Don't disturb!

1916 Words
Entah mengapa pak Eko langsung luluh. Beliau membukakan pintu untuk keduanya. Mentari sampai melongo. Memang apa specialnya rayuan pak Damian. Apa karena aura pengajar ramah yang tidak bisa disangkal sampai pak Eko menurut. Tapi gimana pun Mentari merasa berhutang budi pada guru muda itu. "Pak, Makasih,ya," ucap Mentari sambil mendorong sepedanya. Dia ke tempat parkir sepeda. "Kamu selalu sekolah dengan membawa sepeda?" Ternyata Damian menunggu Mentari karena masih penasaran. Keduanya berjalan sampai koridor kelas berdua. Mentari menggeleng. "Biasanya saya dianter kakak saya, Pak. Tapi tadi dia lagi sibuk." Mentari akhirnya terpaksa mengakui Langit sebagai kakaknya. Lagipula, tidak ada hubungan yang jauh lebih special diantara mereka selain sibilings. Tidak ada cinta dan tidak akan pernah ada. "Ooh, gitu!" Damian mengangguk-angguk. "Sampai ketemu di kelas, Tari!" Tari terdiam sesaat mengingat jam pelajaran pertama yaitu fisika. Yah, masa duluan pak gurunya yang datang. Bisa-bisa dia distrap oleh Damian. "Tungguin saya, Pak!" Mentari cukup beruntung karena Damian memberi dia kesempatan masuk kelas lebih dulu sembari dia mempersiapkan bahan mengajar di ruang guru. Mentari masuk tanpa ada yang curiga satu pun. Tepatnya, tidak sadar kalau Mentari baru tiba. Cuma Dona, yang heran karena Tari telat. "Telat Lo, Tar?!" Tari mengangguk saja. Belum ada lima menit, Damian masuk kelas. "Selamat pagi anak-anak!" Dia melempar senyum tipis khusus ke arah Tari. Tari bukan merasa begitu percaya diri, tapi dia sangat yakin penilaiannya itu tidak meleset. Apalagi anak-anak lain cuma membalas sapaan Damian. "Kalian sudah membawa tugas bulan lalu kan?" Mentari spontan menoleh ke Dona. Dona memberikan tanda V ditambah juluran lidahnya. "Gue lupa, Tar kalo ada tugas bikin prakarya dan gak gue infoin ke Lo!" Mau marah, tapi dia tidak bisa. Tari tau pasti Dona tidak sengaja. Kini giliran dia menatap guru muda itu. Ternyata sejak tadi Damian memperhatikan Tari. "Kamu gak mengerjakan tugas dari saya, Tar?" Tari cuma tertunduk. Dan siapa yang sangka, Damian meloloskan Tari dari hukuman. Itu dia lakukan karena dia tau, Tari tidak masuk disebabkan musibah yang menimpa ayahnya. "Sudah, sudah. Kalian yang tenang. Saya tidak bermaksud pilih kasih. Tapi, apa ada dari kalian yang ingin menggantikan posisi Tari?!" Pertanyaan itu tidak mampu dijawab oleh beberapa murid yang awalnya protes Tari dibebaskan dari hukuman. Sementara Tari tidak bisa menahan tangisnya. Dia semakin sesegukkan waktu Dona memeluk dari samping, seolah mengasihaninya. Tari benci jadi lemah! * Bel pergantian pelajaran sudah terdengar, Damian merapikan buku-bukunya dan berniat keluar kelas. Saat yang sama Mentari berusaha mengejarnya. Akhirnya mereka mengobrol di depan kelas. Dia melap airmata kasar dan menatap guru muda itu nyalang. Tari bukannya tidak tau terima kasih. Tapi baginya jauh lebih menyakitkan 'dikasihani' banyak orang. Seharusnya dia ikut membersihkan kelas saja nanti sepulang sekolah sesuai hukuman yang berlaku. "Saya tetap membersihkan kelas nanti siang sama Bombom dan Banu!" Dua siswa itu juga ketahuan tidak mengerjakan tugas. Damian menyeritkan alis. "Lho, kenapa? Bukankah saya bilang tidak usah?" Tari menggeleng cepat. "Enggak! Saya bakalan tetap menjalani hukumannya. Kalo Bapak gak mau hukum saya, biar saya yang menghukum diri saya sendiri. Kata ayah, salah ya salah, tidak ada normalisasi untuk sebuah peraturan!" Damian tertawa kecil. Mentari jadi bingung, kemudian guru muda itu menyondongkan badannya mendekati Mentari, dia berbisik di telinga Mentari. "Terus yang tadi itu. Waktu kita telat, gimana?" Wajah Tari jadi tegang. Dia tidak mengerti maksud Damian. Betulan ingin menolongnya atau mengolok-olok dirinya. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Damian menarik diri dari Mentari. Tangannya mengelus rambut Mentari tanpa sungkan. "Kamu memang pantas jadi anak seorang Jendral," ujarnya sebelum pergi. Setelah mengatakan itu dia melanjutkan langkah dengan Mentari yang belum bisa menormalkan detak jantung. "Tar.., Lo ngapain sih di depan kelas?" Dona KEPO karena Tari tiba-tiba saja keluar. Melihat mimik Mentari, dia mencoba celingukkan, siapa yang membuat Mentari jadi membeku gini. "Dona, kok jantung gue degdegan,ya?" Mentari memandangi Dona bingung. Apalagi Dona, tambah bingung lagi. "Lo abis liat hantu?!" "Aiissh! Bukan, tadi gue kan kejar pak Damian. Terus jantung gue rasanya lompat-lompatan." Dona tertawa mendengar pernyataan Tari. Dari circle mereka cuma Tari yang belum pernah pacaran. Padahal dia tidak bisa dikatergorikan jelek. Mungkin karena Mentari terlalu selektif. Tapi kini Dona tau minat Tari. "Ha ha ha Lo naksir sama pak Damian. Jadi Lo suka sama yang lebih tua dari kita, iyah?" Celotehan Dona membuat Mentari menyeritkan alis. Belum juga membalas, pengajar selanjutnya sudah datang dan jika mereka tidak mau dihukum. Lebih baik keduanya masuk, bukan? * Tari pulang telat. Dia betulan menjalani 'hukumannya' Tari gak mau semua teman sekelasnya memandangnya iba. Cukup Langit yang beberapa hari ini jadi lebay, sok peduli. Eh! Tapi, Langit memang peduli betulan, sih. Dia masuk ke kamar. Memikirkan omongan Dona. Apa benar, dia ada getaran dengan pak Damian. Tapi, bukannya itu wajar? Tari dengar... pria itu belum punya pacar. Lagian, usia dia dan Damian tidak begitu terpaut jauh? Lalu bagaimana Damian memandangnya? Dan apa pantas Tari memupuk perasaan suka. "Yah, daripada sama Langit kan!" Tiba-tiba saja Langit sudah ada di ambang pintu sembari melipat tangan di d**a. Bibirnya cembetut. "Astagfirullah! Jelangkung." Langit masuk dan duduk di samping Tari. "Lang, Lu kayak jelangkung. Datang gak dijemput pulang gak diantar!" "Bukannya tadi Lo nyebut nama gue?" kilah Langit. Mentari mengeles... "Kata siapa? Gue lagi ngomongin langit yang ada di atas! Lagian kan, belum sampe tiga kali. Lo udah ngaciir kemari aja!" Langit tidak peduli dengan omelan Tari. Lagipula udah gak ngefek apapun, kok. Dia kemari karena ingin bicara serius. Bundanya meminta Langit kuliah yang nantinya bisa mengantarkan dia bekerja di kantoran tentunya dengan posisi yang bagus. Tapi Langit justru ingin kuliah yang bisa mengantarkan dia membuka usaha sendiri. Adalah cita-citanya menjadi wirausaha bertangan dingin. Sayangnya, Langit ngobrol sama salah orang, diia malah ditertawakan Mentari. "Ha ha ha. Lo mau buka usaha apa? Warnet PS. Kalo gitu ngapain kuliah? Duit kuliah Lo jadiin modal aja!" katanya enteng. Mentari bilang gitu setelah mempelajari kebiasaan Langit yang cuma pandai dibidang main game. "Ck! Masa gue lulus SMA jadi Kang warnet, tinggian dong!" ucap Langit mengikuti iklan yang dulu hits. Mentari menabok paha Langit. "Yah, terus apa. Lo kan gak punya kehebatan apa pun. Dibidang mana pun, Lang?" "Ha ha ha... Lo tuh lagi memotivasi Gue apa lagi menurunkan semangat gue, Tar?" "Tergantung cara pandang Lo, Lang." Mentari memutar mata gak mau melihat pelototan mata Langit. "Yah, seenggaknya gue mau buka restoran Tar. Lo tau kan gue pinter masak!" Tari bisa bengek kalo sekali lagi mendengar kalimat itu keluar dari mulut Langit. Iyah, masakan cowok itu lumayan. Tapi belum tentu selamanya. Bisa saja kan kemarin faktor keberuntungan. Dan apa iyah, Langit cuma akan menyediakan kudapan sphagetti di restorannya. "Lo tuh pede tingkat dewa, Lang namanya," ujar Tari setelah menyelesaikan tawanya. Karena kesal tidak didukung adik KESAYANGAN-nya itu. Langit jadi mendorong bahu Tari. Niatnya gak sampai Tari jatuh, sayang gastrue Tari terlihat dia kehilangan keseimbangan. Jadi, Langit mencoba menahan dengan lengannya. Satu tangan Langit ada di punggung Tari. Satu lagi mencengkram tangan Tari. Keduanya jatuh bersamaan, untungnya ini di kasur. Langit berada di atas Mentari. Sekian detik memandangi wajah Tari. Eh, sejak kapan bibir Tari begitu berkilau seolah memanggil jiwa mudanya memberi kecupan di sana. Dan apa ini? Kenapa Langit merasa perutnya yang menindih d**a Tari, dan terasa kenyal. "Lang, bangkit gak Lo!" "Lo kira gue syaitan. Bangkit dari kubur..." gumam Langit, masih terus memperhatikan bibir Tari saat dia bicara. Itu membuat jakun cowok itu naik turun. "Isshh!" Dengan kekuatan penuh Tari mendorong Langit. Dia menyingkir ke samping. "Eh, Bayik. Kudu gue yang marah. Tangan gue sakit, nih ketindih badan Lo!" Tari yang masih tiduran miring tidak mau menjawab. Dia takut kalau dirinya bicara maka suaranya terdengar serak sangking berdebarnya. "Eh, Lo nangis Bayik?" Langit menarik bahu Tari supaya memandangnya, namun sekuat tenaga Tari menahan posisi. "Lu kenapa, sih. Lu nangis?!" Langit semakin berusaha membuat Tari jujur dengannya. Semenjak kehilangan ayahnya Tari memang suka nangis. Dan Langit cuma takut itu terulang lagi. Duh! Ngerepotin banget. Untung sayang. "Adekku sayang, kenapa?" Langit dengan gaya sok imutnya mengelus rambut Tari. Sayangnya, Tari lagi mode patung mau diapain juga dia gak akan berkutik. "Gue kelitikinnya?!" "Pergi aja Lang dari kamar gue!" Suara Tari terdengar dingin. Belum pernah dia bersikap seperti ini pada Langit. Seolah-olah yang bicara tadi bukan Mentari. "Huuft!" Ya udahlah..." Langit merasa hampa. Ada hal yang kurang meski hidupnya hari ini dan kemarin sama saja. Dia memandangi Mentari sebelum keluar kamar. "Tapi kita gak lagi berantem kan. Kita masih bisa ngobrol kan?" Langit paling takut dimusuhi Tari. Setelah Langit pergi, Mentari bangun. Dia sedang mempertanyakan dirinya mengapa dengan Langit dan Damian jantungnya berdebar. Apa jangan-jangan dia sakit jantung lagi. Tapi gak, ahk. Tari sehat, kok. Terus, apa karena Tari punya cikal bakal playgirl. Ini pasti gara-gara Langit nih. Trend center Mentari. Sampai Tari ketularan. Hanya satu yang dia sadari, debaran jantungnya ke Langit dan Damian itu berbeda. Bersama Langit, debaran itu lebih... "Ahk..., gue ketulah sama Langit, nih. Tiap kali dia ngomongin tentang mantannya gue selalu ketawain dia dan sumpahin dia gak bakal ada yang mau sama Langit. Terus masa sekarang gue yang malahan suka sama dia?!" Mentari menunjuk dirinya sendiri. Kemudian melirik ke pintu takut Langit menguping. Cowok itu kan gitu! Dia juga merasa ini hanya faktor puberitasnya jadi bawaan melihat lawan jenis selalu saja berbeda. * Malam hari, sesuai dengan ucapan Langit. Mentari jadi membuat kertas warning di depan kamarnya yang bertuliskan. "DILARANG MASUK TANPA IJIN. TERUTAMA LANGIT PRASETYA!" "Nah kalo gini kan Langit gak bakalan beralasan lupa lagi. Eh, udah berapa kali,ya gue bilang jangan masuk kamar gue. Tapi tuh bocah masih nyolong masuk aja. Iih!" Mentari menuju dapur. Dia ingin memanasi makanan yang dia beli kemarin. Mentari memang sudah terbiasa makan lauk angetan. Bukan karena tidak mampu, tapi karena dia malas keluar. Selama lambungnya menerima dengan baik Mentari tidak akan mempersoalkan rasa makanannya. Dia meletakkan soto daging yang sudah dia panaskan di mikrowave ke meja dapur. Sedikit menambahkan garam biar rasanya lebih sedap. "Papa suka banget sama soto daging, Tar!" Kenangan ayahnya berbicara dengan mimik riang terlintas. Rasanya semua begitu nyata seakan terpampang di depannya. Bedanya saat ini Tari sendirian. Dia melap airmata kasar. Tidak ada yang lebih menyakitkan saat tau dirinya hanya sebatang kara bahkan diusianya yang masih belasan. Tari memasukkan nasi langsung ke mangkuk. Dia bergumam. "Makan, yuk, Pa." Hanya angin yang Tari dapati. Tanpa ada yang menjawab. Langit datang bermaksud mengajak Tari makan malam bersama bunda. Dia langsung ke kamar Tari, waktu melihat ada tulisan Langit terbengong. "DILARANG MASUK, ah! palingan itu buat orang lain. Si Bayik, kayak ada yang mau masuk aja ke rumah ini selain gue. Kan yang suka keluar masuk itu gue doang!" Langit berucap bangga. Tapi saat melanjutkan bacaannya, dia jadi mendelik tidak terima. "Eh! Bayik, bisa-bisaan gue disomasi. Awas Lo!" Meski marah, Langit tetap menghormati isi perintah. Dia jadi mencari Tari disetiap sudut ruangan saja. Bagian pertama yang didatangi dapur karena Langit haus. "Eh di sini Lu, Bayik!" Langit dengan santai membuka kulkas Tari. Melihat isinya membuat dia miris. Hanya ada beberapa botol air yang isinya sudah berkurang. Langit membawa sebotol air yang masih penuh dan menyodorkan ke Tari. "Astaga! Lo makan sama sayur sisa kemaren. Lo mau keliling dunia, Tar?" Langit itu tau, Mentari tidak perlu berhemat. Bahkan dia punya tabungan yang cukup secara dia anak seorang jendral. Lalu kalau Tari makan irit. Artinya, dia punya rencana lain, bukan? Contohnya pergi jalan-jalan. Tari lanjut mengunyah. Saat ini soal keuangan Tari tidak perlu dipusingkan. Berbeda dengan Langit yang anak seorang janda jadi sejak kecil Langit mencoba hidup prihatin. Tapi kan, semenjak ayah Tari meninggal, dia hanya akan mendapat gaji terusan selama beberapa bulan saja. Artinya sekarang Tari dan Langit tidak ada bedanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD