Tak Mampu Merelakan

1780 Words
Langit mencubit kerah baju Tari. Ditentengnya seperti menggendong anak kucing. "Ayok kita makan di rumah gue. Kita perbaiki gizi Lo, Bayik." "Gue gak mau!" Mentari langsung menangkis tangan Langit. Sembarangan, dia kecil bukan karena kurang gizi. Tapi memang perawakannya menurun sang mama yang punya badan mungil. Namun, Langit tidak terima penolakkan. Digoyangkannya kursi Tari, saat Tari mulai mual dia menyodorkan minum. "He he he ... Lanjut makan di rumah gue,ya." Langit sampai merebut mangkuk makan Tari. Tari membanting sendoknya. "Kenapa, sih, Lang. Lo suka banget ngrecokin hidup gue?!" "Lah itu kan guna,ya gue hidup. Buat menguji keimanan Lo!" "Oh, jadi secara gak langsung Lo menganggap diri Lo demit dong?" * Pertanyaan itu tidak terjawab. Karena pada akhirnya, Langit lah yang selalu menang dengan segala sabdanya. Mentari tumbuh dalam lingkungan yang sunyi. Ibunya jadi sering sakit-sakitan setelah melahirkannya dan tekad ayahnya yang tidak mau menikah lagi justru membuat Mentari tidak pernah merasakan kasih sayang kecuali dari Ina. Ina, bunda Langit yang merawatnya sejak kecil atas permintaan Gunawan. Sebenarnya, Mentari bingung mengapa ayahnya tidak menikahi Bunda Ina saja. Mereka kan sama-sama orang bebas. 'Eh, tapi kalo dulu ayah nikah sama bunda. Artinya gue betulan jadi adeknya Langit dong. Jadi adek tetangga aja gue sengsara apalagi adek betulan. Nasib gue terancam punah.' "Lo mikir apa, Bayik?" Mentari menoleh ke Langit. Dia jadi ingin tau, apa pernah pikiran itu juga terlintas di benak Langit? "Lang... Lo ngerasa gak, sih. Kenapa,ya dulu bokap gue sama nyokap Lo gak nikah aja. Yah minimal kan gue ada keluarga sekarang kalo mereka nikah." Mentari mencoba memelankan suaranya tidak ingin menyinggung Ina yang ada di dapur. Tapi Langit justru membuka kartu. Dia tertawa kencang. Sampai Langit mendapat teguran dari Ina. "Langit...kok makanan diketawain, sih?" Ina fikir, anaknya mentertawakan sajian makanan ala kadarnya di depan dia. "Bukan Bun, aku lagi ketawain si Bayik!" Tari geleng-geleng. Gak bisa kalo gak mengempos paha Langit. Langit itu kan tinggi dan besar, suaranya juga kencang. Ketawa doi bisa buat anak bayi kejang-kejang. "Bisa gak sih serius dikit!" Tari mengertakkan giginya sampai berbunyi hentakkan. "Tar, gue ketawa soalnya gue inget dulu. Jadi pas gue SD. Gue pernah digebukin anak-anak lain terus ayah Gun dateng ngebela gue. Dari situ gue terus ngerengek minta ayah Gun jadi ayah gue tapi beliau cuma ketawa aja!" Mentari yang tidak mendengar kisah itu dari dulu jadi melotot kaget. Dia tidak menyangka jika Langit pernah mendapat tindakan pembullyan. "Serius Lo, Lang?" ucapnya dengan mimik tidak terkontrol. Langit memandangi Tari. "Yup! Waktu itu kan Lo masih kecil. Masih TK apa. Maka dari itu gue ngefans banget sama bokap Lo!" tuturnya. Dan Langit ingin katakan, tanpa mereka menjadi sodara di atas kertas pun, Langit sudah terlanjur menyayangi Arsila Mentari. Dia adalah wadah, tempat Langit belajar memberi kasih sayangnya terhadap seorang gadis sebelum akhirnya dia jadi playboy. Langit menyentuh rambut Mentari dielusnya seperti waktu dulu. "Lo mikir gak, sih Tar, mungkin kalo kita jadi sodara tiri kita gak akan seakrab ini. Bisa jadi Lo sama gue terjebak dalam rasa iri dan ingin bersaing tanpa ada ketulusan. Maka itu gue bersyukur, bokap Lo sama nyokap gue gak nikah. Satu lagi, kalo mereka nikah mana bisa Lo jadi jodoh gue nantinya." Langit tidak bermaksud apapun saat bicara perihal jodoh. Dia fikir, Mentari akan mendengus dan seperti biasa mengungkapkan ketidak setujuannya. Tapi yang Langit dapat, wajah merona Mentari. Seakan ada pelangi di wajah adiknya itu. Tatapan Mentari padanya pun lebih dalam, penuh arti. Sekian detik Langit merasakan desiran tidak biasa melintas rongga dadanya. Namun, pastinya akan dia sangkal dengan ucapan Mentari itu adiknya. Semua, bukan karena Mentari tidak cocok bersanding dengannya, hanya mereka tumbuh bersama. Melihat perkembangan satu sama lain. Tentunya jika mereka menikah hubungan itu mungkin tidak akan seru lagi. Dan apa bisa, Langit merubah persepsinya dari yang menganggap Tari adik kecil berubah jadi wanita yang layak mendapatkan cintanya. Entah! Mentari memberanikan diri menanyakan maksud kalimat terakhir. "Maksud Lo, kita gak bisa berjodoh. Apa, Lang?" Sayangnya bunda Ina sudah selesai mengambil keperluan di dapur. Wanita itu duduk di depan kedua anaknya. "Loh, masih berantem. Belum ada yang mau makan?" tanyanya dengan tangan terlipat di atas meja. Ina mengambil nasi untuk Mentari. "Lang. Jangan bikin Tari misuh-misuh terus dong. Nanti kalo Mentari pergi betulan gimana, gara-gara sebel sama kamu." Dia meletakkan nasinya seraya menyodorkan piring lauk khusus Mentari. "Gak akan, Bun!" Ina cuma bisa berdecak. "Iyah, tapi jangan berantem di meja makan juga dong!" Dia terlihat sangat sabar menghadapi keduanya. Mentari jadi malu hati. Makanya dia yang menjawab. "Iyah, Bun. Tari sama Langit gak berantem lagi!" *** Satu hal yang tidak Tari ketahui. Jika Langit sungguhan ingin menjadi pengusaha diusianya yang masih muda. Langit sebetulnya sudah lama merasa kasihan pada bundanya yang terus giat bekerja tanpa mengenal lelah bahkan diusianya yang sudah tidak muda lagi. Sebagai anak, Langit ingin memikul beban itu. Sudah banyak pengorbanan yang Ina buat sampai mengkreditkan Langit mobil bekas supaya dia tidak kerepotan bila pergi kuliah dan sekalian mengantar hasil katering ke pembeli. Satu hal, jika dia jadi pengusaha. Langit masih bisa mencurahkan waktunya untuk Ina, sang ibu. Langit tidak mau meninggalkan Ina hanya demi kesibukkannya. Yah, cita-citanya adalah menjadi anak yang berbakti dan sukses. Langit berfikir, bukan cuma uang yang dibutuhkan ibunya nanti di massa pensiunnya tapi perhatian penuh. Maka, jika dia ingin mengwujudkannya. Langit harus berusaha dari sekarang. Kebetulan dia sudah memegang ijasah SMA. Langit berfikir, sembari dirinya kuliah dia bisa sambil melakoni pekerjaan sampingan. * Langit sudah ada di sebuah restoran. Disebutkan dalam lowongan kerja, restoran itu membutuhkan tambahan kru pelayan. Langit berminat mengisi posisi tersebut. Baginya pekerjaan apapun asal halal. Lagipula kalau dia terus memilih pekerjaan. Dia tidak akan pernah memulai tangga kesuksesannya. Menjadi pelayan pun bisa membuatnya tambah wawasan asal dia pandai mengambil hikmahnya. Tidak ada pekerjaan rendahan, yang terlalu tinggi adalah sudut pandang. Menganggap jadi pelayan itu 'hina'. Seperti pelamar lainnya, Langit menunggu giliran di ruang tunggu dengan perasan berdebar. Tapi tidak menunjukkan semua itu melainkan Langit terus mencoba tersenyum. "Eh, liat deh. Ganteng banget,ya." Ternyata Langit punya penggemar sesama rekan pelamar. Teman pelamar itu langsung melihat ke arah Langit. "Eh, iyah. Mana manis banget senyumnya!" Keduanya tidak bisa menahan cekikkan. Langit berpura-pura tidak dengar. Karena kalau dia tanggapi yang ada keluar jiwa narsisnya. "Makasih,ya, Ris!" Beberapa waktu yang lalu pemanggilan para rekrut dihentikan sementara karena pemiliknya kedatangan tamu. Karena Langit baru datang, dia tidak tau itu. Namun, waktu teman pemilik itu keluar ruangan, Langit melotot tidak percaya. "Lho! Kak Langit." Bulan tersenyum lebar. Dia adalah teman sebaya Mentari tepatnya, juga anak tetangga meski rumah Bulan itu ada di ujung gang--depan jalan raya karena nyatanya Bulan anak orang kaya. Entah mengapa, Langit, Bulan dan Mentari saat kecil bisa berkawan. Atau karena sejak awal, Bulan menyukai Langit lebih dari sekedar teman kecil. Jika Mentari tomboy dan hampir tidak memperdulikan esensi seorang Langit yang super tampan. Berbeda dengan Bulan, sejak kecil sudah mulai naksir Langit. Mungkin perasaan itu masih bersisa hingga saat ini. Terlihat bagaimana pipinya mengembung dengan mata berbinar waktu melihat Langit. "Kamu ngapain di sini?" Bulan bisa melihat jika Langit sedang menunggu giliran masuk seperti yang lainnya. Tapi yang dia heran, untuk apa Langit mengincar posisi pelayan? Semestinya, jika dia mau. Dia bisa memulai karier dibidang tarik suara. Suara Langit khas, Bulan yakin, dia bisa dengan cepat menarik khalayak ramai dengan bakat terpendamnya itu. Jangan lupakan wajah tampannya sendiri sebenarnya sudah menjadi magnet bagi kaum hawa. Langit berdiri. Dia tidak enak ditegur Bulan di sini. Langit takut disangkanya masuk dengan koneksi orang dalam. Padahal dia sungguhan mendapat panggilan atas usahanya sendiri. "Aku lagi ngelamar kerja. Kayak yang kamu liat!" Bulan mengangguk kan kepalanya sembari meliirk cowok itu dari atas sampai bawah. Ternyata Langit tidak banyak berubah. Dia masih seorang pangeran di matanya. Bulan ingin menawarkan pekerjaan di tempatnya. Tapi, mengingat sifat Langit yang agak keras kepala pasti dia akan menolak. "Kalo gitu, good luck, Lang!" Bulan menyentuh tangan Langit. Langit tersenyum tipis. "Makasih, Eh. Kamu sendiri di sini ngapain?!" Tidak enak kan ketemu teman lama hanya diam saja. Karena itu Langit tanya kegiatan Bulan di sini. "Aku ke sini ketemu temen aku. Oh,ya. Bunga-bunga di sini semuanya dikirim dari tempat aku. Kalau kamu berhasil lolos, artinya kita bisa bertemu sesering mungkin. Yee!" Langit terbawa suasana. Dia jadi tersenyum lebar. "Kamu punya usaha florist, Bulan?" Bulan mengangguk. Bunga dan dirinya seolah tidak bisa dipisahkan. Meski sebenarnya dia bisa membuka usaha yang jauh lebih bonafit. Tapi Bulan lebih suka mengurus aneka tanaman itu. "Yang punya restoran ini temen aku. Aku juga mengganti bunga di sini sekitar dua hari sekali," lanjut Bulan sambil berbisik. Langit mengangguk saja. Tiba giliran dia untuk masuk. Jadi Langit pamit ke Bulan. Bulan mempersilahkan Langit ke dalam. Tapi sebelum itu dia men-chat temannya, Risma--sang pengiterview untuk menerima Langit. Karena sudah diatur, dengan mudahnya Langit mendapatkan pekerjaan itu. Lagipula, tanpa itu pun Langit layak masuk karena kualitas dirinya. Hanya Risma jadi bertanya-tanya ada apa dengan Bulan sampai ngotot ingin membawa bunganya sendiri ke restoran mulai besok. Biasanya kan dia hanya perlu menyuruh orangnya. "Hah! Terserah lah..." *** Langit pulang dengan membawa kabar gembira. Kebetulan sekali Mentari sedang membantu katering bundanya. "Assalamuaikum," "Eh, Tari!" Langit tersenyum sumbringah. Dia langsung duduk di sebelah Tari yang sedang meng'émper di lantai. "Capek,ya?" Godanya karena Tari terlihat serius memasukkan lauk ke dalam plastik. "Dari mana Lo. Kok bau acem?" Tari menutup hidungnya, serasa betulan bau asem. Karena ucapan ngibul Tari. Dia jadi diketekin Langit. Ini rasain bau asemnya sekalian. "Ah, Lang. Lang... Ya Allah. Gue udah keramas,ya..." Tari mencium rambutnya. "Jadi bau lagi kan gara-gara Lo. Terus daritadi Lo ke mana, sih? Mana dandanan Lo rapi banget kayak mau ketemu pak Menteri?" Langit lebih dulu mengambil emping di toples di depannya. Dia lumayan lapar. "Emang Bunda belom bilang?" "Bilang. Bilang apa?" "Bilang kalo gue cari kerja!" jawab Langit. Mentari terdiam. Dia tidak menyangka akan menemui sosok Langit, seorang pekerja. "Eh, Lang. Gimana tadi interviewnya?!" Bunda Ina ingin tau. Kedua perempuan beda generasi tapi selalu ada di hati Langit itu jadi menatapnya. "He he... Aku diterima dong, Bun. Tar!" Jika Ina bahagia mendengar anaknya mendapat pekerjaan berbeda dengan Tari. "Lo kan kuliah, Lang?!" "Iya gue emang kuliah. Tapi kan gue kuliah dari pagi sampai siang. Sore bantu bunda bawain kateringan ke pesanan. Malamnya gue kerja di restoran!" Langit meruntutkan kegiatan. Di sana seolah tidak ada sedikit pun kesenjangan. Lalu gimana dengan dirinya, siapa yang akan memperhatikan Tari. Tiba-tiba Tari merasa sangat takut kehilangan Langit. "Oh, gitu,ya. Bagus!" Sayangnya hanya gumaman yang keluar dari bibirnya. Mentari meletakkan stepler yang di tangannya. "Bun, Tari mau pulang dulu,ya." Tanpa ijin dan tanpa menoleh ke Langit, Tari pergi. Dia tahu dirinya egois, dirinya tak selayaknya bersedih hati karena bagaimana pun ini jalan hidup Langit. Tapi dia juga gak bisa membohongi hatinya berpura-pura setuju meski kenyataannya tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD