C02 : Pramudya Family

1098 Words
Di kediaman keluarga Pramudya terlihat Wira Pramudya beserta istri dan putranya tengah makan malam bersama. Pemandangan yang langka mengingat putra mereka, Harsa Pramudya selama ini memang sudah tidak tinggal bersama mereka karena memilih tinggal seorang diri di rumah pribadinya. “Sebenarnya ada urusan apa sampai-sampai Mama paksa aku untuk datang hari ini? Nggak mungkin cuma untuk makan malam bersama ‘kan?” Kemarin Iriana Pramudya memintanya untuk datang malam ini dengan alasan makan malam bersama, tapi Harsa yakin bukan hanya itu alasannya. “Kamu kan udah lama nggak pulang, memangnya kamu nggak kangen sama kami?” ucap ayahnya mengambil alih. Namun Harsa tidak menanggapi dan memilih untuk kembali fokus pada makanannya. Sejujurnya hubungannya dengan ayahnya tidaklah terlalu baik. “Papa kangen sama kamu. Papa tau kamu sibuk dengan urusan perusahaan, tapi sekali-kali kamu juga harus jenguk kami.” Mendengar ucapan ayahnya membuat Harsa terkekeh sinis. “Kangen? Aku nggak salah denger kan?” sindirnya. Menyadari suasana mulai memanas, Iriana pun berusaha menengahi. “Harsa...” tegurnya. “Kenapa? Ada yang salah sama omonganku?” balasnya tanpa takut. “Lagi pula masih ada putra Papa satu lagi, kenapa nggak coba ketemu sama dia aja?” tanya Harsa dengan senyum sinis yang masih terpatri di ujung bibirnya. “Harsa!” Ucapan Harsa kali ini mengundang teguran keras dari ibunya. Mata Iriana dengan Harsa kini saling menatap tajam. Tersirat ancaman dari tatapan Iriana yang dibalas Harsa tanpa takut. Lagi pula yang diucapkannya tadi adalah fakta, apa yang harus ia takutkan? “Jangan bersikap nggak sopan ke Papa kamu,” tegurnya sekali lagi. Bersikap sopan? Pada pria tua bangka di depannya ini? Tidak, terima kasih. Bagi Harsa, tidak ada alasan untuknya bersikap sopan kepada ayahnya. Selama ini tidak ada hal baik yang ditunjukkan Wira padanya, baik sebagai seorang ayah maupun kepala rumah tangga. Keluarga Pramudya, orang luar menganggap keluarga ini adalah keluarga yang sempurna. Terdiri dari Wira Pramudya, kepala rumah tangga yang penuh wibawa dan bijaksana. Lalu ada Iriana Pramudya, istri Wira yang terkenal akan kemandirian dan ketegasannya. Kemudian ada putra mereka, Harsa Pramudya—si sulung yang merupakan pewaris utama kerajaan bisnis Pramudya Group. Selain itu, ada juga si bungsu keluarga Pramudya—Askara Pramudya. Orang luar menganggap Aska adalah si bungsu keluarga Pramudya, tapi bagi Harsa, Aska hanyalah anak haram yang tidak seharusnya hadir di keluarganya. Belasan tahun silam, Wira Pramudya datang membawa anak kecil yang hampir seumuran dengannya ke rumah mereka. Ayahnya bilang bahwa anak yang ia sebut Aska itu adalah adiknya. Harsa kecil merasa begitu bingung. Bukankah untuk mendapatkan adik, ibunya harus mengandung dulu? Tapi ia tidak mendapati ibunya hamil bahkan melahirkan. Lalu bagaimana bisa ia memiliki adik jika ibunya tidak pernah hamil? Hingga akhirnya kebingungan Harsa pun terjawab. Harsa kecil mencuri dengar pertengkaran ayah dan ibunya hari itu. Ia dengar bahwa ayahnya punya istri lain selain ibunya, dan anak bernama Aska itu adalah anak ayahnya bersama istrinya yang lain. Di situ Harsa benar-benar merasa hancur. Sejak saat itu ia mulai membenci ayahnya. Masa kecilnya selalu diisi dengan pertengkaran orangtuanya. Ibunya menangis hampir setiap hari, dan ayahnya selalu berteriak hingga suaranya memenuhi seisi rumah. Ia benar-benar membenci pria itu... Suaranya... Wajahnya... Semua yang ada padanya... Setelah apa yang sudah ayahnya perbuat, Harsa pikir ibunya akan memilih pergi. Ia pikir ibunya akan pergi dan membawanya tinggal berdua tanpa laki-laki itu. Tapi dugaannya salah... “Harsa... kita sudah dibuat sehancur ini. Mereka telah mengambil segalanya dari kita, tapi ada satu yang bisa kita pertahankan,” ucap Iriana pada putranya yang saat itu masih berusia 8 tahun. “Perusahaan.” Satu kata itu meluncur dari mulut ibunya. Harsa kecil tidak mengerti dan hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya takut. Ibunya saat ini tidak terlihat seperti ibu yang selama ini ia kenal. “Kita harus mempertahankan yang satu itu apa pun yang terjadi, dan hanya kamu yang bisa mempertahankannya karena kamu pewaris sah Pramudya Group.” “Kamu harus pastikan mereka nggak akan pernah bisa menggeser posisi kamu. Kamu bisa lakukan itu kan, Harsa?” tanya Iriana dengan sorot penuh tuntutan. Tangan kurus wanita itu menekan kedua pundak Harsa hingga membuat anak itu meringis menahan sakit. Harsa menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Ingatan itu lagi-lagi muncul di benaknya. Ingatan yang ingin ia kubur dalam-dalam, namun sayangnya tidak bisa. Nyatanya memori itu masih suka datang tanpa ia minta. “Aku kenyang. Kalau memang nggak ada yang mau dibicarakan, aku pamit.” Berada di antara orang-orang ini tidak baik untuk pikirannya. Lebih baik ia pergi sebelum memori-memori terkutuk itu semakin menginvasinya lebih dalam lagi. Namun niat Harsa untuk pergi gagal karena dicegah ayahnya. “Duduk,” titahnya penuh wibawa. Namun Harsa tidak menurutinya semudah itu, hingga teguran keluar dari mulut ibunya sehingga mau tidak mau ia mendudukkan tubuhnya kembali. “Cepat, waktuku nggak banyak,” ucapnya tidak sabar. Wira menghela napasnya panjang. Dia tidak menyalahkan Harsa atas sikapnya ini, dia maklum jika anak itu membencinya. Hanya saja nasi sudah menjadi bubur. Ia mengaku salah, tapi tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk sekarang. Semuanya sudah terjadi. “Masih ingat dengan perjanjian kita minggu lalu?” tanya Wira membuat perhatian Harsa teralih ke arahnya. “Sepertinya kamu lupa. Oke, biar Papa ingatkan.” “Dalam bulan ini, kamu sudah harus dapat calon istri untuk kamu kenalkan ke kami. Jadi bagaimana? Sudah dapat kandidatnya?” tagihnya pada Harsa. Sial, lagi-lagi perjanjian itu! “Sudah aku bilang, aku nggak akan pernah menikah. Keputusanku untuk hidup melajang sudah bulat,” kata Harsa yang bosan karena harus mengulang-ulang kalimatnya ini. Sudah puluhan kali ia menegaskan tentang keputusannya ini, tapi tampaknya si pak tua ini memang tidak mau mengerti! “Kalau begitu, apa artinya kamu sudah siap untuk melepaskan perusahaan?” Wira memang membuat ultimatum bahwa jika dalam bulan ini Harsa belum juga mengenalkan mereka calon istri, maka mau tidak mau ia harus melepaskan perusahaan. Bukan tanpa alasan Wira membuat ultimatum ini. Dia sudah mendengar keputusan Harsa untuk hidup melajang. Hal itu menimbulkan kekhawatiran bagi Wira karena Harsa adalah pewaris utama perusahaan. Apa kata orang jika pewaris Pramudya Group tidak menikah? Dan bagaimana nasib perusahaan jika nanti tidak ada generasi penerus? Selain itu, Wira juga sudah sangat mendambakan kehadiran cucu. Usianya tidak lagi muda, dia juga sudah mulai sakit-sakitan. Harapannya hanya satu, ia ingin melihat dan menggendong cucunya sebelum ia mati. Sedangkan untuk masalah perusahaan, dia sudah sangat percaya pada Harsa. Melihat kinerja Harsa selama ini, ia yakin perusahaan akan aman meski ia mati sekalipun. “Sepertinya Papa harus mulai mempersiapkan penerus baru, dan sepertinya Aska kandidat yang cocok,” ucap Wira tanpa beban. Dia seolah tidak sadar bahwa ucapannya menimbulkan dampak yang besar bagi dua orang di sekitarnya, yaitu Harsa dan Iriana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD