Wonder Women

1709 Words
"Tar, ampun. Busett Lo galak amat dah, mentang-mentang lagi dapet!" Tari semakin geram. Memangnya Langit pikir, dirinya terus-terusan haid gitu. "Gue udah gak dapet. Tapi bawannya gue masih mau makan Lo," ucap Tari gemas dan terus menepuk punggung Langit sesekali mencakarnya dengan kukunya yang tajam. Langit terlonggo atas pernyataan Tari. "Tunggu, Bayik. Lo udah gak dapet... bukannya kemarin itu Lo. Oh, gue tau, Lo boong,ya kemaren bilang dapet. Padahal Lo gak dapet,'kan. Iyah lah, Lo kan masih bayik." Langit menyerocos. Sudah Mentari katakan, kalo Langit itu bawel. "Heh! Lo pikir, cewek itu dapet setiap saat, enggaklah... tergantung sirkusnya. Ada yang lima hari, seminggu. Lu tuh sebenernya sekolah gak, sih, Lang?" "Gue sekolah. Tapi gak ada tuh pelajaran gituan," ucap Langit sudah mengambil kedua tangan Mentari dan ditangkup dengan satu tangan. Dia ingin Tari sedikit tenang. Walau Mentari menghujami Langit dengan pukulan kencang sekali pun. Diketahui, Langit tidak akan membalas Tari. "Tapi kan ada pelajaran biologi, Lang. Lagi masa gitu aja gak tau. Iiissh!" Ngaku playboy. Tapi soal perempuan dia sama sekali gak paham. Langit itu punya pacar buat jadi pajangan doang apa. "Jelas lah. Gue kan cowok mana paham dunia perempuan. Lo sendiri, kalo gue kasih tau itu cowok bisa nganceng cuma dengan liat paha cewek doang. Lo percaya, gak?!" Tari langsung membenarkan duduknya. Sial sekali dia pakai hotpants yang tidak bisa menutupi seluruh pahanya. Gerakkan Tari ditangkap mata Langit. "Gue kata semua cewek. Bayik mah gak masuk itungan!" Dia meraup wajah Tari asal. Maaf, interupsi. Langit bisa sesekali kasar ke Mentari kalo lagi keluar gemasnya. "Sue Lo, Lang!" "Udahlah." Tari mode ngambek. Dia menarik tangan dan melipatnya di d**a. Langit senderan di bahu Tari seolah mereka tidak habis bertengkar saja. "Yuk makan, yuk, Tar!" "Gak mau," balas Tari pelan. Langit mengambilkan kue odeng. Digoyangkan di depan Tari. "Ayok dong makan aku, Arsila Mentari," ucap Langit dengan suara imut. Tari menampik kue itu pelan. Tapi berhasil mengundang decakkan dari mulut Langit. "Atau Lo mau pakai ini. Gue ada sesuatu lho." Langit merogoh kantung plastik. Karena penasaran Mentari jadi memperhatikan. Dan ternyata cowok itu cuma mengeluarkan kantong gula bubuk yang tadi dia minta ke penjual. "Jeng jeng jeng... Yammy!" "Ahk, sumpah Lo gak jelas banget, Lang!" Tari menahan tawa. Kenapa Langit itu selalu berusaha menghiburnya dengan hal-hal kecil kayak gini. Sayangnya usaha Langit itu nampaknya berhasil. "Ini enak lho, Tar!" Dengan memasukkan jari telunjuk lalu menjilatnya. Langit sudah berhasil membuat Tari merinding. "Ha ha... belepotan tuh! Katro banget, sih Lo!" keluh Mentari. "Emang gue anak kecil gadoin gula!" lanjut Tari waktu Langit menyodorkan plastik tanpa henti. "Emang Lo bukan anak kecil. Lo kan bayik." Langit membuka plastik dan menaburkan di kue odengnya. Dia langsung makan buat dirinya sendiri. Kalau Tari gak mau, ya udah. Gak disangka, praktek langsung jauh lebih ng-efek dari kata rayuan. Mentari menelan ludahnya kasar. "Enak, Lang?" tanya Tari melirik kue yang di tangan Langit. "Enak lah." "Icip dong Lang!" "Ngerepotin gue, Lo!" Tapi Langit tetap menyuapi Tari. Mereka makan satu kue secara bergantian. *** Langit dan Tari sudah siap untuk sholat berjamaah. Tari bilang, dia ingin mendoakan sang ayah. Dan memang lebih baik seperti ini daripada dia terus meratapi yang pergi. Dan sebagai pria, Langit lah yang menjadi imam Tari. Mereka berdua khusuk dalam sholat. Lalu mengadahkan tangan, penuh ketulusan mendoakan almarhum Gunawan. Tiba-tiba Tari kembali terisak. Dari ekor matanya, Langit bisa melihat betapa gadis itu terluka. Mungkin Tari bukan orang yang pandai mengungkapkan kesedihan di depan orang banyak. Tidak seperti anak belia seusianya yang suka berbagi cerita di media sosial. Tari itu tergolong memprivate kehidupan pribadinya. Namun, justru karena begitu dia lebih susah untuk bangkit lagi. Langit cuma bisa mendesah lalu mendoakan Tari. Pertama kalinya dia merasa sangat tidak berdaya dan hanya bisa bergantung pada sebuah doa yang dia untai penuh harapan. Khusus, Langit mengadahkan tangannya untuk Tari. "Ya Allah, beri aku kesempatan supaya bisa menghadirkan senyum itu lagi di wajah Tari. Bagiku, dia orang yang sangat istimewa yang sulit aku gambarkan dengan kata-kata. Dan melihat dia sedih begini, perasaan aku hancur, Ya Allah. Kabulkan permintaanku yang ini." Langit sedikit memaksa diakhir doanya. Semata, karena dia tidak kuasa melihat Tari terluka. Langit bisa mengerahkan seluruh hidupnya asal kan Tari bahagia. "Lang?" Tari memanggilnya dengan suara serak. Buru-buru Langit menghapus tetesan airmata. "Iyah, Tar?" "Maafin gue,ya kalo cuma ngerepotin Lo!" Tari menunduk seakan menyesal. Langit jadi tersenyum lalu mengelus kepala Tari "Eh, dari kemarin Lo belom keluar kan. Yuk kita keluar, gak capek Lo ngedekem melulu. Lo kan bukan induk ayam, Bayik!" Langit menyengir kuda. Tapi Tari menggeleng. "Males ahk, panas..." tolaknya sambil melipat mukena begitu pun Langit yang membuka kopiah. Langit sudah menjulurkan tangan supaya Tari mencium punggung tangannya. Tapi Tari cuma melirik pedas. "Cium, tua'an, nih!" Paksa Langit. Tari akhirnya menurut. Dia mengambil tangan Langit tapi cuma untuk digigit. "Wadaw... Udah suntik rabies belom Lo?" Langit mengeluh sembari menggoyangkan tangan. Tapi cuma dengan senyum meledek Tari, Langit tidak lagi mau melanjutkan protesnya. "Ya.., ya... mau,ya Tar jalan sama gue. Kita kemana, kek! atau ke rumah gue yuk, nyokap cariin Lo tuh!" Tari menggertakkan gigi. "Gue gak mau Lang, Lo kok maksa deh!" "Terserah Lo deh. Kalo Lo gak mau juga gue gak bakal kesini lagi!" Ancamnya. Langit memang selalu childish. Dia tidak segan mengancam Tari seperti sekarang. Tari berfikir sejenak, tidak... dia gak mau Langit tidak ke rumahnya lagi. Dia masih sangat-sangat membutuhkan kehadiran Langit di saat kondisi berduka. Mentari segera ke kamarnya. "Ya udah, tungguin gue!" Langit terkekeh. "Tari... Tari.... Gue, Lo lawan!" *** Tari cuma memakai sweater ungu dan celana pendek selutut ditambah sendal jepit. Mukanya ditekuk tujuh. Dia belum ingin keluar cuma karena Langit, akhirnya terpaksa deh... "Ceiillah Bayik ngambek... gak usah cembetut gitu kalik!" Langit memegangi kepala Tari yang sejajar dengan ketiaknya. Cepat, Tari menangkisnya. "Eh, kalo Lo begitu terus, yang ada jemuran emak-emak pada gak kering!" "Kok, bisa gitu Lang?" Tari malah bertanya. Mukanya sangat ingin tau. "Iyahlah, kan Mentarinya sedih. Gak seceria biasanya..." kata Langit. Tari terkekeh dengan senyum miring. "He he he.. gak lucu Lang!" "Jelas, emang gue badut!" Langit cuma membawa Tari ke taman depan rumah mereka. Di sini, Langit pernah mengajarkan Tari naik sepeda sampai bisa. "Tuh Lo liat! dulu Lo suka banget kan main rumah-rumahan di sana!" ucap Langit sambil duduk di taman diikuti Tari. "Masa, gue gak inget!" Langit berdecak. Seperti sudah sepuh sekali ini si Mentari sampai lupa. "Iyah, yang gue suka ngejailin Lo sampe Lo nangis," ungkapnya jadi buka kartu. Tari mengangguk-angguk. "Pantes gue lupa. Abis, semua kelakuan absurd Lo udah gue lenyapin dari memori gue," kata Tari. Meski sebetulnya itulah saat-saat yang Tari kenang ketika dirinya membutuhkan asupan kebahagiaan. Dan tanpa terasa, Tari mengerti apa arti Langit dalam hidupnya. Lebih dari arti dirinya, Mentari bisa kehilangan dirinya sendiri tapi tidak dengan kehilangan Langit. Langit baginya tempat bermuara, sumber kebahagiaan juga gairah hidup. Entah ini cinta atau rasa ketergantungan. Yang jelas, Mentari tidak ingin Langit menghilang dari pandangan. "Justru gue yang beban ngajarin Lo. Sebenernya otak Lo ng-lag gak, sih. Gue ajarin sebulan penuh akhir-akhirnya tetep aja Lo sekolah bareng Gue!" Mentari menarik nafas dalam. Kalo jaman sekarang ada istilah toxic relationship. Yah, inilah mereka. Sudah dihina tapi, kok perasaan Tari terus tertuju ke Langit. Dia jadi bergidik apa ini juga dinamakan syndrome stockholm adalah kondisi korban yang merasa sangat beruntung diperhatikan pelaku. Walau aslinya, nyawanya justru sedang terancam. "Astagfirullah!" "Kok, Lo nyebut Tar?" "Ya Lo... Gue gak tau degh, Lo kayaknya pantes pake daster nyokap Lo deh! Kelakuan Lo tuh...." Mentari mengibasi tangannya, jengah. Tapi Langit menyeritkan alis. Lah.. Tari kenapa? Selama yang dia ucapkan fakta semestinya dia gak semarah ini kan. "Sekarang gue tanya, apa ada yang tahan sama pengajaran Lo. Apa ada yang berhasil Lo ajarin selain gue ini, cewek yang kepaksa 'sukarela' Lo omelin disaat kelakuan minus Lo itu keluar. Ada gak!" Mentari bersunggut-sunggut. Dagunya sampai naik untuk menantang Langit. Langit terdiam, seakan dia meratapi sikap buruknya selama ini. Sayangnya itu baru ada dikhayalan Mentari. Sembari meletakkan ibu jari di sisi pelipis, Langit menjulurkan lidah. "Wee.. ada Wee.. Lo gak inget sama Bulan. Dia gue ajarin naik sepeda langsung bisa. Gak kayak otak Lo, Tar. Bebel!" "Bulan? Lo pernah ngajarin Bulan naik sepeda?" Mentari jadi menatap Langit dalam. Terlintas rasa cemburu. Tapi Mentari berusaha menepisnya. Mungkin dia begini karena dirinya remaja belasan tahun lagi juga, Mentari baru saja kehilangan yang berakibat perasaannya lebih sensitif. "Yah, Bulan bisa naik sepeda karena gue yang ajarin dia!" Mentari mengangguk seolah memahami. Meski hatinya bergerumuh perih. Sisi benaknya mengingatkan diri sendiri bahwa dia tidak sespecial itu di mata Langit. Miris, sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang mendewakan Langit. "Lo kok manggut-manggut aja? Tapi Lo inget Bulan gak, temen Lo yang dari kecil cantik itu? Kira-kira sekarang dia makin cakep gak,ya?" Mentari memandangi Langit yang tersenyum puas. "Gak tau! Lo mikir aja sendiri!" Langit terkekeh mendengar jawaban Tari. Ini anak gak ada ramah-ramahnya sama sekali,ya. Jangan-jangan dia bukan manusia tapi kuntilanak yang dipantekin paku. "Bibir Lo biasa aja gak usah manyun!" "Tau ahk, gue gedek ama Lo. Gue mau balik aja..." *** Tiga hari setelah itu, Mentari mencoba pergi ke sekolah. Dia sudah memakai seragam juga menyisir rambut sebahunya. Mentari berencana pergi sendiri dengan menaiki sepeda ke sekolahnya. Dia trauma bergantung pada orang lain termasuk Langit. 'Ya, mungkin ini jalannya supaya aku bisa mandiri. Ayah... Aku berangkat,ya.' Tidak ada lagi tangisan. Tapi bukan berarti luka di hati Tari sudah sepenuhnya pulih. Dia hanya mencoba tersenyum bahkan jika yang keluar hanya senyuman palsu. Sesampainya di sekolah. Semua teman sekelasnya memperhatikan Tari dengan tatapan simpatik. Tari yang introvert merasa segan dia cuma mengangguk. Mayang menghampiri Mentari. "Tar.., gue turut prihatin,ya dengan apa yang terjadi sama bokap Lo!" Dia menyentuh punggung tangan Tari. Tanpa Tari cerita pun semua orang akan tau, karena berita gugurnya seorang TNI AD, Jatmiko Gunawan sudah beredar di televisi dan dunia maya. "Makasih." Mayang semakin merapatkan dirinya pada Tari. "Terus sekarang Lo sendirian dong, Tar?" Tari sesaat terdiam. Menatap bola mata Mayang. "Gue masih ada keluarga dari mama yang akan ngurus sekolah gue. Dan juga, keluarga Langit mau menganggap gue sebagai bagian dari keluarganya," terangnya jika itu yang mau Mayang tau. Mayang terlihat antusias saat nama Langit diucapkan. Bukan rahasia lagi jika Mayang sangat terobsesi dengan Langit. Dan entah mengapa, Tari merasa Mayang mendekatinya hanya sebagai batu loncatan menuju Langit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD