C03 : Terrible Night

1308 Words
“Kamu nggak perlu khawatir. Aku sudah menyiapkan calon yang pas untuk Harsa.” Ucapan Iriana membuat Harsa melotot tajam. Calon mana yang ibunya maksud? Seingatnya, semua kandidat yang dipilihkan ibunya sudah berhasil ia singkirkan. Giana, anak dari rekan kerja Iriana sukses Harsa singkirkan dengan kalimat-kalimat tajamnya. Paula, salah satu bawahan Iriana yang terkenal akan kemolekan tubuhnya sukses Harsa singkirkan dengan tabiat Harsa yang kasar. Lalu, ada dua lagi yang tidak terlalu Harsa ingat namanya. Namun seingatnya, dua wanita itu juga sudah berhasil ia singkirkan. Jadi wanita mana lagi yang dimaksud ibunya? “Oh, benarkah? Kali ini siapa? Anak rekan kerja kamu? Atau salah satu bawahanmu?” tanya Wira yang sudah hafal dengan deretan wanita yang sukses dibuat patah hati oleh putranya. “Kali ini anak dari salah satu bawahan kepercayaanku. Dia punya anak yang cantik. Namanya Gista, lulusan luar negeri, dan sekarang berkarier sebagai seorang model. Kebetulan dia salah satu model di PM Media, anak perusahaan Pramudya Group,” jelas Iriana. Wira mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda bahwa ia puas dengan kandidat yang dipilihkan Iriana. “Sepertinya boleh juga, lanjutkan dan pastikan kali ini benar-benar berhasil,” titahnya. Iriana segera menoleh ke arah Harsa dan dari tatapan ibunya, Harsa sudah bisa merasakan adanya perintah yang tidak bisa dibantah. “Tenang, kali ini Harsa nggak akan mengacaukannya. Iya kan, Harsa?” tanyanya dengan nada menuntut. Harsa benar-benar muak. Ini hidupnya, tapi dia tidak bisa benar-benar memegang kendali akan hidupnya. *** Kabar dari Rani benar-benar membuat Nala lemas. Ia dipecat dan dia hanya punya waktu seminggu, dan setelah itu dia akan benar-benar diberhentikan karena salon tempat ia bekerja akan segera ditutup. Ya, alasan ia diberhentikan adalah karena usaha sahabatnya itu bangkrut. Rani bercerita beberapa bulan terakhir pemasukan selalu minus, pengunjung tidak banyak, bahkan seringnya tidak ada pengunjung sama sekali. Sedangkan Rani masih harus membayar sewa untuk tempat usahanya, dia juga masih harus membayar Nala dan beberapa karyawan lainnya. Setelah berpikir panjang dan melihat pendapatan yang semakin memprihatinkan, Rani pun memutuskan untuk menutup usahanya. Semua kejadian hari ini seolah mendukung hari buruk Nala. Ia dipecat, dan sore ini dia sudah harus memberikan jawaban ke budenya soal perjodohan itu, atau kalau tidak, budenya akan mencabut biaya perawatan ibunya. Ya Tuhan, kenapa hari ini dia begitu sial? “Bagaimana? Apa keputusan kamu?” Nala baru duduk di sofa ruang tamu, dan tiba-tiba budenya datang dan menagihnya jawaban. Budenya benar-benar tidak membiarkannya untuk bernapas barang sebentar. “Sudah bude bilang, waktu kita nggak banyak. Jadi, apa jawabannya?” Kalau sudah begini, memang dia punya pilihan? “Nala Mau,” kata Nala menggunakan gerakan isyarat dari tangannya. “Bagus! Keputusan yang tepat!” balas budenya sumringah. Ekspresinya saat ini sangat berbeda dengan wajah keponakannya yang justru terlihat lesu. “Kalau begitu datang ke alamat ini malam nanti.” Rahayu menyodorkan sebuah kertas yang diterima Nala dengan kerutan bingung di dahinya. “Dandan yang cantik dan jangan sampai terlambat,” tambahnya. Nala mengangguk ragu dan kembali meresapi tulisan pada kertas di tangannya. Tertulis nama hotel di sana, lengkap dengan alamatnya. Namun ada satu yang menyita perhatian Nala. “Apa ini nomor kamar?” tanya gadis itu sambil menunjuk angka yang tertera di sudut kertas. “Benar,” jawab budenya santai. Nala langsung kaku seketika. Ia merasakan tangannya dingin. Tunggu, nomor kamar? Jadi dia harus bertemu dengan pria itu di dalam kamar? Tapi kenapa? Kenapa tidak di restoran hotel saja?—batin Nala bertanya-tanya. “Wah, apa nih?” tanya Gista yang saat ini sudah merebut secarik kertas itu dari tangan Nala. “Ada nomor kamarnya segala? Lo mau diajakin ngamar?” katanya sambil tertawa merendahkan. Nala merasa harga dirinya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Bukankah ini sama seperti dia menjual diri? Merasa keberatan, Nala pun menggerakkan tangannya dengan tergesa-gesa. “Nala berubah pikiran.” Ia lalu kembali menggerakkan tangannya, “Nala nggak mau datang.” Keputusan Nala yang tiba-tiba berubah, sukses membuat budenya melotot tidak suka. “Jangan mengada-ngada kamu! Nggak ada yang berubah, malam ini kamu akan tetap datang ke hotel itu!” kekeh Rahayu. “Dan ingat, nasib ibu kamu sekarang ada di tangan bude. Kalau kamu nggak mau ibu kamu makin gila, turuti apa kata bude! Ngerti kamu?” Ancaman Rahayu membuat Nala tak bisa lagi berkutik. Budenya sengaja membawa-bawa ibunya agar Nala tidak bisa lagi menolak. *** Pramudya Hotel Nala memandangi tulisan besar di atas gedung berlantai 20 itu takjub. Hotel milik Pramudya Group terlihat megah di depannya, dan kenyataan bahwa pewarisnya saat ini sedang berada di dalam sana menunggu dirinya, semakin membuatnya gugup setengah mati. “Tunggu apa lagi? Cepet masuk!” perintah Rahayu. Malam ini Nala memang diantar langsung oleh Rahayu. Ini untuk memastikan bahwa Nala benar-benar datang dan tidak kabur. “Ingat, nomor kamarnya 45. Jangan sampai salah kamar,” ingatnya pada Nala. Nala tidak akan lupa karena sepanjang perjalanan ia sibuk mengamati kertas di tangannya yang saat ini sudah tidak berbentuk. Saat ini dia sudah sangat hafal dengan nama, alamat, hingga nomor kamarnya karena sepanjang perjalanan ia terus membacanya berulang-ulang. “Tunggu apa lagi? Buruan masuk!” sentak Rahayu begitu mendapati keponakannya yang lagi-lagi melamun. Setelah menghela napas panjang, Nala pun mendorong pintu mobil dan bersiap untuk keluar. Namun sebelah tangannya ditahan oleh budenya hingga membuatnya menoleh kembali. “Selama di sana nanti, jangan buka mulut sedikit pun. Jangan sampai dia tau kalau kamu bisu. Ngerti kamu?” Perintah budenya kali ini membuat Nala bingung. Bagaimana cara dia menutupi keterbatasannya ini? Itu hal yang mustahil ia lakukan. Tapi karena sudah terlalu lelah dengan semua ini, Nala pun hanya bisa mengangguk pasrah. Terserah, yang terpenting dia ingin agar semua ini segera berakhir. Dengan langkah yakin ia mulai berjalan memasuki hotel, menaiki lift dan mulai menekan tombol lantai yang dimaksud. Kemudian ia menelusuri lorong panjang sambil mengamati satu per satu nomor yang tertera di setiap pintu kamar. Saat matanya menangkap pintu bernomor 45, di situlah jantungnya kembali berulah. Nyalinya lagi-lagi menjadi ciut. Hasrat untuk memutar badan dan berlari menjauh begitu kuat, tapi Nala berusaha menahannya. Kamu bisa Nala, ini demi Ibu—batinnya menyemanagati. Dengan tekad yang kuat, ia pun mengetuk pintu di depannya beberapa kali. Lupa kalau ia tidak akan pernah mendengar sahutan—mengingat karena keterbatasannya ini, ia pun langsung memutar knop pintu di depannya. Tangannya yang gemetaran mendorong pintu itu dan memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam, betapa terkejutnya Nala karena ia mendapati sesosok pria berkemeja kusut dengan dua kancing teratasnya yang sudah terbuka, sedang duduk di lantai dengan banyak botol alkohol di sekitarnya, yang sebagian besar isinya sudah tandas. Ia pandangi sosok pria itu hati-hati. Tanpa diduga pria itu balik menatapnya. Matanya merah seperti orang yang tidak tidur berhari-hari, pandangannya juga terlihat seperti tidak fokus. Pria ini mabuk! Menyadari hal itu, Nala mulai mundur selangkah. Tanpa diduga pria itu mulai bangun dari duduknya, tapi ia masih tetap di tempatnya—diam dan masih setia mengamati Nala. Oksigen di sekitar Nala serasa hilang tak bersisa. Situasinya yang saat ini berada satu ruangan dengan orang asing—yang sialnya sedang mabuk, benar-benar membuatnya sulit bernapas. Nala terus menatap waspada pria asing di depannya. Tanpa diduga pria mabuk itu melangkahkan kakinya selangkah. Alarm bahaya di kepalanya mulai berbunyi, dan tanpa pikir panjang Nala segera memutar tubuhnya dan berusaha meraih pintu kamar. Namun gerak refleksnya kalah cepat dengan pria asing itu. Tangannya ditangkap dan langsung diseret menuju tempat tidur. Nala panik, ia berusaha berontak tapi gagal. Tenaga pria itu begitu kuat. Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya sudah dibanting ke atas tempat tidur. Nala berusaha bangkit namun lagi-lagi ditahan. Tubuhnya kini sudah terkunci oleh tubuh pria asing yang saat ini berada tepat di atas tubuhnya. Merasa berontak tidak ada gunanya, ia pun berusaha berteriak. Namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya, yang ada hanya suara lolongan yang menjijikkan. Tanpa sadar air matanya menetes, di saat seperti ini ia benci kenyataan bahwa ia bisu! Siapapun tolong aku!!—jeritnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD