***
Ashilla POV
Perlahan aku mundur dan melepaskan pagutan bibirku dari bibir Cakka, semua terjadi begitu singkat seakan-akan tidak nyata.
Aku? Cakka? Berciuman?
Aku memandang Cakka tepat dimanik matanya.
"Sorry," bisikku.
Cakka menghela nafas berat. "No, it's not your fault. I know you didn't mean it,"
Aku bahkan tidak tau alasannya, mengapa aku membalas ciuman Cakka.
Ini salah, aku menyadarinya namun entah mengapa rasanya terlalu sulit untuk melepaskannya.
Ah ya, sadar Shill itu hanya karena suasanya romantis yang mendominasi.
Aku meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini terjadi karena suasana yang mendukung.
Setidaknya ciuman pertama ku terjadi sesuai keinginanku, saat matahari akan tenggelam walaupun bukan dengan orang yang ku cintai.
"Kita pulang," Cakka bergegas membalikkan tubuhnya dan berjalan lebih dulu dari pada ku.
Setelah kejadian ini apa aku masih punya muka untuk melihatnya?
**
Aku menarik koper ku beriringan dengan Ify dan Sivia saat keluar dari kamar, hari ini kami akan kembali ke Jakarta setelah tiga hari berada di Bali.
"Nggak terasa ya udah 3 hari aja disini, " ucap Ify setelah kami memasuki lift.
"Gue punya kenangan indah disini," ucap Sivia.
Apa aku juga?
Apa ada kenangan indah yang juga ku rasakan?
Dan entah untuk alasan apa, pipiku tiba-tiba saja memanas.
Di lobi, semua peserta study tour sudah berkumpul, sambil menunggu yang lainnya tiba beberapa orang tampak berbincang. Aku melirik ke sekelilingku dan dapat melihat Cakka yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya di kursi paling ujung. Sejak kejadian kemarin, aku memang belum bertemu dengan Cakka, bukan hanya aku, ia juga sepertinya menghindari bertemu dengan ku.
"Melamun aja!" suara yang tiba-tiba mengintrupsi membuat ku memalingkan wajah dari pandanganku kepada Cakka.
"Alvin!" Aku berseru karena sebenarnya Alvin berhasil mengagetkan ku.
"Liatin siapa sih?" Ia bertanya dengan pandangan yang mengikuti pandangan ku sebelumnya.
Aku buru-buru menyentuh pundaknya dan berharap ia menatap ku, meskipun berhasil namun Alvin tampak mengernyit dan membuatku bingung sendiri untuk menjawab apa.
"Nggak ada," ucap ku.
"Cakka?" Dan yah! Sepertinya ia berhasil mengetahui siapa yang beberapa waktu lalu ku pandang.
"Apaan?"
"Lo liatin Cakka kan?"
"Enggak!"
"Keliatan kok, lo lagi liatin dia,"
"Enggak kok!"
"Lo bedua pacaran?"
No, we're more than just 'pacaran'.
"No, not really,"
"Terus?"
"Yaudah gitu deh, apaan sih nanya-nanya,"
"Gue kan mau tau,"
"Kepo deh,"
Alvin terkekeh melihat ku yang mulai kesal, "lucu deh lo,"
"Emang gue pelawak, lucu?"
"Ya menurut gue lucu,"
"Serah lo deh,"
Saat aku melirik Cakka sekali lagi, aku yakin seratus persen ia baru saja memalingkan wajahnya dari ku.
Tidak, ini bukan aku yang ke geeran.
Begitu tiba di Jakarta, aku di sambut oleh pesan Mama yang mengatakan bahwa Mama batal menjemput kami dan menyuruh untuk naik taksi saja, Mama bilang ia tak ingin membuat keanehan karena menjemput aku dan Cakka bersamaan sementara hubungan kami di mata teman-teman lainnya hanyalah pacaran.
"Lo balik sama siapa?" tanya Alvin karena melihat ku yang tampak linglung setelah kepergian Ify dan Sivia.
"Dijemput?" tanyanya lagi yang kubalas dengan gelengan kepala.
"Mau barengan sama gue?" Saat aku hendak menggeleng kan kepala seseorang menyentuh pundakku dan berkata, "dia bareng gue," dan aku tau dengan jelas suara siapa itu.
Cakka.
"Oh, kalian bareng?" tanya Alvin.
"Ya," jawab Cakka.
"Alright, gue duluan kalau gitu, bye," lalu Alvin pergi begitu saja meninggalkan ku bersama Cakka.
Aku memandangnya sebentar, Cakka membalas tatapanku dengan tajam.
"Ayok!" ucapnya lalu berjalan lebih dulu.
Bisa nggak sih, bersikap biasa aja?
**
"Cepetan!"
"Iya, bentar!"
"Cepetan!"
"Iya, sabar!"
"Lama banget sih!"
"Dibilang bentar juga!"
Aku berlari menghampiri Cakka yang berdiri berkacak pinggang didepan pintu, ku benarkan tatanan rambutku agar terlihat tidak berantakan karena berlari tadi. Malam ini kami akan pergi ke rumah Cakka alias rumah mertuaku untuk acara makan malam bersama mengingat Mama Amel ulang tahun beberapa hari lalu.
"Lo..." ucapannya tiba-tiba tergantung karena melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala yang membuat ku merasa seperti ditelanjangi saja.
"Apaan sih?" celetukku tak nyaman.
"Lo..." kali ini ia memandang ku.
"Kenapa? Belum nyadar juga kalo ternyata gue cantik?" ucapku melihat keanehan ditatapan wajahnya.
Aku melirik pakaian ku yang ku pikir tidak terlalu buruk, gaun warna peach tanpa lengan selutut dan stiletto silver.
What's wrong with these?
"Pakaian lo terlalu terbuka," ucap Cakka.
Masa sih? Perasaan enggak deh.
"Udah deh kelamaan kalo mau ganti baju lagi," tak peduli dengan komentarnya aku langsung saja menarik lengan Cakka masuk kedalam mobil.
Selama perjalanan Cakka tidak lagi berkomentar tentang pakaian ku, ia hanya menyetir dengan fokus sambil mengetukkan jarinya di stir dengan alunan musik pop yang ikut menemani perjalanan kami.
"Lain kali, lo nggak harus pakai pakaian kayak gitu," ucap Cakka setelah kami tiba dan hendak turun.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala ku. Lagi pula menurut ku tidak ada masalah dengan pakaian ku. Cakka saja yang menanggapinya berlebihan.
Didalam rumah sepertinya kami adalah tamu yang paling dinantikan, Mama Amel menyambut aku dan Cakka dengan hangat sementara teman-teman Mama Amel tampak tergitik melihat kami. Aku jadi merasa gugup sendiri karena merasa aneh ditatap seperti itu.
Aku duduk di kursi yang telah disediakan bersebelahan dengan Cakka. Mama Amel memperkenalkan ku terlalu berlebihan, ia menyanjungku bak permaisuri yang tiada cela berkali-kali aku hanya dapat tersipu malu karena sebenarnya aku tidaklah sesempurna seperti yang Mama Amel katakan.
"Jadi Cakka dan Shilla ini sudah membentuk keluarga yang sempurna ya Mbak?" seorang teman Mama Amel berkomentar setelah Mama Amel menjelaskan bahwa aku dan Cakka sudah menikah.
"Sama sekali tidak akan buat warisan keluarga lari kesana kemari," ucap yang lainnya.
"Dan dari segi tampang, mereka juga akan menghasilkan anak yang cantik dan ganteng loh, perfect,"
What the...
Aku tersedak makanan ku sendiri mendengar ucapan para Tante Tante dihadapanku.
"Mereka cocok banget sebagai pasutri muda,"
"Iya, Cakka nya ganteng Shilla nya cantik,"
"Nanti Mbak Amel bakalan punya cucu yang imut imut,"
Oke, siapapun itu bisakah membawa ku pergi dari sini?
Ku lirik Cakka yang sama canggung nya berada diposisi ini, sebab itu akhirnya aku menyudahi acara makan ku dan permisi ke belakang dengan alasan hendak mencuci tangan.
Perkumpulan ini sama sekali tidak cocok dengan ku.
Di dapur aku tidak benar-benar mencuci tangan ku, aku hanya duduk di kursi sambil meminum air didalam gelas.
Dengan segenap rasa bosan yang menghampiri akhirnya ku putuskan untuk membuka akun sosial media ku.
1269 Qustions.
8622 Likes.
Wow! 2 hari tak membuka Ask.fm ternyata membuat pertanyaanku menumpuk.
'Shilla cocok bgt sm Cakka:')'
'Lo sama cakka cocok bgt sihh'
'Udah brp bulan sm Cakka, Shill?'
'Cakka ganteng lo cantik, kalian cocok bgt'
'Shill itu yg di ask.fm Cakka lo kan? So sweet'
'Aduh gue envy liat foto lo di ask.fmnya cakka'
Dan lain-lain.
Hampir semuanya berhubungan dengan Cakka.
Aku? Cakka? Cocok? So sweet? Envy? Foto? Semuanya membuat tanda tanya besar dikepala ku hingga membuatku mencari nama Cakka dikolom pencarian.
@CakkaBhakti
Search.
Setelah akun yang ku cari muncul aku pun mulai stalking jawaban Cakka.
HAH?! APA INI?!
2 jawaban terakhir Cakka menampilkan foto ku.
Aku tipe-nya? Itu 100% bullshit.
Dan yap dengan seenak nya foto saat dia mencium pipi ku sudah terpost dan terpublikasi di Ask.fm.
Cakka b******k!
***
"Shilla sama Cakka pulang dulu ya Ma... Pa..." Aku mencium punggung tangan kedua orang tua Cakka setelah berpamitan pulang.
Mama Amel memelukku cukup lama karena mulai besok dan beberapa bulan kedepan kami tidak akan berjumpa karena Mama Amel dan Papa Bhakti akan keluar negeri.
"Kamu sama Cakka baik-baik ya, akur-akur, jangan berantem," ingat Mama Amel yang kubalas dengan anggukkan kepala.
"Kamu juga Kka, jagain Shilla baik-baik," ucap Mama Amel pada Cakka.
Cakka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum kami masuk ke dalam mobil.
Ku pikir, diluar ide gila yang Mama dan Papa ku rencanakan tentang pernikahan aku dan Cakka. Kedua orang tua Cakka adalah mertua yang sempurna, mereka sangat baik dan begitu hangat padaku.
Mereka benar-benar mertua yang di impikan oleh gadis manapun.
"Apa yang lo pikirin?" tanya Cakka memecahkan keheningan malam.
Aku meliriknya, "nothing," jawabku.
Tiba-tiba aku teringat jawaban Cakka di Ask.fm yang menyangkut pautkan ku. "Lo... Apasih maksudnya pasang fot----" namun niat untuk menanyakan itu pun langsung sirna karena mendadak mesin mobil Cakka mati.
"Eh eh, ini kenapa?" tanya ku panik, aku mengintip dari jendela mobil dan yakin bahwasannya kami belum tiba di rumah.
Aku terdiam beberapa saat ketika Cakka masih berusaha menghidupkan kembali mesin mobilnya.
"Ck," Cakka mendecakkan lidahnya seolah ada yang salah.
Ia melirikku dan berkata, "tunggu bentar," lalu keluar dari mobil dan berjalan kedepan.
Beberapa saat aku menunggunya didalam mobil, Cakka tampak membuka kap depan mobilnya dan melakukan sesuatu disana yang jelas dari dalam sini aku tak dapat melihatnya.
Perasaan ku mulai tak enak, kenapa pakai acara mogok segala sih.
Beberapa saat kemudian aku memutuskan untuk turun dan menghampiri Cakka
"Mobilnya mogok, dari sini jauh kalau mau ke bengkel," ucap Cakka setelah aku menghampirinya.
"Hah? Terus gimana?" tanyaku.
"Gue udah telefon montir tapi kayaknya nggak bisa segera sampe,"
Aku mendengus kesal, ini sudah pukul 11 malam dan besok aku juga masih harus sekolah. Ditambah lagi tempat ini sangat sepi dan cukup membuat ku merasa takut.
"Kita tunggu didalem," ucap Cakka.
Aku mengangguk dan kembali masuk ke dalam mobil, beberapa saat aku hanya diam sementara Cakka berkali-kali menelfon seseorang yang ku tebak adalah montir yang ia maksud tadi.
"Gimana?" tanyaku setelah Cakka selesai dengan ponselnya.
Ia menghela nafas panjang dan mencengkram stir mobil kuat, "kayaknya Mas Adam nggak bisa dateng sesegera mungkin,"
"Terus?"
"Kita harus nunggu lebih lama,"
Kali ini aku yang menghela nafas, selain tidak bisa langsung istirahat permasalahan lainnya adalah aku akan terjebak bersama Cakka lebih lama dengan suasana ini.
"Telefon Papa aja deh," ucap ku memberi saran.
Cakka mengangguk setuju lalu ia menelfon Papa memberitahu Pak Jono agar kami dijemput sementara nantinya mobil ini akan dibawa ke bengkel.
Terhitung detik ini kami akan tetap menunggu.
Disaat aku memikirkan apa yang harus ku lakukan, apa yang harus ku bahas untuk memulai percakapan, ponselku berdering dan cukup membuat ku menghela nafas lega karena suara ponsel memecahkan keheningan.
Alvin Calling...
Alvin?
"Hallo?" kuterima panggilan dari Alvin.
"Shilla?" panggilnya, aku mengernyit, "ya?"
"Besok lo ada acara?"
"Nggak ada,"
"Kalau gitu gue mau ngajak lo pergi besok,"
"Besok?"
"Iya,"
"Ok, but you ok?" tanya ku karena suara Alvin tidak terdengar baik.
"Ya,"
Aku melirik Cakka yang mengamatiku dengan tatapan aneh, aku buru-buru mencari-cari alasan dan menutup panggilan dari Alvin.
"Kenapa?" tanyaku karena Cakka masih saja memandang ku tidak lepas.
"Telefon dari siapa?" tanyanya.
"Umm... Alvin," jawabku.
"Lo punya hubungan apa sama dia?"
"Temen,"
Cakka tersenyum sinis, "keliatan lo bedua lebih dekat dari itu,"
Aku mengernyit lalu Cakka menambahi, "itu yang gue liat selama di Bali,"
"Masak sih?"
"Yeah,"
"Perasaan lo aja kali, kita cuma temenan,"
Cakka memandang ku lebih lekat, "kalau lo sama Alvin semakin dekat maka hubungan lo sama gue nggak akan berhasil,"
"Hah?"
"Lo udah janji untuk berusaha jatuh cinta sama gue,"
"Gue sedang mencoba,"
"Seharusnya lo nggak buka kesempatan lain buat orang lain,"
Apaan sih!
"Gue..." Aku jadi merasa kesal karena Cakka mempermasalahkan kedekatanku dengan Alvin yang memang bagi ku hanyalah sebatas teman.
"Kenapa lo jadi kesal?" tanyaku.
"Jadi lo besok mau jalan sama dia?"
"Gue tanya, kenapa lo kesal?"
"Jadi lo terima ajakan dia?"
"Jawab dulu pertanyaan gue!"
Cakka terdiam beberapa detik sambil memandang tepat ke manik mataku, tak mau kalah aku membalas tatapannya.
Lalu Cakka menghela nafas berat, "have i told you yet how much that kiss means a lot to me?" dan untuk beberapa detik dunia ku seakan dijungkir balikkan.
Aku bahkan tak bisa mengontrol detak jantung ku yang tiba-tiba saja berdetak sangat cepat.
Sejak hari dimana kejadian itu terjadi, aku dan Cakka memang tidak pernah membahasnya lagi. Aku bahkan sudah hendak melupakannya jika saja Cakka tidak mengungkitnya saat ini.
Dan kenapa harus sekarang? Seolah ia memang sedang menyiratkan sesuatu didalam kata-katanya.
Suasana terpecahkan karena suara ketukan dikaca mobil. Aku memalingkan wajahku dan mendapati Pak Jono yang berada diluar mobil siap menjemput aku dan Cakka.
Oh, haruskah aku bersyukur akan kehadiran Pak Jono?
**
Author POV
Shilla menepati janjinya pada Alvin untuk bertemu dan pergi bersamanya setelah pulang sekolah, ia bahkan tak memperdulikan ucapan Cakka semalam untuk tidak lebih dekat lagi dengan Alvin. Yang Shilla tau, ia tidak akan lebih dari teman dengan Alvin.
Dan disinilah keduanya berada. Mall.
Alvin bilang alasannya mengajak Shilla karena Alvin butuh bantuannya untuk memilihkannya kado buat Mamanya. Ini seperti sesuatu yang tidak asing bagi Shilla.
Ketika Shilla mencoba mengingatnya ia menyadari bahwa hal ini juga terjadi pada Cakka dan Alika.
Shilla tersenyum sinis, jadi seperti inilah saat dimana Cakka dan Alika pergi berdua, mencari kado untuk Mama Amel
"Biasanya wanita itu suka apa sih?" tanya Alvin saat mereka mulai berkeliling.
Shilla mengamati sekelilingnya, "bunga," ucapnya. Karena salah satu yang ia tau, wanita suka dengan bunga. Tidak, ia menyukai bunga.
"Apa gue harus beli bunga juga?" tanya Alvin yang dibalas Shilla dengan anggukannya.
Alvin membeli dua buket bunga mawar merah yang kemudian salah satunya ia berikan pada Shilla.
"Buat gue?" tanya Shilla kaget karena Alvin memberinya bunga.
"Iya," jawab Alvin.
"Tapi gue lagi nggak ulang tahun,"
"Anggap aja ini tanda terima kasih gue karena lo udah temenin gue,"
Shilla tersenyum, "thanks,"
"You're welcome,"
Setelah memilih bunga, Alvin membelikan liontin untuk kado utamanya, Shilla membantu memilihkannya.
"You're such a romantic son," ucap Shilla setelah mereka duduk di cafe sambil menikmati es krim.
Alvin tersenyum, "thanks," balasnya.
Keduanya asik bercerita hingga tak menyadari langit diluar mall sudah menggelap.
"Sorry, lo jadi kemaleman," ucap Alvin saat mereka tiba diparkiran mall hendak kembali.
"Nggak apa-apa kok,"
"But, gue senang bisa pergi sama lo,"
Shilla tersenyum, "gue juga."
Entah ini bisa disebut kesialan atau apapun itu, diperjalanan hujan turun dengan tiba-tiba, Alvin yang memang membawa motor membuat keduanya dengan sekejab saja sudah basah kuyup. Karena sudah terlanjur basah mereka memutuskan untuk lanjut saja hingga tiba di kediaman Shilla.
"Sorry ya lo jadi kehujanan," ucap Alvin pada Shilla begitu tiba dirumah gadis itu.
"Nggak apa-apa kok," ucap Shilla.
Pandangannya tak teralihkan pada bibir Alvin yang membiru karena kedinginan, Shilla tidak sampai hati jika membiarkan Alvin pergi dengan hujan yang masih sangat deras namun ia dilemma karena di rumah, kemungkinan Alvin akan bertemu dengan Cakka.
Tapi...
"Vin, baiknya lo singgah dulu deh, gue bikinin teh di dalem, ini ujannya deras banget. Nanti lo sakit," ucap Shilla.
Alvin mencoba menolak dan berkata ia pasti merepotkan namun Shilla tetap saja memaksanya karena Alvin tampak semakin kedinginan hingga bibirnya bergetar.
"Lo nggak aman balik kayak gini," ucap Shilla yang akhirnya membuat Alvin mengangguk kan kepalanya.
Shilla memberikan handuk pada Alvin untuk mengeringkan rambut dan tubuhnya yang basah kuyup, ia meminta Alvin menunggu sebentar sementara ia mengambil pakaian ganti dan satu-satunya yang dapat ia mintai bantuan saat ini adalah Cakka.
Perlahan Shilla mengetukkan tangannya ke pintu kamar Cakka, hanya butuh beberapa detik hingga Cakka membukakan pintu.
"Cakka... Gue pinjem baju lo," ucapnya pada Cakka, yang diajak bicara mengernyit melihat Shilla yang basah kuyup.
"Dari mana aja sih lo?" tanya Cakka.
"Jangan tanya sekarang,"
Cakka sudah ingin bertanya lagi namun ia tak ingin membantah Shilla dan malah membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
"Gue mau pinjem baju lo," ucap Shilla merasa heran dengan apa yang dilakukan Cakka.
"Masuk, gue ambilin handuk buat lo," ucap Cakka.
"Apa?"
"Lo basah kuyup!"
"Gue tau, tapi bukan itu masalahnya,"
"Terus?"
"Gue pinjem baju lo, Alvin dibawah kedinginan," detik itu juga Shilla bersumpah ia melihat rahang Cakka mengeras.
"Apa?" tanyanya.
"Kali ini tolong gue,"
Cakka terkekeh sinis, "lo mau gue ngasih baju gue buat Alvin?"
Shilla menggangguk, "dia kedinginan,"
Cakka melirik Shilla dari ujung kaki hingga ujung kepala, "and you're soaking wet,"
"Itu nggak terlalu penting sekarang,"
Cakka hanya dapat terkekeh sinis sambil mengambil handuk untuk Shilla. Dan meskipun ia menyesali sikap Shilla saat ini, ia tetap memilihkan baju ganti yang bisa dipakai Alvin.