukan kecil.
Sepertinya aku harus belajar ber aku-kamu dengan Cakka. Walaupun membayangkannya saja sudah membuatku merasa aneh sendiri.
Cakka datang bersama Rio kemudian menyusul Alvin dengan nampan yang mereka bawa masing-masing, Cakka menyodorkan sepiring siomay tepat kehadapanku. "Makasih," ucapku padanya sebelum menyantap makanan itu.
Berteman dengan Sivia ternyata menyenangkan aku jadi tidak merasa bosan, selain cantik, Sivia juga easy going.
Aku yang beruntung atau memang takdir atau apapun itu aku merasa bangga karena selain masuk kedalam kelas favorite aku juga bisa berteman dengan the most wanted sekolah seperti Alvin, Sivia, Rio-Ify dan Gabriel dan yang kudengar dari siswa-siswi lain Rio dan Ify sampai disebut sebut sebagai 'Best Couple' di sekolah, tak heran karena menurutku mereka memang sangat cocok.
*
Aku memang tak habis pikir.
Mama mengirimkan ku sebuah pesan singkat siang ini saat aku dan Cakka diperjalanan pulang. Oke, itu tidak masalah yang kupermasalahkan itu tentang isinya.
From : Mum
To : Me
Shilla sayang, mama sama papa lagi di Bandung ada urusan kantor, oh ya Bi Asih lagi pulang kampung.we'll miss you.
APA!?
Bi Asih juga pulang kampung?
Berarti hanya ada aku dan Cakka dirumah.
Shit!
Aku memutar bola mataku dan beralih pada laki-laki yang berada tepat disampingku. Well, aku sudah pernah mengatakan dia termasuk salah satu cowok ganteng yang pernah ku temui dan kali ini aku hampir terpesona dengannya disaat ia serius nyetir--- OH MY, Shilla... apaan sih.
"Cakka?" Kupanggil namanya menghentikan pemikiran liar ku.
"Hmm," Cakka berdehem membalas panggilan ku.
"Mama sama Papa ke Bandung," ucapku.
"Hmm,"
"Bi Asih juga pulang kampung,"
"So?"
Aku menaikkan alisku, "gue nggak bisa masak, jadi kalau mau makan kita makan diluar," Cakka hanya diam saja, jangan bilang dia akan marah setelah tau ini.
Tapi setelah beberapa detik, kulihat sudut bibirnya terangkat, lebih tepatnya menyeringai.
"Kayaknya lo harus belajar masak deh," ucapnya.
What the f**k?!
"Gue nggak bisa," kali ini aku tak bisa menghindari untuk tidak meninggikan suaraku.
"Gue mau makan masakan rumah," ucapnya, elah apasih maunya nih cowok.
"Ya kan sama aja, nanti kita beli di rumah, rumah makan,"
"Istri yang baik itu, istri yang dengerin kata-kata suaminya,"
DEG'
Seperti ada ribuan volt listrik yang menyengat tubuhku, istri katanya?
Apa aku salah dengar?
Aku tidak membantah, setelah ucapannya itu aku diam seperti patung, yang pasti tidak sama dengan patung liberty. Hanya saja, kata-kata itu untuk saat ini sangat tabu untuk ku dengar. Oh please.
*
Sekarang disini lah kami, didalam supermarket untuk berbelanja bahan makanan yang saat ini aku butuhkan. Seperti yang kalian tau aku akan memasak. M e m a s a k, seorang Ashilla Kanaya memasak? WOW.
"Ada lagi?" tanya Cakka.
Kulirik kearah keranjang yang menggantung manis ditangan kanan ku. Wortel udah, kentang udah, brokoli udah, udang udah, daun sup udah, bawang-bawang juga udah apa lagi ya?
"Cepetannn.." lanjutnya mendesak.
"Sabar napa sih," ku hentakkan kakiku lalu berjalan duluan meninggalkannya.
Nyebelin gak sih. Dimana-mana kalau belanja itu dipikirin baik-baik apa yang mau dibeli dan itu tuh butuh waktu.
DASAR.
Setelah beberapa menit menghabiskan waktu berbelanja akhirnya aku tiba juga di didepan kasir, kuletakkan keranjang belanjaanku ke depan Mbak-mbak kasirnya.
"Berapa mbak?" tanya ku setelah semua belanjaanku dimasukkan kedalam kantong plastik.
"Dua ratus tiga ribu mbak," aku mulai merogoh kantong rok dan baju seragam ku. Tunggu...
Sekali lagi ku rogoh dan menyadari kalau tasku tinggal di mobil. Baru saja aku ingin berbalik tiba-tiba sebuah tangan melingkari pinggangku.
"Sekali lagi kalau belanja, dompet jangan diletakkin sembarangan," bisik seseorang -oke, itu Cakka- namun aku tidak merespon karena terlalu terpaku dengan sentuhan tangannya dipinggang ku.
"Nih mbak," ucap Cakka pada si Kasir sambil menggeser tukaran uang seratus ribu sebanyak tiga lembar di atas meja kasir.
Setelah menerima kembalian aku dan Cakka keluar beriringan dari supermarket itu. Sedikit risih dengan tatapan aneh Mbak-mbak kasir yang melihat kami seolah-olah 'ini anak SMA sok mesra bet dah, besok juga putus lu bedua'.
"Maksud lo apa-an sih tadi?" Tanyaku pada Cakka setelah menyadari apa yang terjadi.
"Nah," Cakka memberikan benda persegi panjang berwarna fuschia kepadaku yang membuat ku terkaget karena dompet yang ku maksud tadi ada di tangannya.
"Lo dapet dari mana dompet gue?"
"Jadi cewek itu jangan bego' banget deh,"
"Apa?"
"Tadi dompet lo tinggal dirak buah,"
"Eh masa sih?" Pantas saja aku merasa ada yang tertinggal. Haduh, jadi malu kan sama nih bocah.
Tapi... "Btw thanks."
*
Aku mulai mengiris-iris wortel lalu kentang dan bawang seperti yang baru saja k*****a di Google tentang cara memasak sup ayam yang benar dan baik, sepertinya memasak tidak terdengar seburuk itu. Sesekali kilirik kearah Cakka yang duduk disofa ruang TV, dalam hati aku terus berdoa agar masakanku ini nantinya tidak berakhir ditong sampah, setidaknya jika tidak terlalu enak maksimal masih bisa dimakan.
Setelah bumbu-bumbu di tumis, sayur-sayuran dimasukkan kedalam rebusan, aku mengiris sentuhan terkahir yaitu daun seledri---"aww," entah aku yang terlalu ceroboh atau terlalu menghayati tanpa sengaja aku ikut mengiris ujung jariku.
Aku menarik tangan ku menjauh dari pisau dan saat itu perih diujung jariku mengeluarkan darah segar.
Sial!
Saat itu, Cakka berjalan mendekat kearah ku dan mematikan api kompor, aku hanya memandngnya karena kebingungan.
"Mana tangannya?" tanyanya yang membuat ku semakin bingung.
Dahinya mengernyit lalu menarik paksa tangan ku kemudian membersihkan darah yang keluar dari tanganku dengan mulutnya.
"Ck," decaknya.
Seperti anak kecil yang baru saja dikagetkan sesuatu, aku hanya bisa terdiam, namun pandangan ku sama sekali tidak dapat lepas padanya.
DAMN!
***