Siblings

1835 Words
Mentari akui, dirinya mungkin 'tidak sopan' karena langsung bisa menjudge seseorang lewat tatapan mata. Tapi itulah yang terjadi. Buru-buru dia menepis prasangka buruk. Toh, dia bukan siapa-siapanya Langit dan tidak baik untuknya memprotek Langit dari wanita lain. Setidaknya itulah kedewasaan Tari. "Tar, nanti siang gue main,ya ke rumah Lo. Lo pasti masih belum terbiasa sendiri kan?" Dona, sahabat Tari baru saja datang. Dia merangkul bahu Tari. Langsung Tari memeluk Dona erat. Responnya terhadap Dona sangat berbeda dengan cara dia menanggapi kalimat Mayang. Sesaat Mayang memperhatikan keduanya berpelukkan. Dia merasa geram sebab Dona mengacaukan obrolan ditambah dia jadi ingat, tadi lupa membubuhkan pelukkan untuk melengkapi kalimat simpatik. "Lo kuat, Say. Gue tau... Lo kuat!" "Ah, Dona, Tari... Gimana, gue bisa kan main ke rumah Tari?" tanya Mayang menginterupsi keduanya. Dona menyeritkan alis. "Buat apaan. Bukannya dari dulu Lo gak suka sama Tari?" Tari segera menoleh ke arah Dona. Bedanya dia dengan Dona adalah Dona bisa mengatakan fikirannya secara frontal tanpa takut menyinggung perasaan orang lain. Atau, dia tidak masalah Mayang tersinggung. Toh, memang itu tujuannya. Mayang terkekeh. Dia hampir saja kehabisan alasan, beruntung Tari menengahi. "Don!" "Kalo mau dateng, ya boleh, dateng aja!" ucap Tari seramah mungkin. Mayang tersenyum lebar. "Tuh kan boleh. Gue kan mau nemenin Tari, kasihan kan temen kita kesepian sendiri setelah ditinggal mati orangtuanya!" Itu bukan kalimat bela sungkawa. Bahkan Dona yang mendengarnya merasa marah. Begitu pun Tari, namun, sialnya kata-kata Mayang tidak ada yang salah. Hanya cara dia mengatakannya yang membuat semua orang jengkel. Tidak layak untuk seorang pahlawan dikatakan mati, semestinya gugur atau meninggal. Apa Mayang tidak pernah belajar? "Eh, asal Lo tau. Tari udah biasa sendiri!" Dona bilang gitu bukan maksud agar Tari tidak ditemani, tapi kalau itu dilakukan dengan maksud lain juga untuk apa? Tari paling tidak suka dirinya dimanfaatkan, dan sepertinya semua orang pun begitu. * Sepulang sekolah, bukan cuma Mayang yang mau mampir tapi juga Dona dan Mala. Mayang sedikit kesal, tapi dia tidak mampu menolak keduanya. "Assalamuaikum." Tari mengucapkan salam sembari membuka pintu. Sedang ketiga temannya menunggu di belakang. "Rumah Lo bagus, Tar!" Puji Mala yang baru pertama kali ke sini. Tari hanya tersenyum lalu mempersilahkan teman-temannya masuk. "Tar, yang di samping itu rumahnya Kak Langit,ya?" Mayang berbisik. Terlihat sekali tujuannya kemari. Mentari cuma memutar bola matanya melirik Dona lalu mengangguk. Dia berharap, Langit tidak datang dulu. Tapi harapan Tari harus sirna. Cowok tampan tapi jelalatan itu melonggo di depan rumah Tari. "Bayik! Ya Allah, gue kira Lo ilang diculik. Gue cari Lo ke mana-mana. Sampe ke bawah kolong tempat tidur. Ternyata Lo sekolah!!" Langit merasa lega sekaligus senang. Tari tidak bilang sama dia kalau mau sekolah. Dan tadi pagi dia mencari Tari tapi pintu rumahnya terkunci. Langit sampai bolos kuliah demi mencari Tari. Meski ucapan cari Mentari di kolong tempat tidur hanya bualan dia semata. Dan apa benar aksi bolosnya cuma demi cari Mentari, entahlah! Yang jelas tadi dia lebih mengkhawatirkan naik level game dibandingkan sibuk cari Tari. Langit langsung ingin memeluk Tari. Tepatnya mengeteki Tari seperti biasanya. Karena terlalu hafal, Tari bisa menangkisnya. Dona dan Mala tertawa karenanya, tapi tidak dengan Mayang yang bete. Dia kesal kenapa Tari bisa seakrab itu dengan Langit. Semestinya kan dia yang ada di posisi Tari, itu, sih menurut kalkulasi Mayang. "Iish! Lo ngapain sih di sini. Menjauh Lo dari gue!" "Kejam nian kau, Nak. Ini Abang kau... Abang yang mendidik kau hingga dewasa, ranca bana..." Tari mau muntah rasanya. Kenapa Langit tidak tau malu di depan teman-temannya. Udah ngomongnya paling kenceng. Salah lagi! Dan ternyata Langit tidak melihat kawan-kawan Mentari. Ketika dia sadar ada beberapa pasang mata memandangnya aneh, Langsung Langit membisikkan sesuatu ke telinga Tari. "Eh, ada temen Lo. Lo kok gak ngomong, sih, Bayik?" "Lo gak denger dari tadi mereka ketawain Lo. Makanya, rajin-rajin korek kuping!" "Ih, jatuh harga diri gue!" Langit langsung mendorong bahu Tari lalu berdehem. "Kalian temen sekelasnya, Tari,ya. Apa selama ini Tari nyusahin kalian?" Langit jadi mode kakak kelas kalem. Mungkin semestinya dia pakai kacamata baca sekalian berlagak jalan seperti seorang guru. Mentari mencibik, juga bergumam. "Najiiss!" "Kak Langit!" Mayang maju menghampiri Langit. Tapi gegas Tari mendorong bahu Langit. Dia tidak ikhlas Langit disentuh cewek lain. "Lo kan ada kuliah. Ngapain juga cari gue?" "Eh, Tar.. Kamu gak tau kalau kakak cemas sama kamu?" Langit mengubah cara bicaranya jadi lebih santun. Mentari terangga, ini orang abis kesambet di mana. Tapi bagus juga, sih, gini aja terus setiap hari. Palingan Tari sendiri yang merasa kehilangan 'keakrabannya' dengan Langit. Hm! "Jangan bilang Lo ga kuliah!" Tari menunjuk Langit. Langit cuma menyengir kuda. "Aku juga butuh refreshing dong, Dek!" Refreshing tuh buat orang yang udah berusaha keras atau minimal belajar seharian. Bukan buat orang yang mengabadikan hidupnya di konsol game kayak Langit ini. "Belajar aja enggak Lu, pake refreshing," sungut Tari. Langit tidak mengindahkan, dia malah duduk bersama teman-teman Tari. Dengan mode sok kenal sok dekatnya dia sudah mendapat hati Mala. Terlihat Mala yang tidak berkedip kala menatap Langit. Langit sendiri sudah terlalu hafal dengan tatapan seperti ini. Tatapan memuja yang dia dapat sejak dia kanak-kanak. Anak siapa dulu, dong, bunda Ina. "Eh, Si Mala sawan..." Dona bergumam. Mau mengambil air di gelas untuk dia diciprati ke muka Mala. Tapi Langit terkekeh, yang tadinya satu sekarang bertambahlah penggemar Langit. "Ya Allah, Gusti! Ganteng amat..." keluh Dona geregetan. Mentari berdecak, apa, sih ganteng. Wong, Langit itu biasa aja, kok. Gak ada gantengnya sama sekali. Dari atas Tari melirik muka Langit. Dia sampai mendongakkan wajah Langit dengan memegang dagunya, yang kini duduk meng'emper di depannya. Saat mata mereka saling pandang. Tari malah grogi. "Eeh, anjjiirr! Pala gue maen Lo dongak, dongakin aja. Lo punya kartu garansinya, gak?" Langit menyentuh dagunya yang tadi disentuh Tari. Tari menjulurkan lidah. Buat apa digaransi. Cowok modelan Langit itu banyak, kok. Ibaratnya kalau rusak bisa diganti sama yang baru. "Minggir gak Lo! Enyah Lo dari sini." Mentari bicara pelan. Dia yakin cuma Langit yang memahami arti komat-kamit bibirnya. Dan saat ini Mentari betulan gak mau Langit ikut campur urusannya. Tepatnya saat dia melihat kilatan suka di mata Mayang yang semakin besar. Langit menelan ludah kasar. Kalau sudah begini dia tidak lagi berani menggoda Mentari. Tapi sebelum pergi, Langit menyempatkan melambaikan tangannya ke teman-teman Tari. "Iissh!" * "Minggiran!" Mentari duduk di sebelah Langit yang sedang asik bermain game. Untungnya dia membawa perangkat gamenya di ruang keluarga. Mentari celingukkan mencari Bunda Ina, tapi dia harus puas saat tidak mendapati siapa pun. "Temen Lo udah balik?" tanggap Langit masih tetap mematut pandangan ke layar televisi. Alasan dia membawa perangkat gamenya karena lebih enak main di layar tv daripada di laptop. Mentari hanya mengangguk saja. "Lo lagi main apaan?" "Mata Lo buta." Sindir Langit membalas penghinaan Tari tadi. Tari tanpa segan menjewer Langit. Cowok itu mengadu tapi konsol game tidak juga lepas dari tangannya. "Mulai besok Lo jangan anter-jemput gue, oke!" Langit meletakkan konsol gamenya begitu saja. "Lah, kenawhy?!" "Yah, gue gak suka. Lagian gue mau mandiri!" ucap Tari. Langit memandanginya dalam. "Gue ada salah sama Lo. Apa gue udah menyinggung perasaan Lo?" Tari langsung tergelak. "Ya ampun Lang, Lo dari mana aja baru sadar, selama ini Lo umroh,ya?" "Ck, gak bisa! Gue tetap bakal anter-jemput Lo kecuali Lo kasih alasan yang jelas..." Langit cuma takut Tari tidak ada yang temani. Adiknya ini kan unik, cuma segelintir orang yang dianugerahi bisa memahami Mentari. "Gue gak mau!" "Yah kasih gue alasan dong. Minimal kalo gak mau gue jemput, Lo ijinin gue nganterin Lo. Jangan kayak tadi pergi tiba-tiba. Lo tau gak, gue cemas." Mata Tari berkaca-kaca karena diomeli Langit. Untungnya bunda Ina kembali dari pasar. "Eeh, Tari? Kalian pasti habis berantem lagi..." Pemandangan kedua bocah itu adu mulut seakan mengisi keseluruhan hari-hari Ina. Dan biasanya juga mereka akan saling meminta maaf karena tidak kuat berantem lama. Dulu waktu mereka kecil, paling kuat hanya dua jam tidak ketemu lalu satu sama lain akan saling mencari cara untuk kembali merekatkan 'tali persodaraan.' Entah Langit yang mengaku salah sambil cemberut atau Mentari yang membujuk Langit memaafkannya sembari nangis kejer. Terus, karena gak tega. Langit akan memaafkan dia. "Kalian tuh, akrabnya melebihi anak kembar tau, gak?" "Aku Bun kembaran sama si Bayik, ya kalik... aku berbagi rahim selama sembilan bulan sama dia! Bisa abis aku digencet Tari." Tari menjitak kepala Langit santai. Sembarangan, yang ada dia yang bakalan terus ditindih Langit. "Bunda mau mulai masak,ya?" Sebenarnya Ina punya usaha katering. Usaha yang dia rintis setelah sang suami pergi entah ke mana. Dan kini dia tidak pernah peduli lagi di mana sang suami berada. Beruntung saat itu Langit masih kecil. Jadi dia percaya saja saat ibunya mengatakan ayahnya sudah meninggal. Tari berlari kecil ke arah Ina. "Tari bantu,ya, Bun!" Ina tersenyum. Dalam senyumnya ada rasa syukur karena akhirnya Tari kembali menjadi dia yang periang. "Boleh, yuk!" Ina merangkul Tari. Tari nantinya hanya akan membantunya mengupas bawang dan semacamnya. Langit menjadi penasaran. "Aku juga dong, Bun. Bisa apa,ya aku?" Langit mengetuk-ngetuk telunjuknya di dagu. Ina semakin terkekeh. "Tumben waras!" "Ha ha ha... Bener tuh Bun. Tumben waras." Mentari mengulang ucapan Ina. Langit cuma bisa mendengus sebal. * Mentari ingin membiasakan dirinya pergi sekolah tanpa Langit. Entah mengapa, dia merasa mungkin akan ada saatnya Langit meninggalkannya atau.., membuat pilihan antara dia atau wanita lain. Sayangnya Mentari tidak ingin jadi pilihan dia juga tidak mau Langit merasa terbebani oleh kehadirannya. "Maafin gue,ya, Lang!" Sepanjang mengendari sepedanya dia selalu bermonolog mengingat Langit sampai Mentari tidak sadar dirinya sudah telat. "Ahk!" Mentari mendesah melihat pagar sekolah sudah tertutup. Mustahil buat dia masuk diam-diam apalagi dia membawa sepeda. "Neng Arsila!" Pak Eko menegurnya dari dalam. Hanya dia yang memanggil nama depan Mentari. "Pak, bukain, Pak. Please." Mentari mengangkup tangannya. "Kan Neng Arsila tau barang siapa yang telat bakalan dikunciin. Nah sekarang Neng Arsilla telat, jadi maaf Bapak gak bisa buka," ujar lelaki tua itu dengan cembetutan. Membuat kumis tebalnya bergerak sesuai irama. "Yah, Pak. Tapi aku udah sering banget gak masuk. Lagi juga tadi aku ke sekolah pake sepeda makanya telat. Bukan karena aku bangun kesiangan,ya, Pak!" Mentari memberikan alibinya. Pak Eko cuma bisa menarik nafas. "Makanya negbut, Neng. Ngepot. Hush! Hush!" "Terus kalo saya jatoh gimana, Pak?" Sebenarnya tadi juga salah dia tidak fokus membawa sepeda. "Oh,ya,ya. Kalo jatoh, Neng Arsilla gak bisa sekolah juga,ya?" Dia bergumam seorang diri, ragu, lalu kembali menatap Mentari. "Tapi tetep gak boleh Neng, Bapak ini cuma kerja ikutin peraturan. Dan peraturan nyebutinnya gitu jam tujuh teng. Langsung pintu ditutup!" Mentari menarik nafas gusar. Siapa, sih yang buat peraturan. Tiba-tiba saja lelaki muda berkacamata juga baru sampai. Dia terlihat masih berusaha menetralkan deru nafasnya. "Maaf, Pak. Saya telat!" Senyum manis tersunggil. Mentari terus memperhatikan guru fisika baru itu. Kabarnya dia baru berusia 22 tahun artinya 2 tahun lebih tua dari Langit. Tapi sikap mereka, tolong jangan disamakan. Pastinya sangat bertolak belakang. "Eh, Kamu juga telat?" tanya Damian, sang guru. Mentari hanya tersenyum kikuk. Damian menyadari tidak perlu dia bertanya karena pastinya anak ini punya masalah yang sama dengannya. Jadi, tanpa tau malunya dia mulai bernegosiasi dengan pak Eko. "Pak, boleh tolong bukain gerbangnya buat kita gak, please kali ini aja!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD