Bab 4 Tiba

2446 Words
Satu persatu orang keluar dari pesawat yang baru mendarat, Mario berjalan lebih dulu sembari menenteng sepatu yang sebelumnya dikenakan Hanna. Tak berapa lama, perempuan itu pun menyusul dengan langkah sedikit tertatih. Mario bergegas merangkul lengan Hanna, dan membantu perempuan itu untuk berjalan. Sesekali Mario melirik pada sepatu yang dikenakan Hanna kini, tampak sedikit lebih besar dari yang biasa perempuan itu kenakan. Sempat terjadi pertengkaran selama mereka masih berada di pesawat, ketika Mario menawarkan sepatu yang rencananya dia berikan kepada Hanna sebagai hadiah. Mario tidak tega melihat Hanna sedikit kesulitan ketika berjalan menggunakan sepatu dengan hak tinggi, dia baru sadar setelah melihat luka lecet di kaki Hanna. Namun, niat baiknya untuk mencegah Hanna terluka lebih jauh, justru membawa pertengkaran di antara mereka. Mario mendesah lelah, ketika Hanna melepaskan rangkulan tangannya dan berjalan lebih dulu. Mario berusaha mendekat, tetapi penolakan yang Hanna berikan ketika dia hendak meraih tangan perempuan itu membuatnya mengembuskan napas kasar. "Daisy, aku mohon jangan seperti ini. Percayalah, sepatu itu benar-benar aku berikan untukmu. Mengenai ukuran yang salah, itu karena aku sempat keliru." Untuk ke sekian kalinya kalimat itu Mario lontarkan. Ya, permasalahan utamanya adalah sepatu yang salah ukuran. Mario segera meraih tangan Hanna saat perempuan berhenti melangkah, terlihat meringis seraya memandang sepatu yang dikenakan. Mario mengikuti arah pandang Hanna, ekspresinya berubah masam. Ukuran sepatu itu berbeda jauh dengan ukuran kaki Hanna, lebih dari 5 cm dari yang biasa digunakan. Tak heran Hanna mengira sepatu itu hendak Mario berikan kepada perempuan lain. "Daisy," kata Mario lirih. Hanna menghela napas, ia berbalik dan menatap datar pada Mario. Mungkin terdengar kekanakan bila marah hanya karena salah membeli ukuran sepatu, tetapi ini bukan kali pertama Mario melakukannya. Pandangan Hanna beralih pada high heels merah maroon yang berada di tangan Mario, sepasang sepatu indah itu adalah pemberian yang sama dari Mario dua bulan lalu. Sensasi perih bahkan masih terasa di kakinya yang lecet, Hanna hanya ingin membuat Mario mengerti sedikit saja dirinya. Namun, pria itu justru tidak menyadari sepatu merah yang Hanna kenakan sebelumnya adalah pemberian pria itu sendiri. Hanna mengembuskan napas kasar, lalu menunduk. "Mario, apa lima tahun ini, perasaan yang kau berikan benar-benar tulus? Kau tahu, terkadang aku ragu, apakah kau sungguh menyukaiku?" lirihnya. "Daisy ...." Suara Mario terdengar lemah kala memanggil, seolah menyadari kesalahannya yang ternyata fatal. Tawa hampa terdengar membuat Mario menatap bingung, Hanna masih terus tertawa seolah-olah sesuatu yang lucu telah terjadi. "Tidak perlu dipikirkan, sepertinya aku tengah sensitif." Hanna menoleh pada Mario, kali ini dirinya memberikan senyum lebar. "Hati-hatilah," ucapnya dengan nada jenaka. Mario memandang sendu pada Hanna yang kembali melangkah, pria itu menghela napas berat sebelum mengikuti dengan langkah perlahan. Hanna mengenakan kaca mata hitam yang sedari tadi menggantung di kemeja yang dikenakannya, udara dan suasana di Indonesia sangat berbeda dengan Inggris. Ternyata terlalu lama meninggalkan negara kelahiran membuat semuanya berubah banyak. Hanna mendongak, memandang hamparan langit biru yang cerah. Perjalanan selama kurang lebih 15 jam, waktu yang melelahkan dan membuat tubuhnya terasa kaku. Langkah Hanna terhenti ketika sebuah tangan menahannya, ia menoleh dan mendapati wajah canggung Mario. "Tunggulah di kursi, aku akan mengambil koper kita." Hanna hanya mengangguk sebagai balasan, Mario mencoba menyunggingkan senyum yang nyatanya terlihat dipaksakan sebelum berlari pergi. ~~ Tangannya yang hendak mengambil alih koper hitam di tangan kiri Mario, menggantung di udara kala pria itu menjauhkannya dari jangkauan Hanna. "Biar aku saja," kata Mario. Hanna menghela napas, lantas tersenyum pasrah. Ia bisa merasakan kecanggungan di antara mereka, dan disebabkan olehnya. Hanna tidak mengerti dengan dirinya sendiri, tidak biasanya ia marah oleh hal seperti ini. Bila bukan karena perdebatan kecil mereka tentang tiket itu, mungkin Hanna tidak akan se-kesal ini. "Terima kasih." Hanya kata itu yang mampu Hanna katakan, ia tidak mau membuat suasana semakin canggung. Sampai detik berlalu, Mario tak kunjung mendekat. Hal itu tentu membuat Hanna bingung, lalu memutuskan untuk berdiri di samping Mario lebih dulu. "Lupakan saja hal tadi, itu bukan masalah besar. Aku saja yang terlalu berlebihan," kata Hanna. "Jadi ..." Hanna meraih lengan Mario untuk dirangkulnya, kemudian melanjutkan. ".. ke mana kita pergi setelah ini?" Seketika tubuh Mario kaku, karena sangat jarang Hanna merangkul lengannya lebih dulu. Tak ingin mengabaikan kesempatan, Mario bergegas mengambil tablet dalam tas hitam yang dia bawa. “Kita memiliki janji makan siang dengan pemilik perusahaan, kau bisa bersiap di mobil.” Mario berujar sembari terus mengotak-atik tabletnya, pria itu berbahasa Indonesia dengan fasih. Meskipun aksen bule masih terdengar jelas. Hanna mengernyit, kemudian melirik jam tangan dilanjut memandang kedua kakinya. Ia mengembuskan napas, lalu melepas rangkulannya dan berjalan beberapa langkah di depan Mario. “Mario, aku lelah. Di bandingkan dengan makan, untuk saat ini aku butuh tidur. Bisakah kau mengerti?” tekan Hanna. Mario tersentak, lantas mendekat dan merangkul pinggang perempuan itu. “Babe, aku mengerti kau lelah. Tapi ini darurat, aku sudah menetapkan janji hari ini. Kau tahu bukan bahwa seorang pengusaha perusahaan besar pasti sangat sibuk? Aku janji ini tidak akan lama, hanya basa-basi saja. Kau mau, 'kan?” Hanna menunduk, Mario kembali seperti Mario yang dulu. Membujuknya dengan segala cara, agar apa diinginkannya terlaksana, tanpa memedulikan pendapatnya lebih dulu. Ia mengembuskan napas kasar, “Lalu kenapa kau tidak memberitahuku terlebih dulu? Jika seperti itu mungkin aku akan menghabiskan waktu di pesawat dengan terlelap.” “Aku minta maaf, sebenarnya pria itu menghubungiku ketika kau sibuk pemotretan kemarin lusa. Aku janji tidak akan lebih dari satu jam,” ujar Mario. Hanna mendengus, tanpa mengatakan apa pun, ia melanjutkan langkahnya. Mario tersenyum tipis, kemudian mengikuti langkah cepat Hanna. Dia tahu bahwa perempuan itu tengah kesal, tetapi Mario tahu cara jitu meluluhkan hati Hanna. ~~ Pintu mobil yang kembali terbuka membuat Hanna membuang muka, tak berapa lama Mario telah duduk di sampingnya. Hanna melirik sekilas, sebelum kembali fokus pada ponsel. “Apa kau akan terus merajuk seperti ini? Babe, kumohon mengertilah. Kerja sama ini akan menguntungkanmu lebih banyak, namamu kelak akan semakin dikenal oleh dunia. Meskipun perusahaan ini bukan nomor satu di dunia dan di Indonesia, tetapi produk yang mereka miliki lumayan terkenal.” "Di mana sopir taksinya?" tanya Hanna. Mario mengernyit, Hanna malah mengajukan pertanyaan dibanding menjawab kegelisahannya. "Aku menyewa mobil ini untuk dua hari," balasnya. Kini giliran Hanna yang menatap bingung, perempuan itu menoleh ke luar lalu kembali ke arah Mario. "Lalu siapa yang mengemudi? Aku tahu kau tidak memiliki SIM, Mario." Mario tersenyum tipis. "Aku menyewa jasa sopir juga, jadi bagaimana? Kau mau 'kan bila kita pergi untuk pertemuan ini dulu?" Pintu kemudi terbuka membuat mereka menoleh, seorang pria tersenyum seraya menunjukkan sebuah kartu pada mereka. Hanna membalas dengan anggukan dan senyuman, tak berapa lama mobil pun melaju. Ekspresi Mario yang menuntut jawaban membuat Hanna lagi-lagi menghela napas, ia memutuskan untuk bersandar seraya memejamkan mata. "Biarkan aku istirahat sejenak di sini," ucapnya pelan. Mario tersenyum cerah, dia mengangguk sebelum melepaskan jaketnya untuk diletakkan di atas tubuh Hanna. "Aku akan membangunkan mu setelah sampai," bisik Mario. ~~ Angin yang berembus disusul udara panas yang menerpa, membuat Hanna menyipitkan mata seraya memandang langit siang yang terik. Ia sontak menoleh ketika sebuah tangan menggenggamnya, Mario menatapnya dengan senyum khas yang dimiliki. Pria itu pun menarik Hanna untuk masuk ke dalam restoran, sebuah restoran di Jakarta bergaya Eropa. Mereka langsung disuguhkan oleh arsitektur indah di dalam restoran yang memanjakan mata, Hanna akui orang itu memberikan kesan kedua yang baik dengan memilih restoran ini sebagai pertemuan pertama. Seorang waiters menghampiri Hanna dan Mario, kemudian membungkuk memberi salam. Mario mengeluarkan sesuatu dari dalam saku, kemudian menyodorkan sebuah kartu kepada waiters tersebut. “Aku telah memiliki janji,” ujarnya dengan bahasa Indonesia. Waiters itu tampak terkejut, “Saya akan tunjukkan mejanya.” Kemudian dia berjalan terlebih dulu menuju sebuah ruangan. Hanna tidak terlalu memperhatikan desain restoran, tetapi yang pasti keadaan di sana lumayan ramai. Sepertinya restoran ini adalah restoran terkenal, atau mungkin karena makanan luar restoran ini cocok dilidah orang Indonesia. Mereka tiba di sebuah ruangan, terdapat beberapa meja kosong di sana. Waiters membawa mereka pada salah satu kursi dekat dengan dinding, kemudian meletakkan buku menu di meja. Hanna mendudukkan diri di sana sembari memperhatikan keadaan ruangan, ~~ Hanna kembali melirik jam emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, sudah lebih dari satu jam dari waktu yang dijanjikan dalam pertemuan. Suara bergemuruh diperutnya kembali terdengar, ia menopang dagunya dengan kedua tangan. Meja mereka masih kosong, tentu saja akan lebih baik memesan ketika semuanya telah datang. Mario melirik kekasihnya, rasa bersalah menghampiri. “Aku akan menghubungi dia kembali,” katanya sembari mengeluarkan ponsel dari saku jas. Layar di ponselnya baru saja menyala, tetapi sedetik kemudian layar hitam memenuhi ponsel. Mario mencoba menyalakan ponsel kembali, tapi percuma saja ketika dia menyadari daya baterai yang telah habis. Mario berdecak kesal, kemudian menyugar rambutnya kasar. “Sial, aku lupa men-charge ponsel.” Hanna yang mendengarnya menggeleng tak percaya, kemudian menyodorkan ponsel miliknya yang sedari tadi berada di atas meja. “Pakailah ponselku,” ujarnya. Pria itu mengangguk sebelum mengetikkan nomor yang ada pada kartu nama ke ponsel, kemudian menghubungi nomor tersebut. Namun, panggilan ditolak. Mario kembali mencoba, sampai akhirnya pada panggilan kelima, panggilan tersebut pun terhubung. Akan tetapi, bukan suara pria yang terdengar. Mario mengernyit, lalu memastikan dia menghubungi nomor yang benar. Wanita di seberang telepon terdengar berbicara dengan sopan. Mario berdeham sembari membenarkan letak dasinya, tingkah pria itu tak lepas dari pandangan Hanna. “Saya Mario, bisa berbicara dengan Tuan Sakha?” Kepalanya tanpa sadar menoleh ketika nama itu disebut, hanya perasaan Hanna saja atau memang nama tersebut terdengar familier untuknya. Ia kembali memperhatikan Mario yang kini tampak berbicara dengan lebih sopan, kening pria itu mengernyit sembari melirik pada ponselnya yang mati. Tak berapa lama, panggilan pun berakhir. Beberapa kali embusan napas kasar keluar dari mulut Mario, sesekali dia melirik ke arah Hanna. Sementara Hanna yang merasakan ada sesuatu tidak beres pun bertanya, ia membenarkan posisi duduknya. “Apa ada masalah?” Mario mengangguk, “Masalah besar.” Dia mendengus, lalu menyingkirkan ponselnya agar menjauh dari meja. “Daisy, maaf. Ini salahku,” katanya. “Bicara yang jelas, ada apa?” tanya Hanna. “Tuan Sakha mengatakan bahwa janji dibatalkan, beliau ada rapat penting yang tak bisa ditangani lain hari.” Penjelasan singkat Mario sudah cukup membuat Hanna kesal. “Dia yang menawari kerja sama ini, tetapi dia sendiri yang tidak bersikap profesional? Seharusnya dia menghubungi sebelum kita dalam perjalanan ke restoran,” hardik Hanna. Mario meletakkan ponsel Hanna, kemudian menggenggam tangan perempuan itu. “Babe, ini bukan salah Tuan Sakha. Beliau telah menghubungiku sejak kita tiba di bandara,” balasnya ragu. Hanna membulatkan mata, “Lalu bagaimana bisa kau tidak mengetahui ada panggilan penting itu? Apa saja yang kau lakukan? Padahal sedari di mobil, kau terus saja sibuk dengan ponselmu.” Bukan maksud menyindir, Hanna hanya tak habis pikir dengan apa yang Mario katakan. Terlebih ketika ingatan membawanya pada suasana di dalam mobil tadi, ia berbicara kepada Mario sekalipun pria itu menanggapinya dengan acuh tak acuh. “Aku tahu kau marah, tapi sungguh aku tidak sadar bahwa ada panggilan dari Tuan Sakha. Aku sibuk dengan ponsel karena urusan pekerjaan, juga mengecek jadwalmu selama di sini.” Mario menjelaskan selembut mungkin, berusaha agar Hanna memaafkannya. Namun, sepertinya percuma. Karena perempuan itu kini bahkan telah melepaskan paksa genggaman tangan Mario, kemudian memalingkan wajah. “Aku sungguh minta maaf, begitu banyak panggilan yang masuk. Sampai aku tidak sempat mengecek siapa saja itu, dan sepertinya aku melewatkan panggilan Tuan Sakha. Tapi tenang saja, beliau sudah menggantikannya dengan hari lain. Besok,” tutur Mario. “Ya, itu urusanmu. Memang berapa banyak wanita yang menghubungimu kali ini, sampai kau tidak menyadari telepon penting itu.” Masih terus memalingkan wajahnya, Hanna mencoba menyindir. Bukan hal yang aneh lagi bila dalam sehari bisa lebih dari lima wanita menghubungi Mario, kekasihnya itu sangat pandai dalam menyusun kata-kata manis. Mario tampak tersentak, sebelum kembali berekspresi normal. Namun, dia tidak dapat menyembunyikan kegugupan yang tertangkap jelas dimata Hanna. “Mereka memang menghubungiku lagi, tetapi tidak lebih dari sekadar masalah pekerjaan.” “Masalah pekerjaan? Pekerjaan seperti apa maksudmu? Mengajak mereka minum, apa itu maksudmu?” Hanna kembali berkata dengan sinis. Ia sudah paham betul watak Mario. Mario mengembuskan napas sembari mengusap wajah kasar, dia mencoba menahan gejolak panas di hatinya. “Daisy, ayo kita hentikan pembicaraan ini. Kau tahu sendiri 'kan bahwa mereka masih bekerja di bawah agensi kita, aku mana mungkin mengabaikan seseorang yang meminta tolong. Jadi, tolong mengertilah kali ini saja.” Keheningan pun terjadi, Hanna menutup mulutnya rapat-rapat. Ia kembali memalingkan wajah, memandang apa pun asal tidak pada pria yang duduk di depannya. Melihat Hanna yang diam membuat Mario tertunduk lemah, dia berdiri lalu berjalan dan berjongkok tepat di depan Hanna. Hal itu sontak membuat Hanna terkejut, amarahnya sedikit luruh ketika melihat ekspresi sedih di wajah Mario. “Oke, ini kali terakhir aku berhubungan dengan mereka. Tidak ada ajakan, pertemuan, dan juga panggilan.” Mario masih terus menunduk, dia tidak berani melihat respons yang akan diberikan Hanna. Tak berapa lama, suara tawa yang manis terdengar di atas kepalanya. Mario mendongak, Hanna tampak tertawa kecil. Menyadari tatapan Mario membuat perempuan itu menghentikan tawanya, kini giliran Mario yang terkekeh geli. “Sepertinya aku terlalu kekanak-kanakan,” ujar Hanna. “Maaf,” lanjutnya. Mario diam-diam bernapas lega, “Sebagai permintaan maaf. Bagaimana jika kita pergi jalan-jalan? Kemudian kau bebas membeli apa pun yang kau mau, aku yang traktir.” Hanna kembali melirik jam tangannya, kemudian menggeleng beberapa kali. “Tidak, aku ingin beristirahat saja.” “Kau yakin tidak ingin jalan-jalan? Atau setidaknya pesanlah sesuatu, selagi masih berada di restoran.” Hanna menggeleng kembali, “Tidak. Aku hanya ingin istirahat, lagi pula tenagaku sepertinya sudah habis sedari tadi.” Hanna berbalik, ia meraih tas tangannya lalu berdiri. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Hanna berbalik dan pergi. Mario bergegas mengejarnya setelah memastikan bahwa barang-barang bawaannya telah berada dalam tas. “Kau sudah memesan hotelnya, 'kan?” tanya Hanna. “Tentu, aku memesankan sebuah kamar yang pasti akan kau sukai.” Mario membalas dengan senyum bangga. “Dua kamar?” tanya Hanna memastikan. Mario mengembuskan napas kasar, “Ya. Seperti yang kau minta.” Dia menoleh pada Hanna, “Kita sepasang kekasih. Tapi kenapa kau selalu ingin kamar terpisah? Bukankah hal yang wajar bila kita tidur di kamar yang sama?” “Kau bukan suamiku,” jawab Hanna. Jawaban Hanna membuat Mario terdiam, kemudian menatap wajah Hanna dari samping. "Tentu saja bukan, karena ada seorang perempuan yang selalu mengatakan tidak siap terhadap lamaran seorang pria." Mario tahu Hanna mengerti makna tersembunyi di dalam perkataannya, terbukti dari Hanna yang memalingkan wajah. Mario tersenyum samar, dia mengusap rambut Hanna. "Ada pertanyaan lain? Kau tampak gelisah," katanya. Hanna terdiam beberapa saat, ingatan pada saat masih berada di dalam ruangan mampir di kepalanya. Akan tetapi, Hanna ragu untuk memastikan nama yang disebut beberapa kali oleh Mario. Lalu ia menggeleng, “Tidak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD